Pengawasan merupakan fungsi kritikal dalam tata kelola pertambangan mineral dan batubara (Minerba). Ini diperlukan untuk memastikan aktivitas pertambangan dilakukan sesuai dengan kaidah pertambangan yang baik, sejalan dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, khususnya bagi masyarakat di lingkar tambang. Sayangnya, kinerja pengawasan pertambangan minerba di Indonesia masih belum optimal, termasuk di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Hal ini mencuat dalam forum multi pihak bertajuk Penguatan Pengawasan Pertambangan Minerba di Provinsi Sultra pada 28 Juli 2021 secara daring yang diselenggarakan oleh LePMIL Sultra, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bekerjasama dengan Ombudsman Perwakilan Provinsi Sultra.

Mastri Susilo, Kepala Ombudsman Perwakilan Sultra menyebut bahwa pada 2020 Ombudsman telah menyoroti persoalan pertambangan ilegal di Provinsi Sultra akibat dari tidak terintegrasinya sistem pengawasan dan penegakan hukum. Hal tersebut semakin marak pada 2021. Pengawasan yang dilakukan masih parsial, dan berorientasi pada penyelesaian kasus bukan perbaikan sistem jangka panjang.

“Karenanya, Ombudsman mendorong pengawasan secara terpadu, termasuk mendorong peningkatan kepatuhan pelaku usaha dan penglibatan masyarakat dalam mengawasi dampak lingkungan.” jelas Mastri Susilo.

Selain itu, paradigma pengelolaan SDA, khususnya pertambangan belum berkelanjutan dan masih sektoral, penegakan hukum lemah dan inkonsisten dalam menangani tambang ilegal, kepatuhan pelaku usaha kurang (kewajiban keuangan maupun tanggung jawab sosial dan lingkungan), peranan inspektur tambang belum optimal, serta belum adanya keseriusan mendorong tata kelola tambang rakyat.

Sebelumnya PWYP Indonesia menyampaikan studi diagnosis persoalan tata kelola perizinan pertambangan minerba, yang menemukan:

  1. Adanya persoalan regulasi dari inkonsistensi dan lemahnya penegakan regulasi.
  2. Terbatasnya personil, kewenangan, dan anggaran yang menyebabkan persoalan kelembagaan.
  3. Persoalan proses perizinan yang tertutup dan memiliki kendala dalam akses informasi.
  4. Lemahnya partisipasi masyarakat.
  5. Lemahnya fungsi kontrol dan koordinasi yang menjadi refleksi dari pelaksaan desentralisasi perizinan pertambangan.

Perwakilan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sulawesi Tenggara menyampaikan fungsi koordinasi vertikal antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten yang belum optimal dalam penyelenggaraan tata kelola pertambangan. Begitu juga komunikasi antar kelompok pemangku kepentingan (pemerintah, swasta, dan masyarakat) yang belum terbangun dengan baik, sehingga terdapat informasi yang asimetrik khususnya di kalangan masyarakat. Penting juga untuk memastikan kontribusi atau multiplier effect sektor tambang bagi kesejahteraan masyarakat.

Dr. Irfan Ido, akademisi Universitas Halu Oleo mengangkat persoalan perubahan regulasi yang cepat berdampak pada penyelenggaraan pertambangan di Indonesia. Selain itu, persoalan belum optimalnya peranan inspektur tambang, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) juga pejabat pengawas yang dimandatkan untuk menjalankan fungsi pengawasan. Transparansi juga mendapatkan sorotan, utamanya dalam proses evaluasi Rencana Kerja dan Anggara Biaya (RKAB) serta penyampaian laporan pengawasan ke publik dan tindak lanjutnya.

“Terdapat peluang penglibatan masyarakat dalam pengawasan melalui pengawasan berbasis desa.” jelas Dr. Irfan Ido

Perwakilan Komisi Informasi Sultra mengingatkan prakondisi untuk mendorong partisipasi masyarakat yang bermakna, yakni akses informasi ke publik luas, termasuk informasi proses pengurusan izin, kewajiban pemegang izin hingga wilayah izin. Keterbukaan ini juga penting untuk mengatasi konflik sosial yang kerap terjadi di daerah tambang. Instansi yang berwenang seharusnya menggunakan beragam media untuk secara proaktif menyampaikan informasi terkait pertambangan ke masyarakat.

Perwakilan masyarakat sipil (WALHI dan Solidaritas Perempuan) menyoroti persoalan data izin tambang sejak pelimpahan kewenangan perizinan pertambangan ke provinsi (pada era UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah) dan kini penarikan sepenuhnya ke pusat (UU 3/2020). Ditemukan indikasi izin tambang yang sebelumnya tidak aktif namun menjadi “aktif kembali” ketika dilimpahkan. Persoalan tambang ilegal juga menjadi sorotan, utamanya dalam hal penegakan hukum.

Masyarakat sipil mengusulkan optimalisasi fungsi pengawasan di instansi-instansi daerah sebagai pendukung kementerian sebagai penyelenggara utama pengawasan pertambangan. Termasuk jika ada praktik baik di daerah lain perlu dipelajari dan diadopsi di Sultra.

Forum multi-pihak ini menyambut baik usulan agar forum ini bisa dilanjutkan secara reguler yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan ini dan mengusung tema-tema spesifik dan berorientasi pada agenda perbaikan tata kelola pertambangan di Sulawesi Tenggara.