Energi, khususnya listrik dan gas, merupakan hal yang vital dalam kegiatan perekonomian maupun urusan domestik. Berangkat dari hal tersebut, pemerintah mencanangkan program penyebarluasan akses energi yang dikenal dengan nama energi berkeadilan. Seperti dijabarkan oleh Radhi (2019), energi berkeadilan merupakan program Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang bertujuan untuk memungkinkan penyediaan energi dengan harga terjangkau bagi masyarakat Indonesia secara luas.1 Wacana tersebut sebenarnya telah digaungkan sejak era kepemimpinan Menteri ESDM 2016-2019, Ignasius Jonan, dengan tujuan untuk memberikan akses energi hingga ke masyarakat di pelosok daerah yang sulit mendapatkan bahan bakar minyak atau gas. Energi berkeadilan juga merupakan manifestasi UUD 1945 Pasal 33 tentang penguasaan kekayaan alam Indonesia oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.2 Pertanyaannya, apakah infrastruktur energi yang dibangun pemerintah, juga energi berkeadilan itu sendiri, sudah benar-benar ‘adil’ bagi masyarakat?

Pemerintah Indonesia dalam hal ini mencanangkan rencana elektrifikasi 100% pada 2020. Akan tetapi, pemerintah mengabaikan keberlanjutan program tersebut, dengan anggapan bahwa mengaliri listrik saja sudah cukup. Padahal, menurut Sambodo, dengan rendahnya tingkat pendidikan dan daya beli masyarakat, serta adanya faktor geografis, yakni lokasi sebagian daerah Indonesia yang terpencil, akan timbul isu-isu pasca elektrifikasi yang disebut kemiskinan energi ganda.3 Kemiskinan energi ganda menyebabkan sumber energi tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Masalah pertama terletak pada kurang memadainya listrik yang disediakan negara. Sebagai contoh, program Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) yang dilakukan Kementerian ESDM pada 2017 belum mencapai standar dunia. LTSHE faktanya hanya dapat digunakan untuk penerangan karena rendahnya konsumsi listrik keluarga pengguna, yaitu 389 kWh, jauh di bawah standar internasional sebesar 1.250 kWh. Kedua, belum meratanya penyebaran energi bersih untuk memasak karena kendala infrastruktur. Akibatnya, masyarakat cenderung memilih kayu bakar untuk memasak karena mudah didapat dan murah terlepas dari asapnya yang mengotori udara dan membahayakan pernapasan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa infrastruktur energi yang telah dibangun pemerintah belum sepenuhnya dapat diandalkan untuk menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera.

METI (Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia) mengutarakan kekhawatirannya, yaitu semakin banyaknya penggunaan energi fosil dan berujung pada menipisnya sumber energi konvensional. Lebih lanjut, Indonesia sebenarnya kaya akan sumber energi terbarukan, namun pemanfaatannya belum maksimal. Terlebih, daya akses masyarakat ke sumber energi masih sangat kurang.4

Dalam sebuah tulisan pada laman The Conversation, sepertiga atau 30% dari masyarakat pedesaan di Indonesia masih memilih kayu bakar untuk bahan bakar memasak. Pemilihan tersebut dilakukan karena mahalnya sumber energi bersih bagi mereka dan karena kayu bakar banyak dijumpai dan harganya murah.

Selain itu, ekspansi gas LPG ke desa-desa masih sulit dilakukan karena beban belanja negara untuk subsidi gas mencapai 58 triliun rupiah. Ironisnya, subsidi tersebut justru lebih banyak dikonsumsi oleh keluarga yang mampu.

Maka, seperti dikutip dari McCauley, Heffron, Holmes, dan Pavlenko (2017) dari University of California dalam jurnal tentang keadilan energi (energy justice), pemerintah harus melakukan dua hal berikut dalam merencanakan dan melaksanakan elektrifikasi.

  1. Memastikan bahwa elektrifikasi benar-benar dapat terus membantu masyarakat
    Kesadaran akan pentingnya energi berkeadilan harus menyentuh kelompok masyarakat yang sering terlupakan. Seringkali, keadilan disalahpahami atau sengaja disalahpahami sehingga persepsi masyarakat pun terdistorsi. Oleh karena itu, dalam memahami keadilan, kesadaran akan adanya ragam pandangan sosial, budaya, etnis, serta keragaman ras dan gender juga diperlukan.
  2. Menentukan cara yang tepat untuk menjaga kebermanfaatan program elektrifikasi pada level daerah dan nasional
    Realisasi keadilan energi harus dilakukan dengan cara yang netral dan melibatkan semua pemangku kepentingan tanpa pandang bulu. Semua pihak yang berkepentingan (masyarakat Indonesia) seyogyanya dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan partisipasi mereka harus diperhitungkan. Selain itu, kontribusi, keadilan, dan transparansi pemerintah dan industri, serta pendekatan yang tepat dan penuh kehati-hatian juga diperlukan.5

Untuk dapat keluar dari kemiskinan energi ganda, perlu ada kerja sama antara pemerintah desa, BUMN penyedia energi, dan pihak swasta dalam menyediakan kebermanfaatan energi yang kontinu. Pemerintah desa dapat bersinergi dengan PLN sebagai penyedia energi listrik, Pertamina sebagai penyuplai energi bersih untuk memasak, dan pihak swasta melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Pentingnya Energi yang Adil untuk Semua

Dalam poin ketujuh Sustainable Development Goals (SDGs) tentang energi bersih dan terjangkau, disebutkan bahwa pembangunan ekonomi secara inklusif yang manfaatnya dapat dirasakan secara terus-menerus memerlukan pasokan energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan dan modern bagi semua.6

Sejalan dengan SDG-7, elektrifikasi dengan manfaat yang dapat menjangkau seluruh masyarakat Indonesia secara kontinu merupakan sesuatu yang krusial untuk mewujudkan pemerataan taraf ekonomi, khususnya pada era Revolusi Industri 4.0. Dengan meratanya akses listrik dan gas yang senantiasa bermanfaat, pembangunan ekonomi yang inklusif bukanlah sebuah kemustahilan untuk membantu menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan.

Kesimpulan

Energi berkeadilan masih belum benar-benar terwujudkan. Pertama, walau keberhasilan elektrifikasi di Indonesia sudah menyentuh angka 98,89%, masyarakat di pedesaan belum begitu merasakan manfaatnya. Pun dengan bantuan yang sudah diberikan oleh pemerintah berupa LTSHE, alat tersebut masih sangat terbatas manfaatnya karena konsumsi listrik yang jauh di bawah standar internasional.

Selain elektrifikasi, ekspansi gas LPG pun masih belum optimal. Terbatasnya anggaran Pertamina, ditambah dengan subsidi gas yang salah sasaran menyebabkan peluasan penyediaan gas masih jauh dari kata sukses. Masalah-masalah ini dapat dituntaskan dengan koordinasi yang baik antara pemerintah desa, PLN, Pertamina, dan pihak swasta melalui program CSR-nya.

Penulis: Ersya Nailuvar


 

  1. Radhi, F. (Oktober 15, 2019). Capaian energi berkeadilan bagi rakyat Indonesia. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/opini/265550/capaian-energi-berkeadilan-bagi-rakyat-indonesia#:~:text=ENERGI%20Berkeadilan%20merupakan%20program%20Kementerian,Indonesia%20secara%20berkeadilan%20dan%20merata
  2. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (Maret 25, 2019). Terangkan makna energi berkeadilan, Jonan: Kemakmuran rakyat jadi kunci. https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/terangkan-makna-energi-berkeadilan-jonan-kemakmuran-rakyat-jadi-kunci
  3. Sambodo, M.T. (April 22, 2020). Riset: Masyarakat Indonesia masih kekurangan energi listrik dan energi bersih untuk memasak. The Conversation. https://theconversation.com/riset-masyarakat-indonesia-masih-kekurangan-energi-listrik-dan-energi-bersih-untuk-memasak-135734
  4. METI : Perlu ada wakil menteri di ESDM. (Februari 25, 2020). Laporan Utama PortoNews. https://www.portonews.com/2020/laporan-utama/meti-perlu-ada-wakil-menteri-di-esdm/#:~:text=METI%20adalah%20forum%20untuk%20ilmuwan,dan%20pragmatis%20berkenaan%20dengan%20pemanfaatan
  5. McCauley, D., Heffron, R., Holmes, R., & Pavlenko, M. (2017). Energy justice: A new framework for examining Arcticness in the context of energy infrastructure development. In Kelman I. (Ed.), Arcticness: Power and Voice from the North (pp. 77-88). London: UCL Press. Retrieved April 14, 2021, from http://www.jstor.org/stable/j.ctt1tm7jp1.15
  6. Kementerian PPN/Bappenas. (n.d.). 7. Energi bersih dan terjangkau. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. http://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-7/