Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia selenggarakan PWYP Knowledge Forum (PKF) bertajuk Energi Baru dan Terbarukan Serta Solusi Palsu Transisi Energi, secara daring pada 15 Januari 2025. PKF kali ini menghadirkan Grita Anindarini, Senior Strategist Center for Environmental Law (ICEL), dan dimoderatori oleh Mouna Wasef dari PWYP Indonesia.

Saat ini bauran energi Indonesia masih didominasi oleh penggunaan batubara dengan persentase sebesar 37 persen.Sedangkan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang diterapkan di Indonesia masih di angka 12,30 persen. Tentu saja Indonesia masih sangat jauh dalam komitmen Indonesia pada Net Zero Emission (NZE). Di sisi lain ambisi Indonesia cukup besar dalam penerapan EBT, yang bisa dilihat pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), dimana Indonesia menargetkan pada tahun 2025 peran EBT paling sedikit 23 persen dan pada tahun 2050 paling sedikit 31 persen. Belum lagi jika menilik Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dimana pemanfaatan sumber energi primer harus dilaksanakan dengan mengutamakan sumber energi baru dan energi terbarukan.

Pertanyaan menariknya apakah Energi Baru sama dengan Energi Terbarukan?

Grita, yang juga Ketua Badan Pengarah PWYP Indonesia menyampaikan perbedaan energi baru dan energi terbarukan. Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbarui secara alami dan terus-menerus, misalnya bayu, Air, surya, panas bumi, air laut dan bioenergi. Sementara energi baru adalah energi yang baru ditemukan atau dikembangkan, dan belum banyak dimanfaatkan secara luas, contohnya nuklir, gasifikasi batubara, batubara tercairkan, coal bed methane dan hidrogen.

Ia menekankan Energi baru tidaklah sama dengan energi terbarukan, dikarenakan sumber energi baru dapat bersumber dari fosil dan tentunya tidak bersifat ramah lingkungan. Praktik transisi ke energi baru bukanlah sebuah solusi yang bersifat ramah lingkungan dikarenakan pada praktiknya justru menyumbang emisi karbon yang lebih parah. Seperti gasifikasi batubara misalnya dapat menyumbang 800 kg CO2/MWh bila dibandingkan gas alam yang hanya menyumbang 400 kg CO2/MWh.

Indonesia yang saat ini cukup gencar mengurangi ketergantungan terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara untuk mencapai target Net Zero Emission pada 2060, dimana 15 PLTU di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Sumatera direncanakan akan dihentikan operasinya secara natural pada tahun 2030, dengan jumlah total kapasitas 4,8 GW. Alih-alih, arah transisi energi difokuskan pada pengembangan energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga surya dan angin. Justru saat ini, pengembangan energi baru menjadi tumpuan transisi energi dI indonesia, seperti rencana pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir yang direncanakan mulai dari 2040 dan penambahan porsi bioenergi

Penggunaan energi baru dalam transisi energi di Indonesia saat ini justru mengarah pada solusi palsu. Nuklir misalnya, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sudah menjadi kebijakan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJN) 2025-2045 dan saat ini gencar dibahas dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). Padahal PLTN tidak lepas dari berbagai polemik. Dilansir dari The Conversation pada tulisan yang berjudul Nuclear Energy Creates The Most Dangerous Form of Radioactive Waste. Where does Peter Dutton plan to put it? dimana PLTN menghasilkan limbah radioaktif tingkat tinggi dan hingga saat ini, tidak ada metode penyimpanan yang aman dan permanen.

Selanjutnya, penggunaan biomassa awalnya direncanakan untuk menggunakan limbah dan residu pertanian. Namun, arah pemerintah saat ini selain memanfaatkan limbah, produksi biomassa juga dilakukan dengan mengembangkan program tanaman energi. Tanaman energi dilakukan secara masif melalui skema Hutan Tanaman Energi (HTE). Diperkirakan kebutuhan biomassa untuk 107 PLTU berkapasitas 18,8 gigawatt mencapai 10,23 juta ton per tahun. Kebutuhan tersebut dapat tercukupi apabila adanya perkebunan berskala besar atau Hutan Tanaman Energi (HTE) dengan luas 2,33 juta hektar.

Selain itu juga dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No.14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan dan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon dimana penyelenggaraan Carbon Capture and Storage (CCS) dimanfaatkan untuk memperpanjang pemanfaatan energi fosil, seperti minyak dan gas bumi.

Penting bagi masyarakat sipil kedepannya, agar penggunaan terminologi energi baru harus diperjelas dan sebisa mungkin dihindari dalam mendorong transisi energi serta lebih fokus mendorong penggunaan energi terbarukan.


Bagikan