antarafoto-03-01-hl-hak-penyelidikan-dpr-700x468-1

Pembukaan keran ekspor mineral konsetrat akan meruntuhkan kepercayaan pengusaha yang sudah berkomitmen menjalankan hilirisasi di sektor pertambangan.

Jakarta – Rencana pemerintah memperlonggar aturan ekspos bahan mineral mentah memperlihatkan sikap inkonsistensi terhadap komitmen membangun industrialisasi di sektor pertambangan. Bahkan, relaksasi tersebut dikhawatirkan dapat meruntuhkan kredibilitas pelaku bisnis di dalam negeri yang telah berkomitmen membangun hilirisasi industri pengolahan mineral.

Asosiasi Smelter dan Pengolahan Mineral Indonesia menentang rencana pemerintah merelaksasi kebijakan ekspor bahan mineral mentah. Sebab, langkah tersebut dinilai tidak adil.

“Ada pengusaha yang taat undang-undang. Bahkan, ada yang sudah membangun smelter sampai 80 persen,” kata Ketua Asosiasi Smelter dan Pengolahan Mineral Indonesia, Raden Sukhyar, dalam diskusi bertajuk Tarik Ulur Kebijakan Larangan Ekspor Mineral di Jakarta, Minggu (25/9).

Dia memperingatkan jika pemerintah tetap membuka keran ekspor mineral mentah, itu akan meruntuhkan kepercayaan pengusaha yang sudah berkomitmen menjalankan hilirisasi. “Kalau ada pengusaha yang sudah patuh seharusnya di apresiasi donk,” katanya.

Mantan Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral itu menambahkan, saat ini, pembangunan smelter (pabrik peleburan) terbanyak adalah nikel sebanyak 34 unit. Kemudian, secara bururutan zirkon 11 smelter, bauksit sebanyak tujuh smelter, besi lima smelter, seng 4 smelter, kaolin 4 smelter dan mangan 2 smelter. Sementara, data Kementerian ESDM, per September 2016 dari 84 Izin Usaha Pertambangan, sudah 64 smelter yang dibangun.

Perpanjangan Waktu

Sejatinya, pemerintah telah menyusun aturan agar para perusahaan di sektor mineral dan batu bara (minerba) membuat hilirisasi untuk mendapatkan nilai tambah. Aturan tersebut tertuang dalam UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba, yakni kewajiban untuk membuat produk turunan paling lama 5 tahun sejak UU tersebut diundangkan.

Namun, batasan waktu tersebut diperpanjang selama 3 tahun lagi dengan peraturan Menteri ESDM nomor 1 tahun 2014. “Saya yakin pembuatan smelter praktisnya baru dilakukan pada 2014,” kata Sukhyar.

Sukhyar menilai perpanjangan waktu tersebut menunjukkan inkonsistensi pemerintah terhadap aturan yang dibuatnya sendiri. “Bahkan dalam aturan, pemenang Kontrak Karya (KK) sekalipun sebenarnya dilarang menjual ore (biji besi) di dalam negeri sekalipun, apalagi diekspor,” sambungnya.

Penolakan serupa juga disampaikan Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah. Menurutnya, pemerintah sudah mengulur waktu delapan tahun untuk melakukan hilirasi sejak dikeluarkannya UU Nomor 4 tahun 2019 hingga 12 Januari 2017.

“Kalau mau diperpanjang 5 tahun lagi, jadi 5 plus 3, plus 5, total 13 tahun lho waktu yang diberikan untuk hilirisasi ini,” katanya.

Menurutnya, jika pemerintah terus melakukan hal serupa, itu dapat menjadi preseden buruk. Dia menilai pemerinrah justru menunjukkan ketidakpatuhan dan inkonsistensi terhadap UU dan kebijakan yang dibuatnya sendiri.

Sementara itu, pengamat hukum Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi mengatakan inkonsistensi pemerintah dalam membaut aturan juga bisa dilihat dari minimnya pembinaan dan pengawasan terhadap pembangunan smelter. “Selain itu juga tidak adanya fasilitasi berupa insentif dan hambatan berupa disinsentif yang optimal dari pemerintah,” katanya.