Sektor transportasi menyerap konsumsi energi yang cukup besar, di mana lebih dari 94% penggunaan energi pada sektor transportasi di Indonesia bersumber dari Bahan Bakar Minyak (BBM). Sementara itu, Indonesia telah menjadi net importir minyak sejak 2004. Ditambah dengan potensi defisitnya sumber energi fosil lainnya, seperti gas dan batu bara.
Menurut proyeksi BPPT dalam Energy Outlook 2018, diperkirakan Indonesia akan menjadi net importir gas di 2028, dan menjadi net importir batu bara di 2032. Karenanya, perlu strategi efisiensi energi di sektor transportasi untuk menjaga ketahanan energi nasional sekaligus mengurangi risiko fiskal.
Akmilatul Maghfiroh, peneliti Pusat Studi Ilmu Teknik UGM dalam PWYP Knowledge Forum (PKF) yang berlangsung (23/1) lalu, menyampaikan bahwa besarnya proporsi penggunaan BBM untuk transportasi juga diikuti dengan besarnya subsidi pemerintah untuk BBM. “Data sepanjang tahun 2006-2011 menunjukkan realisasi subsidi BBM selalu lebih besar, dibandingkan dengan yang dianggarkan,” ujar Akmilatul Maghfiroh yang biasa dipanggil Mila. Jika hal ini terus berlangsung, tentu akan berisiko terhadap fiskal.
Mila menambahkan, data konsumsi energi final menunjukkan bahwa 23% konsumsi energi digunakan untuk sektor transportasi, di mana ini didominasi oleh kendaraan milik pribadi.
Dalam penelitiannya, Mila melakukan pemodelan Vehicle Feet Model-Life Cycle Analysis, untuk melihat bagaimana hubungan antara beberapa variabel seperti pertumbuhan populasi kendaraan dan driving cycle (kecepatan, percepatan, dan topografi jalan) terhadap konsumsi BBM.
Mila menjelaskan beberapa hasil temuannya, pertama, laju pertumbuhan populasi kendaraan berkolerasi erat dengan GDP/kapita dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. “Indonesia sendiri masuk dalam kategori percepatan kepemilikan kendaraan tertinggi, yaitu ± 10% atau hampir 2 kali lipat pertumbuhan ekonomi. ” ujar Mila.
Kedua, macetnya jalanan Jakarta juga berpengaruh terhadap banyaknya konsumsi BBM. Berdasarkan start-stop indeks 2014, Jakarta memegang rekor kemacetan tertinggi di dunia. Laju populasi kendaraan yang jauh lebih tinggi dari laju pembangunan jalan ini melipatgandakan konsumsi BBM. Tak heran, kajian kerugian ekonomi akibat kemacetan (wasted fuel and travel time) di Jakarta saja hingga 67,5 Triliun (Bappenas, 2017).
Mila menjelaskan, bahwa beban fiskal ekonomi akibat impor BBM dan subsidi BBM untuk transportasi kendaraan pribadi makin besar. Perlu intervensi kebijakan untuk memutus middle income trap, dengan mendorong kebijakan sustainable mobility.
Beberapa kebijakan sustainable mobility di Uni Eropa yang sudah berjalan yaitu, pertama, mendorong program inisiatif dan bisnis start up di bidang sustainable mobility. Misalnya, adanya reward point untuk penggunaan non-motorized mobility (atau mobilitas tanpa kendaraan bermotor seperti sepeda dan jalan kaki), dan public transportation.
Kedua, sistem transportasi dan lalu lintas yang memprioritaskan non-motorized mobility dan transportasi publik. Di Belanda misalnya, sistem lalu lintas di mana pengendara sepeda menjadi prioritas tertinggi di jalan raya. Hal ini didukung dengan infrastruktur jalan khusus bagi sepeda, dan juga pedestrian yang aman dan nyaman.
Selain itu, di Uni Eropa penggunaan renewable energy memang lebih masif. Misalnya, untuk bauran energi listrik yang berasal dari energi angin dan energi surya dalam struktur Economic Dispatch pembangkitan listrik. Untuk wind turbine, Uni Eropa bahkan berinvestasi dengan meluncurkan satelit ADM-Aeolus yang berfungsi untuk mengukur kecepatan angin mid-latitudes untuk memprediksi pembangkitan listrik tenaga angin yang lebih akurat. Serta Desertec project plan untuk solar power, yang diperkirakan mampu memenuhi kebutuhan listrik se-Uni Eropa.
Untuk mengadopsi sistem transportasi dengan sustainable mobility ini, Indonesia seharusnya melakukan intervensi kebijakan yang memprioritaskan transportasi publik yang aman dan nyaman, sehingga publik lebih memilih untuk menggunakan transportasi umum dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi. Kebijakan ini nantinya diikuti dengan restriksi kepemilikan kendaraan pribadi. Selain itu, pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan subsidi BBM yang terus membengkak dari tahun ke tahun. Jika perlu, pemerintah mencabut kebijakan subsidi BBM tersebut dan mengkonversi ke subsidi renewable energy atau untuk pembangunan transportasi publik.