KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Produksi dan penjualan batubara terjepit sejumlah dilema. Di satu sisi terganjal persoalan lingkungan dan ketersediaan yang berkelanjutan, di sisi lain sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pasar dan penerimaan negara.

Dari sisi ketersediaan, berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun 2016, cadangan batubara tinggal 28,45 miliar ton. Meski setelah dilakukan rekonsiliasi data cadangan bertambah menjadi sekitar 37 miliar ton, namun jumlah tersebut masih terbilang kecil.

Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Bappenas J. Rizal Primana menuturkan, cadangan yang dimiliki Indonesia hanya sekitar 3% dari total cadangan batubara dunia. Namun, Indonesia tercatat sebagai bagian dari negara eksportir terbesar di dunia.

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Sri Raharjo mengungkapkan, dengan cadangan sejumlah itu, maka cadangan batubara Indonesia bisa habis pada tahun 2086. Hal itu terjadi jika saja produksi setelah tahun 2019 konstan sebesar 400 juta ton dan cadangan batubara tidak bertambah. Sedangkan jika cadangan meningkat 1% per tahun, maka bisa bertahan hingga 2139.

Karenanya, Rizal bilang, dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2020-2024, Bappenas akan lebih menekankan soal batasan produksi batubara. Apalagi berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), produksi batubara tahun 2018 ini seharusnya berada dikisaran 403 juta ton.

“Produksi pasti akan terus dikurangi, namun belum bisa menghitung (detail pengurangannya) tapi di dalam RPJM dan RUEN, patokannya itu 400 juta ton” ujar Rizal dalam sebuah diskusi kebatubaraan, Kamis (4/10).

Namun, pada tahun ini, produksi batubara nasional sebesar 485 juta ton. Itu pun masih ditambah dengan 21,9 juta ton. Alhasil, target produksi tahun ini menjadi 506,9 juta ton.

Menurut Sri Raharjo, ada sejumlah faktor yang menjadi pertimbangan sehingga angka produksi bisa mengalami pembengkakan. “Ada faktor lain (untuk menambah jumlah produksi), seperti adanya peningkatan (perusahaan) dari eksplorasi menjadi produksi, dan untuk menambah devisa. Itu juga kan harus dipertimbangkan,”katanya.

Sri mengklaim, untuk penentuan RKAB 2019 akan semakin diperketat. Bukan hanya dari hasil studi dan Amdal namun juga dari sisi kesiapan finansial, termasuk dengan melihat kewajiban keuangan seperti setoran ke negara, apabila ada yang belum diselesaikan perusahaan. “Kalau ada yang nunggak , bakal tidak disetuji RKAB-nya,” imbuhnya.

Sedangkan menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, adanya kontrol produksi batubara ini perlu dilihat dari dimensi yang luas. Tak sekadar dari sisi konservasi, namun juga kebutuhan pasar, investasi serta penerimaan negara.

Belum lagi, jika ada perusahaan yang sudah menyiapkan perencanaan jangka panjang. Hendra menekankan bahwa terkait kontrol produksi ini memang perlu diperhatikan secara matang, karena produksi dan pasokan juga terkait dengan harga.

“Dampaknya nggak sederhana, di satu sisi bisa ke harga. Namun bagi pelaku usaha yang sudah punya perencanan jangka panjang, terus produski dikurangi, itu akan langsung berdampak ke perusahaan, dan ke penerimaan negara juga,” jelasnya.

Memang, batubara masih berkontribusi signifikan terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Data hingga pertengahan September 2018, PNBP dari sektor minerba sudah mencapai Rp 33,55 triliun. Dari jumlah tersebut, batubara berkontribusi sebesar 70%, sedangkan 30%-nya disumbang dari sektor mineral.

Rinciannya, Rp 6,09 triliun dari mineral dan Rp 27,4 triliun dari sektor batubara, yang terdiri dari iuran tetap sebesar Rp 182,95 miliar, royalti sebanyak Rp 14,4 triliun, dan penjualan hasil tambang sebesar Rp 12,8 triliun.

Namun, menurut Koodinator Divisi Riset Indonesia Corruption Wacth (ICW) Firdaus Ilyas, ada indikasi kerugian negara di sektor batubara. Dalam periode 2006-2016, ICW menemukan unreporting value atau nilai yang diindikasikan tidak dilaporkan hingga sekitar US$ 27 miliar.

“Kami membandingkan data pemberitahuan pengiriman ekspor dari Indonesia dengan data dari negara pembeli, jadi port to port, custom to custom, ke lebih dari 40 negara tujuan ekspor. Benar enggak, misal belinya 10, begitu nyampai jumlahnya berubah enggak? Jadi selisihnya segitu,” jelas Firdaus.

Menurutnya,selisih atau indikasi kerugian sejumlah itu bisa terjadi karena adanya ketidaksinkronan data dari lembaga terkait, serta masih lemahnya pengawasan.

Menanggapi hal itu, Hendra pun tak menutup kemungkinan jika yang demikian itu bisa terjadi. Hendra pun mengamini, ketidaksinkronan data dan lemahnya pengawasan menjadi kendalanya. “Pengawasan dan sinkronisasi data perlu diitngkatkan. Tapi, yang ada izin kan ada 2.500-an perusahaan, jadi ngontrolnya juga memang nggak mudah” kata Hendra.

Sedangkan Sri mengklaim, pihaknya tengah mendorong pengetatan pengawasan. Seperti melalui e-PNBP dan aplikasi berbasis online yang mewajibkan seluruh perusahan tahap produksi untuk memberikan laporan harian tingkat produksi dan pemasarannya.

“Bahkan kalau ada perusahaan yang pengolahan datanya sudah otomatis, kita minta langsung masuk ke sistem ESDM, biar real time,” ujarnya.

 

Sumber: kontan.co.id