Pemerintah pada 1 September 2018 lalu telah menerbitkan kebijakan penggunaan biodiesel B20 untuk sektor pertambangan, ketenagalistrikan, perkeretaapian, dan manufaktur, melalui Peraturan Presiden (Perpres) nomor 66 tahun 2018. Biodiesel B20 merupakan campuran 20% biodiesel ditambah dengan 80% solar, dengan biodiesel berjenis Fatty Acid Methyl Ester (FAME).

Sebelumnya, aturan penggunaan Biodiesel B20 ini hanya berlaku untuk sektor transportasi pelayanan publik. Kebijakan ini merupakan tahap awal dari rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan B100 (biodiesel 100%) yang ditargetkan tercapai dalam jangka dua tiga tahun ke depan.

Penggunaan B20 diklaim Pemerintah dapat membantu 12 juta masyarakat Indonesia yang hidupnya bergantung pada sawit. Edi Wibowo, perwakilan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam diskusi “Menakar Kebijakan Perluasan Penggunaan Biodiesel B20 di Indonesia” (22/10) lalu, mengatakan bahwa latar belakang kebijakan mandatori B20 adalah sebagai upaya penyelamatan rupiah dengan pengurangan impor BBM dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan.”

Menurutnya, sampai saat ini diperkirakan telah menghemat devisa dengan tidak mengimpor solar senilai USD 2,52 miliar. Juga menaikkan penerimaan negara yaitu pajak yang dibayarkan senilai Rp2,28 triliun.

Selain telah menghemat devisa, kebijakan B20 telah menurunkan emisi karbon. Menurutnya, penggunaan 6,02 juta KL biodiesel B20 sepanjang 2015-2018, telah berhasil menurunkan emisi karbon sebesar 9 juta CO2e.

Edi menambahkan, pelaksanaan kebijakan mandatori biodiesel juga membantu menciptakan lapangan kerja di sektor industri dan perkebunan kelapa sawit. Kebijakan ini telah meningkatkan demand terhadap Crude Palm Oil (CPO), stabilisasi harga CPO, dan meningkatkan kesejahteraan petani sawit.

Beleid ini juga mengatur dana perkebunan kelapa sawit yang salah satunya diperuntukan untuk menutup selisih antara Harga Indeks Pasar (HIP) solar dengan biodiesel, di mana dana insentif akan diberikan kepada Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN), sehingga harga biodiesel tidak jauh dengan harga solar. Kementerian ESDM telah menetapkan HIP biodiesel sebesar Rp 8.161 per liter (belum termasuk biaya pengangkutan), sementara harga jual solar ditetapkan sebesar Rp5.150 per liter, sesuai arahan Presiden Jokowi, tidak akan ada kenaikan harga solar hingga 2019 nanti.[1]

Di sisi lain, penggunaan dana perkebunan kelapa sawit untuk memberi insentif kepada BU BBN, dikhawatirkan akan mengesampingkan fungsi dana tersebut bagi pemberdayaan masyarakat petani kelapa sawit. Wiko Saputra, peneliti Yayasan Auriga menyampaikan bahwa seharusnya dana perkebunan sawit diprioritaskan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, replanting/peremajaan, dan perbaikan sarana-prasarana perkebunan.

“Karena 2,1 juta masyarakat petani kelapa sawit yang menguasai 4,7 juta hektar lahan masih mengalami hambatan dalam mengelola kebunnya, karena sempitnya lahan, produktivitas yang rendah karena bibit tidak bersertifikat, dan aspek legalitas lahan,” ujar Wiko.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia, menanggapi kebijakan B20 ini. Di satu sisi, Pemerintah ingin meningkatkan penggunaan energi terbarukan melalui penggunaan biodiesel, namun di sisi lain ini memicu eksploitasi sawit dan menimbulkan deforestasi. “Perlu dipastikan bahwa kebijakan B20 ini tidak membuka lahan sawit baru,” kata Maryati.

Setelah dua bulan berjalan, implementasi B20 di lapangan masih mengalami hambatan. Richard, perwakilan dari Asosiasi Jasa Pertambangan menambahkan bahwa dalam implementasinya di lapangan, beberapa perusahaan jasa pertambangan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara kesulitan mendapatkan supply B20. Fasilitas blending Pertamina masih sangat kecil, sehingga supply tidak mencukupi. Alhasil, banyak alat berat pertambangan yang tidak bekerja. Mereka berharap, seiring dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut, seharusnya supply di lapangan juga sudah mulai terpenuhi.


[1] Maret 2018, diakses dari https://www.jawapos.com/ekonomi/bisnis/09/03/2018/tutup-selisih-hip-solar-dan-biodiesel-begini-langkah-kementerian-esdm