JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia memutuskan menghentikan ekspor bauksit mentah mulai Juni 2023. Keputusan itu, antara lain, didasarkan pada penghentian ekspor bijih nikel yang malah memberikan peningkatan nilai ekspor pada komoditas turunan nikel.
Penghentian ekspor bijih nikel sejak 2020 meningkatkan nilai ekspor komoditas turunan nikel dari hanya 1,1 miliar dollar AS atau Rp 17 triliun pada akhir 2014 menjadi 20,9 miliar dollar AS atau Rp 326 triliun pada 2021. Presiden Joko Widodo memperkirakan tahun 2022 ekspor nikel bisa melebihi Rp 468 triliun atau lebih dari 30 miliar dollar AS. Keberhasilan ini akan dilanjutkan dengan penghentian ekspor bahan mentah dari komoditas lain.
”Mulai Juni 2023, pemerintah akan memberlakukan pelarangan ekspor bijih bauksit dan mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri,” kata Presiden Joko Widodo di Istana
Merdeka, Jakarta, Rabu (21/12/2022). Dalam kesempatan itu, Presiden didampingi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif.
Pada awal penghentian ekspor bijih bauksit ini, diakui Presiden Jokowi, akan menyebabkan nilai ekspor menurun. Namun, seperti saat menghentikan ekspor bijih nikel, lompatan nilai ekspor akan mulai terasa pada tahun kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Industrialisasi bauksit di dalam negeri ini diperkirakan dapat meningkatkan pendapatan negara dari Rp 21 triliun menjadi sekitar Rp 62 triliun. ”Jadi, saya sampaikan ke menteri, jangan ragu-ragu, jangan bimbang mengenai policy ini, kita harus yakin,” kata Presiden.
Airlangga menambahkan, penghentian ekspor bijih bauksit mencakup semua jenis bauksit mentah, termasuk bijih yang dicuci. Semua bijih bauksit harus diproses di Indonesia mulai Juni 2023. Pengaturan ini akan mendorong penghematan impor aluminium. Saat ini, Indonesia masih mengimpor aluminium senilai 2 miliar dollar AS per tahun. Setelah hilirisasi, penghematan devisa dari impor aluminium bisa dilakukan.
Saat ini, ujar Airlangga, sudah ada empat fasilitas pemurnian (smelter) bauksit di dalam negeri dengan kapasitas 4,3 juta ton. Selain itu, masih ada pembangunan smelter bauksit dengan kapasitas input 27,41 juta ton, sedangkan kapasitas produksinya 4,98 juta ton atau mendekati 5 juta ton.
Sementara itu, cadangan bauksit Indonesia masih 3,2 miliar ton. Cadangan itu diyakini mencukupi untuk smelter bauksit di Indonesia. Bahkan, menurut Airlangga, cadangan itu masih bisa untuk 12 smelter lain.
Produk turunan bauksit yang akan disiapkan di dalam negeri, antara lain, alumina, aluminium, dan pemurnian aluminium ingot yang kemudian bisa menjadi aluminium batangan atau pelat. Selain itu, aluminium batangan dan pelat bisa digunakan industri lain yang kini sudah ada ekosistemnya di Indonesia, yakni industri permesinan dan industri konstruksi.
Perlu Peta Jalan
Terkait kebijakan pelarangan ekspor bijih bauksit mulai 2023, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan, para pelaku industri mendukung pelarangan tersebut. Menurut dia, kebijakan pemerintah sudah tepat karena memiliki semangat mendorong hilirisasi industri sehingga bisa menciptakan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
”Semangatnya positif, ingin membangun sesuatu untuk Indonesia,” kata Arsjad.
Akan tetapi, Arsjad mengakui, ada sebagian pelaku industri bauksit yang bakal terdampak dan belum siap dengan kebijakan tersebut. Kadin akan membantu mencari jalan tengah dari persoalan ini. ”Kalau tidak, kita tidak akan pernah siap,” ujarnya.
Sementara itu, menurut Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sammy Hamzah, hilirisasi bauksit di dalam negeri sebaiknya diperlakukan seperti nikel. Industri nikel benar-benar digarap dari hulu ke hilir sehingga melahirkan baterai kendaraan listrik. Bahkan, industri mobil listriknya pun turut digarap.
Terkait hilirisasi bauksit di dalam negeri, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho, dalam sebuah webinar, Rabu, menyampaikan, harus ada kejelasan industri macam apa yang hendak dikembangkan dari bauksit.
”Industri bauksit ini harus jelas, apa yang mau dibangun, apakah hanya di level setengah (jadi) saja? Kemudian, sepanjang rantai nilai bauksit ini, ESG (environment, social, and governance) juga harus diterapkan, termasuk standar-standar terkait lingkungannya,” kata Aryanto.
Ia juga mengingatkan, jangan sampai karena permintaan nikel dan bauksit tinggi, kemudian dibangun smelter sebanyak-banyaknya, sementara industri di hilir belum siap. Apabila hilir belum siap, hasil pengolahan bauksit di smelter akan diekspor untuk kemudian diimpor sebagai barang jadi.
Terkait smelter bauksit, menurut Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli, sebagian smelter bauksit pada 2023 masih ada di tahap konstruksi. Saat ini baru ada dua smelter bauksit yang beroperasi, sedangkan 12 smelter lainnya masih dalam proses pembangunan.
Saat pembangunan smelter itu rampung, ucap Rizal, penyerapan bijih bauksit di dalam negeri meningkat. Namun, jika konstruksi smelter tidak terselesaikan segera, penyerapan bauksit akan menurun. Ia mendorong pemerintah untuk memetakan lagi kapasitas smelter yang akan beroperasi sehingga kebijakan penghentian ekspor bijih bauksit optimal.
”Apabila produksinya jauh di atas kapasitas penyerapan smelter, akan terjadi penghentian operasi tambang bauksit yang berujung adanya pemutusan hubungan kerja dan dampak ganda lainnya, terutama di daerah,” ujar Rizal.
Sekretaris Umum Apindo Eddy Hussy menambahkan, di tengah ketidakpastian ekonomi global, ekspor komoditas mentah, seperti bijih nikel, sebenarnya diperlukan. Hasil ekspor tidak hanya memperkuat surplus neraca perdagangan, tetapi menjaga perekonomian masyarakat dan daerah penghasil bauksit. ”Oleh karena itu, pemerintah lebih baik menerapkan kebijakan lain, seperti meningkatkan pajak ekspor bauksit,” katanya.
Sumber: Kompas