Industri tambang dan migas memberi sumbangan besar terhadap penerimaan negara. Laporan EITI (Extractive Industry Transparency Initiative) tahun 2010-2011 menunjukkan bahwa penerimaan dari sektor migas sebesar 23 % dan dari sektor minerba sebesar 8,2% dari total penerimaan negara. Selain penerimaannya bagi negara, namun industri ini merupakan salah satu bisnis yang berdampak terhadap keberlanjutan lingkungan. Laporan The Economics of Ecosystems and Biodiversity menunjukkan dampak lingkungan dari bisnis (environmental cost of business) terhadap perekonomian global mencapai sekitar 4,7 T. Dampak paling merugikan berasal dari emisi gas rumah kaca, penggunaan air, penggunaan lahan, polusi udara, polusi lahan, air, dan limbah.

Oleh karenanya perlu untuk memastikan bahwa bisnis yang berjalan tetap peduli dengan aspek lingkungan dan sosial. Mekanisme ini mewujud dalam kerangka kerja/standar global seperti OECD Guidlines, ISO 26000, Extractive Industry Transparency Initiative (EITI), ICMM, IFC Performance, TSM, dan lain sebagainya.

Dalam rangka mempelajari standar global tersebut, PWYP Indonesia dalam kegiatan bulanannya, PWYP Knowledge Forum mengundang Jalal, aktifis CSR dan founder CSR+ sebagai narasumber (28/8) lalu. Dalam kesempatan ini Jalal menjelaskan beragam standar global yang berkaitan dengan industri ekstraktif (tambang dan migas).

Salah satu standar global yang dibahas adalah ISO 26000 (The International Organization for Standardization). Standar inilah yang menjadi rujukan utama dalam pembuatan pedoman yang berlaku umum, sekaligus menjawab tantangan kebutuhan masyarakat global termasuk Indonesia.

ISO 26000 ini memiliki 7 prinsip dan 7 core subjects. Prinsip tersebut yaitu: accountability, transparency, ethical behaviour, respect for stakeholder interests, respect for international norms of behaviour, respect for human right. Sedangkan 7 core subjects terdiri dari: organizational governance, human rights, labor practices, the environment, fair operating practices, consumer issues, dan community involvement and development. Indonesia sendiri sudah menyepakati ISO 26000 ini dengan melakukan penandatanganan di Kopenhagen tahun 2010.

“Sayangnya, beberapa Undang-Undang yang muncul setelah tahun 2010 tidak merujuk standar ini. Seperti UU tentang penanganan fakir miskin dan UU tentang kesejahteraan sosial, tidak merujuk pada core subjects ke-7 yaitu community involvement and development.” ujar Jalal.

Standar lainnya yaitu ICMM (The International Council on Mining and Metals) yang disepakati sejak tahun 2001 dan berperan sebagai katalisator dalam meningkatkan performa industri tambang dan logam. ICMM mempunyai 10 prinsip, dua diantaranya yang ditekankan Jalal adalah pertama, adanya kontribusi sosial, ekonomi, dan pengembangan institusi masyarakat di wilayah perusahaan beroperasi dan kedua, mengimplementasikan keterlibatan dan komunikasi yang transparan, efektif, melalui verifikasi laporan dengan stakeholder.

Meliana Lumbantoruan, Research and Knowledge Manager PWYP Indonesia menyampaikan pemerintah semoga tidak hanya mengadopsi standar-standar global tersebut, namun juga memastikan implementasinya di Indonesia khususnya terkait industri ekstraktif. “Pemerintah bisa memberlakukan sistem reward dan punishment bagi perusahaan yang mengimplementasikan standar tersebut,” katanya. Selain itu, masyarakat juga bisa menggunakan standar global sebagai instrumen dalam melakukan audit sosial perusahaan. Pemerintah juga seharusnya menjadikan standar yang disepakati menjadi rujukan dalam penyusunan regulasi.