Perjalanan dalam menjadikan sektor ekstraktif di Indonesia sebagai sektor yang akuntabel dan transparan juga meliputi agenda untuk mengembalikan ruang-ruang yang telah direnggut dari perempuan melalui kerangka pembangunan yang inklusif dan adil gender. Dalam hal ini, pemerintah pun telah mengakui pentingya pengarusutamaan gender melalui Inpres Nomor 9 Tahun 20001

Pada dasarnya, kegunaan sumber daya alam dan sumber kehidupan lainnya bertumpu pada bagaimana sumber ini didistribusikan dan dikelola sehingga mampu menunjang kesejahteraan bagi masyarakatnya demi memastikan adanya distribusi yang adil, merata, dan transparan. Problematika tata kelola muncul apabila sumber daya alam, terutama sektor ekstraktif ditetapkan hanya untuk kepentingan eksploitasi dan akumulasi kelompok tertentu dimana hal ini akan berdampak langsung pada lingkungan hidup, kualitas hidup, dan kelangsungan hidup dari masyarakat yang seharunya disejahterakan oleh sumber daya yang ada. 

Terdapat sejumlah permasalahan institusional dan struktural yang membatasi ruang dan akses bagi perempuan dan kelompok rentan terutama dalam mendapatkan akses dan kontrol sumber daya alam serta kualitas hidup livelihood yang sesuai2. Dalam diskursus negara kaya sumber daya alam, sektor ekstraktif biasanya dibuat menjadi sektor yang ekslusif dan tidak terjamah karena ada upaya untuk melanggengkan praktek penyelewengan dan korupsi. Secara langsung praktek ini meliputi pembentukan kebijakan dan keputusan yang secara aktif meminggirkan perempuan dan kelompok rentan dari ruang-ruang yang ada di sektor ekstraktif dan juga dalam pengambilan kebijakan terkait dengan tata kelola di sektor ini. Menurut laporan Natural Resource Governance Institute, ketimpangan atau ketidaksteraan yang lebih tinggi dihadapi oleh perempuan yang berada di negara yang bergantung pada sumber daya mineral3. Hal ini selaras dengan bagaimana di awal permasalahan dari tata kelola sektor ekstratif yang tidak inklusif dan berdasarkan logika eksploitasi pasti merenggut ruang dan akses perempuan dan melanggengkan ketidaksetaraan gender.

 Perempuan Indonesia Memperjuangkan Keadilan di Sektor Ekstraktif

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai macam kelompok perempuan di Indonesia telah mengambil andil besar dalam mengawal, memimpin dan menjadi pusat dari berbagai negosiasi terkait kawasan industri ekstraktif. Gerakan perempuan seperti gerakan perlawanan terhadap tambang besi di Sumba, Nusa Tenggara Timur, gerakan perempuan di Kabupaten Pati dan Rembang, beserta perjuangan yang masih berlangsung oleh ibu-ibu Kendeng, Jawa Tengah 4
. Perjuangan ini menjadi bukti nyata sebagaimana perempuan yang terpapar langsung dari kebijakan-kebijakan yang tidak mengakomodasi suara beserta pengetahuan lokal mampu untuk menghimpun suara dan turun langsung dalam memperjuangkan keadilan. 

Dalam diskusi tematik yang diselenggarakan oleh PWYP Indonesia terkait dengan pengarusutamaan gender dan pembangunan yang inklusif (5/2/2021), Risma Umar selaku Ketua Dewan Nasional WALHI memaparkan bagaimana gerakan-gerakan masyarakat akar rumput yang diinisiasikan oleh perempuan merupakan wujud dari hubungan dan pengetahuan yang dimiliki perempuan sebagai bagian dari lingkungan hidup. Ketika terjadi kerusakan tatanan lingkungan hidup seperti pencemaran air dan udara yang disebabkan oleh industri ekstraktif, hal ini akan berdampak langsung pada perempuan selaku kelompok yang banyak berperan dalam mengelola kehidupan bahkan dalam skala rumah tangga.  

Vandana Shiva menggambarkan bahwa ikatan atau hubungan yang dimiliki perempuan dengan alam merupakan dasar dari pergerakan perempuan dalam mencari keadilan ketika alam dieksploitasi5. Shiva menjelaskan bahwa ada agensi atau dorongan yang yang holistik dari ikatan yang ada antara pemberi kehidupan dan sumber-sumber kehidupan 6. Maka dari itu, masa depan yang gerakan ini perjuangkan adalah sebuah cita-cita pembangunan yang tidak meminggirkan perempuan dan masyarakat agar bisa hidup berdampingan dengan alam bukan semata-mata untuk dieksploitasi sumber dayanya.  

Perempuan Indonesia dalam Pengambilan Keputusan 

Saat ini perempuan mulai mengisi posisi-posisi penting pemangku kepentingan dari level kementerian, kepala daerah, pemimpin perusahaan, dan seterusnya. Dalam konstitusi negara, muncul berbagai kebijakan dan peraturan skala nasional dan kerangka hukum yang juga mendukung terciptanya ruang publik dan kesempatan partisipasi bagi perempuan Indonesia. Hal ini tercermin dimulai dari ratifikasi konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) sejak tahun 1984 sampai ke pengakuan pembangunan yang adil gender melalui Perpres Nomor 65 Tahun 2020 yang kemudian ditindak lanjuti melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-20247. 

Walaupun demikian, proses ini masih perlu ditingkatkan terutama di sektor ekstraktif. Tidak hanya dari skala partisipasi yang rendah dan minimnya keterlibatan tenaga kerja perempuan di industri ini. Melihat dari data keluaran Inisiatif Transparansi Industri Ekstratif atau EITI, Indonesia salah satu negara anggota EITI masih belum bisa memenuhi komitmen salah satunya dengan mengeluarkan data ketenagakerjaan yang terpilah berdasarkan gender, serta mengungkapkan data sensitif gender terkait pengeluaran sosial dari perusahaan ekstraktif8. Dari sini dapat dilihat bahwa adanya perubahan kebijakan tidak serta merta melancarkan permasalahan struktural yang ada untuk perempuan di sektor ekstraktif. 

Penting untuk dipahami bahwa pencapaian perempuan Indonesia secara institusional walau sudah berjalan perlu dikuatkan lagi. Dua hal yang bisa menjadi fondasi dari kelanjutan advokasi perempuan dan dalam pengambilan kebijakan adalah mulai diberlakukannya gender audit atau upaya peninjauan ulang yang mengedepankan perspektif gender dalam evaluasi institusi dan kinerja pemerintahan saat ini9. Saat ini, pemerintah Indonesia telah mampu melihat melampaui takaran kesenjangan dari Gender Analysis Pathway dalam formulasi kebijakan. Gender audit sendiri mampu memberikan ruang bagi masyarakat untuk bisa menilai dan terlibat ke reformasi baik dari birokrasi dan proyek pembangunan yang berlangsung. Kedua, adanya dorongan dari pihak eksternal dan internasional. Berbagai organisasi internasional dan perusahaan internasional mulai mewajibkan negara-negara mitra mereka untuk menjamin berlakunya nilai-nilai adil gender dalam berbisnis dan tata kelola negara10. Indonesia yang telah menjadi bagian dari EITI berarti harus memenuhi standar dan arahan terkait transparansi dan akuntabilitas di sektor ekstraktif yang dalam prakteknya harus memenuhi nilai-nilai yang adil gender. 

Kesimpulan

Merujuk ke pertanyaan awal terkait dimana perempuan dalam sektor ekstraktif di Indonesia, bisa disimpulkan bahwa terbangunnya tata kelola sektor ekstraktif yang transparan dan akuntabel juga memerlukan peran perempuan. Perempuan harus ada dalam proses pengembalian ruang-ruang yang telah direbut untuk kepentingan eksploitasi, terutama saat pengambilan keputusan terkait dengan tata kelola dan pembangunan yang inklusif, dan juga dalam mengawal jalannya berbagai kebijakan yang telah tercipta. Hal ini penting agar ke depannya segala capaian yang telah diperjuangkan berjalan dengan baik bukan sekedar formalitas. 

Penulis: Habibah Hasnah Hermanadi, Program Assistant Intern PWYP Indonesia

  1. Presiden Republik Indonesia. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 (2000). Jakarta.
  2. Kementrian Perencanaan dan Pembangunan Nasional. (2006). Evaluasi Pegarusutamaan Gender di Sembilan Sektor Evaluasi Pelaksanaan. Jakarta: Bappenas.
  3. NRGI. (2020). How Can Extractive Sector Laws and Policies Contribute to Gender Equality?. Diakses pada tanggal 9 Maret 2021, dari laman https://resourcegovernance.org/blog/extractive-sector-laws-policies-contribute-gender-equality
  4. Umar, R. (2012). Menguai Realita Pemiskinan Perempuan di Tengah Konflik Sumber Daya Alam (1st ed.). DKI Jakarta: Solidaritas Perempuan.
  5. Shiva, V. (2016). Staying alive: Women, ecology, and development. North Atlantic Books.
  6. ibid.
  7. Presiden Republik Indonesia. Peraturan Presiden nomor 65 tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2020 (2020). Jakarta.
  8. EITI. (2020). Towards a more gender-inclusive extractives sector.Diakses pada 9 March 2021, dari laman https://eiti.org/blog/towards-more-genderinclusive-extractives-sector
  9. Conteh, J. A. (2016). Gender Audit. The Wiley Blackwell Encyclopedia of Gender and Sexuality Studies, 1-3.
  10. True, J. (2010). Mainstreaming gender in international institutions. Gender Matters in Global Politics: A feminist introduction to international relations, 189-203.