Jakarta – Pembahasan terhadap perubahan atau revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus mendapat penolakan dari berbagai kalangan, termasuk dari akademisi dan mahasiswa. Diskusi yang diselenggarakan Institute of Energy and Development Studies (IEDS) menjadi bukti adanya sikap penolakan tersebut.

Dalam diskusi bertema “Revisi UU Minerba, Apa Urgensinya?” di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, 10 Februari 2025 itu, hadir sejumlah akademisi dan perwakilan organisasi mahasiswa, di antaranya Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI), Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Pimpinan Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PP KMHDI), Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI), Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), BEM Universitas Mulawarman (Unmul) dan Aliansi Front Pengadil Rakyat (FPR).

Koordinator Koalisi Dosen Tolak Tambang, Orin Gusta Andini menyampaikan alasan penolakan terhadap revisi UU tersebut. Khususnya berkaitan dengan pemberian izin prioritas kepada perguruan tinggi.

“Penolakan oleh koalisi dosen tidak hadir begitu saja. Kami dari salah satu universitas di Kalimantan Timur (Kaltim), provinsi yang pengelolaannya lebih banyak pada sumber daya alam (SDA) dan kami sehari-hari merasakan bagaimana dampak pertambangan, kerusakan lingkungan, banjir, konflik sekitar tambang, bahkan nyawa mati di lubang tambang karena tidak ada reklamasi pasca tambang dan tidak itu tidak ada proses hukum yang adil,” kata Orin dalam diskusi ini.

Dosen yang menolak pemberian izin tambang prioritas kepada perguruan tinggi terus bertambah melalui koalisi tersebut. Hal itu berkaitan dengan pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi yang sesungguhnya tidak berkaitan dengan tugas dan peran perguruan tinggi itu sendiri.

Bila melihat tugas perguruan tinggi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi (PT), ujar Olin, telah jelas bahwa tugas PT membentuk watak peradaban yang bermartabat. Substansi tersebut tentu tak relevan dengan rencana pemberian izin tambang secara prioritas. “Peradaban apa yang selama ini sudah jelas-jelas membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat. Kami tidak menemukan suatu hal yang relevan antara bentuk entitas tujuan PT itu dengan pemberian izin tambang”, ungkapnya.

Lebih lanjut, menurut Orin, fokus pendidikan tinggi adalah melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Bukan terjebak dan menjadi pebisnis. Orin membantah pemberian izin tambang dengan alasan adanya fakultas teknik di perguruan tinggi. Dengan begitu, tambang dapat menjadi ruang belajar secara langsung kepada mahasiswa. Menurutnya, itu tak dapat dijadikan alasan kuat. Karena tugas fakultas teknik itu seharusnya menemukan pola-pola pertambangan yang tidak merusak lingkungan, bukan menjadi alasan agar perguruan tinggi ikut mengelola tambang.

Di sisi lain, berdasarkan pengalaman selama ini, praktik pertambangan oleh perusahaan yang memiliki pengalaman dan modal yang sangat besar nyatanya tak memberikan dampak yang baik pada lingkungan serta masyarakat. Justru sebaliknya, perusahaan yang memiliki pengalaman dan modal besar tersebut memberikan dampak negatif dan daya rusak pada lingkungan. Kalau sekelas perusahaan yang memiliki pengalaman dan modal besar saja masih memberikan dampak negatif, apalagi dengan perguruan tinggi, yang merupakan entitas baru yang tidak memiliki pengalaman sama sekali dalam mengelola tambang. Orin juga skeptis dengan alasan diberikan izin tambang ke perguruan tinggi untuk peningkatan kualitas dan mutu pendidikan, terutama untuk menciptakan biaya pendidikan yang murah.

Perguruan tinggi seharusnya menghasilkan pengetahuan dan keterampilan. Mewujudkan pendidikan yang demikian tersebut. Bukan untuk mencari pendapatan setinggi-tingginya. “Jadi dapat disimpulkan, bahwa ini adalah upaya menyeret perguruan tinggi ke dalam pusaran tambang yang memang selama ini syarat dengan kerusakan lingkungan dan korupsi,” tegas Orin.

Sekalipun lahan tambang yang diberikan untuk perguruan tinggi merupakan lahan yang diciutkan (relinquish), legal atau ilegal, dampaknya menurut Orin sama saja. Kampus seharusnya menjadi garda terdepan dalam ikut mengawasi dan mengkritik tata kelola sumber daya alam yang tidak berpihak pada rakyat. Bukan ikut menjadi pelaku tambang yang ikut memberikan andil pada kerusakan lingkungan.

“Bagaimana mungkin pola pengawasan yang selama ini dilakukan PT, tapi kemudian sekarang menjadi pelaku, lantas pengawasan itu akan dilaksanakan siapa? Beribu alasan sangat menggiurkan, tapi kita perlu mengkaji, apa yang mendasari itu (pemberian izin tambang ke PT). Jangan sampai hanya iming-iming. Seharusnya, secara marwah, kampus tidak ikut bermain dalam hal-hal yang selama ini dikritisi, karena akan menumpulkan kritik di PT. Selain itu, pengelolaan pertambangan butuh dana besar. Jangan sampai itu hanya akan menjadi pintu bagi pihak ketiga yang memiliki modal besar untuk mengelola izin dari PT,” ujarnya.

Selain Orin, akademisi dari Universitas Indonesia, Tri Hayati yang merupakan guru besar fakultas hukum memberikan perspektifnya. Tri memulai dari substansi pemberian izin tambang prioritas untuk organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Sebelumnya, hal itu diatur dalam pasal 83A Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Pemberian izin tambang prioritas dalam pasal 83A PP itu bertentangan dengan UU Minerba. Bahwa dalam UU Minerba, prioritas pemberian izin tambang itu kepada entitas badan usaha milik negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD). “Kalau boleh dibilang, itu (pasal 83A) bertentangan dengan UU Minerba,” katanya.

Tri melanjutkan penyampaiannya dengan menjelaskan substansi historis pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Dibentuknya pasal tersebut terdapat penegasan yang sangat jelas. Bahwa kegiatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam dilarang jatuh ke tangan orang, perorangan dan atau swasta. Dan dikuasai negara dengan pemerintah sebagai pengelolanya. Ini sebagai wujud nasionalis para pendiri bangsa. Semangat itulah yang tertuang dalam UU Minerba, yang memberikan prioritas izin kepada BUMN atau BUMD.

Pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan, perguruan tinggi dan UMKM sebagaimana yang menjadi polemik pada pembahasan revisi UU Minerba oleh DPR, harus memiliki ketentuan yang jelas. Terutama berkaitan dengan aspek administrasi, teknis, finansial dan lingkungan. Jangan sampai pemberian izin prioritas kepada entitas-entitas tersebut melupakan aspek penting yang justru memberikan dampak buruk pada lingkungan dan masyarakat.

Terkait pemberian izin prioritas kepada perguruan tinggi, Tri memberi pandangan, bahwa core utama PT itu adalah akademik, yang mencakup Tri Dharma Perguruan Tinggi. Bukan berbisnis. Pun begitu, jangan sampai terjadi jual beli izin tambang ketika izin prioritas diberikan entitas-entitas tersebut karena tak memiliki modal dan pengalaman yang cukup.

Sementara itu, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho menjelaskan, rencana revisi UU Minerba tak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pun dalam daftar Prolegnas yang sifatnya kumulatif terbuka. Pun pembahasannya tak sepenuhnya terbuka, juga meninggalkan proses partisipasi bermakna dalam proses pembentukan aturan atau undang-undang. Tak hanya mendadak di mata masyarakat, pembahasan revisi UU ini juga mendadak bagi sebagian anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR. Pun ada yang baru menerima naskah akademik beberapa menit sebelum rapat Baleg dimulai pertama kali pada 20 Januari 2025.

Ada pembelajaran penting dari laporan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) KPK 2014-2018. Bahwa 60 persen dari 11 ribuan IUP kategori Non CnC. Sebanyak 90 persen dari 11 ribuan IUP tidak membayar jaminan pascatambang. Seharusnya, tata kelola pertambangan minerba fokus pada pembinaan, pengawasan dan penegakkan hukum. Bukan malah mendorong dan memfasilitasi bagi-bagi izin tambang.

Produksi batu bara, kata Aryanto, telah melebihi dari batas produksi nasional yang telah ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yakni maksimal sebesar 400 juta ton sejak tahun 2019. Namun di tahun yang sama hingga sampai saat ini, produksi batu bara terus naik hingga mencapai 836 juta ton.

“Dengan pemberian izin prioritas ini, justru membuka jalan penambahan izin untuk mengeksploitasi batu bara. Yang otomatis berdampak pada penambahan produksi batubara nasional. Dengan begini, produksi batu bara semakin tak terkendali atau semakin jauh dari amanat RUEN tersebut,” ungkap Aryanto.

Banyaknya izin pertambangan di Indonesia tak dibarengi dengan kemampuan pengawasan dan penegakkan hukum. Selain itu, transisi energi juga seharusnya menjadi pertimbangan dalam tata kelola energi Indonesia. Inilah yang seharusnya menjadi urgensi bicara tata kelola energi. Bukan malah sebaliknya, yakni bagi-bagi izin tambang.

Adapun dalam diskusi ini, perwakilan organisasi mahasiswa; Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI), Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Pimpinan Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PP KMHDI), Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI), Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), BEM Universitas Mulawarman (Unmul) dan Aliansi Front Pengadil Rakyat (FPR) yang hadir menyatakan menolak revisi UU Minerba yang kini tengah berproses di DPR.

Mereka menilai, pemberian izin prioritas kepada ormas keagamaan, perguruan tinggi dan UMKM berpotensi memperluas kerusakan lingkungan akibat pertambangan, pertambangan yang diberikan hanya dikelola pihak ketiga karena minimnya kompetensi dan modal. Terhadap pemberian izin untuk perguruan tinggi, mahasiswa menilai tak sesuai dengan tujuan dan fungsi perguruan tinggi.


Bagikan