Pertumbuhan kendaraan listrik di Indonesia semakin pesat. Sejak tahun 2019 yang berjumlah hanya 1.437, pada tahun 2024 mencapai 133.255 unit. Kendaran listrik merupakan inisiatif pemerintah untuk menciptakan transisi energi dan membentuk energi dan bersih yang lebih berkelanjutan. Setiap negara berlomba-lomba menciptakan inovasi dan menggunakan energi hijau dalam visi mereka.
Namun, apakah kendaraan listrik dalam transisi energi ini sudah berkeadilan?
Rina Prasarani, Ketua II Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Bidang Advokasi dan Peningkatan Kesadaran, mengatakan transisi energi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sama sekali belum berkeadilan, khususnya pada perempuan dengan disabilitas netra.
Kendaraan listrik adalah kendaraan yang menggunakan motor listrik sebagai penggerak utama tanpa menghasilkan emisi dan suara bising seperti kendaraan berbahan bakar fosil. Walaupun banyak yang melihat kendaraan listrik dapat mengurangi polusi suara, namun nyatanya hal ini sangat berbahaya bagi penyandang disabilitas.
Rina bercerita bagaimana kendaraan listrik di Indonesia berpotensi membahayakan dan meningkatkan dependensi penyandang disabilitas, terlebih disabilitas netra.
Belum Berkeadilan pada Kelompok Disabilitas
Dalam Presidensi G20, Indonesia menaikkan target pengurangan emisi menjadi 31,89% di tahun 2030 agar mencapai net zero emissions di 2060, salah satu cara yang digencarkan adalah penggunaan kendaran listrik.
Pada tahun 2022, Airlangga Hartarto selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyebut, “Transisi energi harus adil, terjangkau, dan dapat diakses oleh semua orang. Indonesia memiliki komitmen untuk mencapai net zero emissions pada tahun 2060 atau lebih cepat, dan target tersebut tidak boleh tergelincir,” dilansir dari website resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Di balik motivasi yang menggebu-gebu tersebut, akses bagi semua orang nyatanya belum dapat dinikmati oleh beberapa kelompok. Khususnya kelompok disabilitas.
Kendaraan listrik yang didesain tanpa suara kurang memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas. Suara senyap pada kendaraan listrik membuat orang dengan disabilitas netra sulit mendeteksi kendaraan yang mendekat sehingga meningkatkan risiko kecelakaan, terutama di area yang padat pejalan kaki.
“Kendaraan yang bersuara aja kita bisa (kecelakaan). Kalau misal kendaraan tetap ada suaranya, tidak hanya menguntungkan kita yang Tuna Netra tapi juga anak-anak dan lansia.
… Jadi, menurut kita suatu transisi harus mempertimbangkan masukkan dari orang-orang rentan.”
Risiko KBG terhadap Perempuan Penyandang Disabilitas
Tidak hanya risiko kecelakaan namun juga adanya potensi yang membahayakan salah satunya kekerasan berbasis gender.
Suara adalah salah satu cara disabilitas netra menavigasikan dirinya agar aman. Tanpa adanya suara, disabilitas netra tidak dapat mendeteksi kendaraan yang mendekat, yang mengancam keselamatan mereka di jalan raya. Jalan raya sendiri jauh dari kata aman bagi perempuan, terlebih lagi perempuan dengan disabilitas netra. Perempuan dengan disabilitas memiliki kerentanan ganda karena dirinya sebagai perempuan dan kedisabilitasan yang dimiliki.
Berdasarkan laporan UNFPA 2023, perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas memiliki kemungkinan 10 kali lebih besar untuk mengalami kekerasan berbasis gender daripada perempuan dan anak perempuan tanpa disabilitas. Bahkan Catahu Komnas Perempuan mencatat korban perempuan dengan disabilitas yang menjadi korban kekerasan adanya 103 kasus sepanjang 2023.
Keberadaan kendaraan yang senyap justru menambah kerentanannya, karena mereka kesulitan untuk mengetahui kendaraan yang mendekat, sehingga meningkatkan potensi kecelakaan dan kekerasan berbasis gender yang bisa terjadi di ruang publik.
Perempuan dengan disabilitas memiliki tantangan tersendiri di ruang publik dalam mengakses transportasi umum. Rina menceritakan tidak jarangnya ia mengalami kekerasan di jalan atau saat di transportasi umum baik secara verbal atau fisik. Ia melihat orang-orang tersebut melihat perempuan dengan disabilitas netra sepertinya dapat dimanfaatkan dan merasa lebih superior. Di lain sisi, tidak mudah bagi perempuan dengan disabilitas untuk melawan.
“Jadi banyak pertimbangan kalau perempuan disabilitas kalau mau melapor. Melapor juga kemana dia nggak tahu kan arahnya. Jadi narasi di tempat-tempat publik tentang pencegahan kekerasan sangat penting. .. Berani ngadu buat perempuan disabilitas itu susah. Untuk perempuan biasa saja susah. Kita lebih lagi gitu”, ungkap Rina.
Partisipasi Bermakna untuk Penyandang Disabilitas
“Pembahasan mengenai zero noise pada kendaraan listrik sebenarnya sudah ada sejak tahun 2007, terutama oleh komunitas disabilitas netra, seperti World Blind Union”, tutur Rina. Mereka menyoroti bahwa kendaraan listrik yang hampir tidak bersuara dapat menjadi ancaman serius bagi pejalan kaki, terutama bagi mereka yang mengandalkan suara kendaraan untuk navigasi, seperti penyandang disabilitas netra.
Namun, alih-alih menjadi pertimbangan utama dalam perancangan kendaraan listrik, isu ini baru mendapat perhatian bertahun-tahun kemudian, ketika mulai terjadi kecelakaan yang melibatkan pejalan kaki dengan disabilitas. Baru setelah itu, beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, mulai memberlakukan aturan yang mewajibkan kendaraan listrik memiliki sistem peringatan suara buatan atau Acoustic Vehicle Alert System (AVAS). Sayangnya, implementasi kebijakan ini masih belum ada di Indonesia.
Sebenarnya pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 44 Tahun 2020 yang mengatur pengujian tipe fisik kendaraan bermotor dengan motor penggerak listrik. Salah satu poin penting dalam peraturan ini adalah kewajiban bagi kendaraan listrik kategori M (mobil penumpang), N (kendaraan pengangkut barang), dan O (trailer) untuk dilengkapi dengan suara guna meningkatkan keselamatan pengguna jalan, terutama bagi penyandang disabilitas netra yang mengandalkan suara kendaraan untuk navigasi, dilansir dari CNN Indonesia. Namun, implementasi penuh dari ketentuan ini baru diwajibkan mulai tahun 2024.
Penyebab utama keterlambatan ini adalah kurangnya perspektif disabilitas dan inklusi sosial dalam kebijakan transportasi dan inovasi teknologi, salah satunya tidak adanya keterlibatan dan partisipasi berarti untuk penyandang disabilitas.
Rina bercerita bagaimana stakeholder sering mengundangnya dan juga HWDI, ke berbagai forum kebijakan. Namun, menurutnya, keterlibatan ini lebih sering terasa sebagai formalitas daripada sebuah partisipasi yang benar-benar bermakna. Dalam banyak kesempatan, ia dan rekan-rekan penyandang disabilitas hadir hanya untuk memenuhi kuota inklusi, tanpa adanya perhatian serius terhadap isu yang mereka bawa.
Bahkan Mouna Wasef, Kepala Divisi Penelitian dan Advokasi Publish What You Pay, pernah menghadiri sebuah forum tentang transisi energi yang diadakan oleh salah satu kementerian dan mendapati bahwa pemerintah masih belum menyadari adanya isu zero noise yang berdampak pada penyandang disabilitas netra.
Rina juga menambahkan bahwa perempuan dengan disabilitas masih banyak yang belum memahami konsep transisi energi, apalagi dampaknya terhadap kehidupan mereka. Minimnya sosialisasi dan edukasi mengenai kebijakan energi berkelanjutan membuat mereka sulit terlibat dalam diskusi yang lebih luas, padahal mereka adalah kelompok yang turut merasakan dampaknya.
“Teman-teman itu istilah transisi energi aja masih belum ngerti. Istilah, kalau kita ngomong masalah perubahan iklim aja, mereka masih mikirnya bencana aja. Jadi memang KIE, Communication Information and Education untuk penyandang disabilitas itu nggak bisa disamakan modelnya dengan yang lain. Harus ada dimodifikasi biar bisa sesuai dengan kita.” ungkap Rina.
Dalam realitas seperti ini, transisi energi yang diharapkan membawa keadilan justru berisiko menciptakan ketimpangan baru. Jika perancangan kebijakan masih tidak melibatkan mereka yang terdampak langsung, bagaimana mungkin penyandang disabilitas bisa ikut beradaptasi, apalagi berpartisipasi dalam perubahan ini?
Aksesibilitas untuk Penyandang Disabilitas di Perkotaan
Tidak hanya dari kendaraan listrik, tapi juga infrastruktur di perkotaan masih belum ramah untuk penyandang disabilitas dari semua ragam. Rasanya masih terlalu jauh saat membicarakan partisipasi yang berarti tanpa memberikan akses dasar dalam pemberian aksesibilitas di kota.
Berdasarkan riset ITDP bersama GAUN pada 2021, lebih dari 50% dari 53 penyandang disabilitas menyatakan transportasi umum, trotoar dan jembatan penyebrangan di Jakarta belum inklusif. Infrastruktur perkotaan di Jakarta masih belum mendukung mobilitas orang dengan disabilitas.
Rina mengaku kesulitan saat ia harus mengakses transportasi umum bahkan bersama dengan bantuan pendamping. Bagi Rina, transportasi publik masih jauh dari kata aksesibel bagi penyandang disabilitas netra. Bahkan saat pergi berdua dengan pendamping, ia masih sering kebingungan mencari akses masuk atau memahami arah pergerakan di dalam stasiun. “Aku gak kebayang kalau sendirian,” ujarnya.
Salah satu masalah terbesar adalah Guiding Block, atau ubin pemandu yang seharusnya membantu disabilitas netra menavigasi ruang publik. Sayangnya, banyak Guiding Block di stasiun dipasang asal-asalan, bahkan lebih terlihat seperti ornamen dekoratif daripada alat bantu navigasi.
“Seharusnya Guiding Block itu memberi petunjuk jelas, tapi malah dibuat belok-belok tanpa arah yang benar,” keluhnya.
Hal ini menunjukkan bahwa orang yang memasangnya tidak memahami fungsinya, yang akhirnya membuat penyandang disabilitas semakin kesulitan menggunakan transportasi publik meskipun sudah berbasis energi terbarukan.
Rina juga melihat berjalan di trotoar Jakarta masih menjadi tantangan besar. Sebagai disabilitas netra, ia sering kali harus menghadapi trotoar yang tidak rata, berlubang, atau bahkan mendadak terputus tanpa peringatan. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir Jakarta mulai berbenah dengan membangun jalur pedestrian yang lebih lebar dan Guiding Block bagi disabilitas netra, kualitas dan perawatannya masih jauh dari ideal.
Rina sering mendengar cerita dari teman-temannya yang terjatuh karena lubang di trotoar atau tersandung material galian yang dibiarkan begitu saja tanpa pengaman. “Kalau di Jepang, pagi lantai rusak, sore sudah diperbaiki. Di sini, kita bahkan tidak tahu kapan akan dibenahi,” ujarnya. Ia menekankan bahwa infrastruktur yang buruk bukan hanya menyulitkan tunanetra, tetapi juga berbahaya bagi pengguna kursi roda dan semua pejalan kaki.
Lebih dari itu, bagi penyandang disabilitas yang mengalami kecelakaan akibat buruknya infrastruktur, hampir tidak ada mekanisme yang memungkinkan mereka untuk menuntut pertanggungjawaban hingga tuntas. Inilah yang membuat Jakarta, meskipun tampak lebih maju dalam pembangunannya, masih belum benar-benar ramah bagi semua warganya, terutama bagi kelompok disabilitas.
Pentingnya Akomodasi yang Layak dan Extra Cost of Disability
Dalam transisi energi yang berkeadilan, akomodasi yang layak dan extra cost of disability juga menjadi faktor penting yang sering kali terabaikan yang tidak mempertimbangkan aksesibilitas untuk penyandang disabilitas.
Orang dengan disabilitas mempunyai extra cost of disability dalam kehidupan sehari-hari mereka. Berdasarkan Yayasan Mitra Netra, Extra cost of Disability merujuk pada biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh penyandang disabilitas dan keluarganya untuk memenuhi kebutuhan dasar yang tidak dialami oleh orang nondisabilitas, seperti kebutuhan pendamping, alat bantu dan akomodasi yang layak lainnya.
Rina mengaku bagaimana layanan publik sering mempersulitnya dan penyandang disabilitas lain dalam mengakses layanan salah satunya mengisi e-money atau membuat rekening bank.
“Belum kalau dia (penyandang disabilitas) mau cari pendamping juga susah. Pendamping juga kadang-kadang sedikit, banyaknya pasti ada juga lagi, entah minumnya, transportnya, entah apanya gitu ya. Yang kita keluarin, itulah yang dinamakan extra cost of disability.”
Rina menyebut extra cost disability bisa dibilang merupakan pengeluaran 4x lipat dari orang non-disabilitas terutama dalam keadaan khusus, seperti sakit, menyusuri tempat baru, dan keadaan di luar rutinitas orang dengan disabilitas tersebut.
Penggunaan kendaraan listrik yang digadang-gadang sebagai solusi transportasi ramah lingkungan, sayangnya, masih belum mempertimbangkan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Dari minimnya desain kendaraan yang inklusif hingga transportasi publik berbasis listrik yang sulit diakses, transisi ini justru semakin memperberat biaya yang harus mereka tanggung.
“Harus ada diskresi, nggak bisa disamaratakan. Tapi pada saat itu pengurangan cost itu, pengurangan energi untuk penyelamatan bumi, dengan memperhitungkan orang-orang yang rentan, itu baru namanya adil,” jelas Rina.
Tidak Etisnya Pengolahan Baterai Kendaraan Listrik
Lebih jauh, produksi kendaraan listrik juga tidak lepas dari pengelolaan sumber daya yang tidak etis, khususnya dalam penambangan nikel, yang menjadi bahan utama dalam baterai kendaraan listrik.
Dalam wawancara dengan Mouna Wasef, Kepala Divisi Penelitian dan Advokasi, Publish What You Pay, ia mengatakan bagaimana produksi nikel benar energi terbarukan tapi belum bisa dikatakan transisi yang hijau atau berkelanjutan walaupun kebijakan pemerintah mencerminkan ambisi besar ini.
Melalui larangan ekspor bijih nikel sejak 2020, Indonesia memaksa industri global untuk berinvestasi dalam hilirisasi nikel dan membangun pabrik pengolahan (smelter) di dalam negeri. Tujuannya adalah agar Indonesia tidak sekadar mengekspor bahan mentah, tetapi juga mengembangkan industri baterai EV yang bernilai tambah tinggi. Kebijakan ini juga sejalan dengan visi pemerintah untuk menjadi hub manufaktur kendaraan listrik di Asia Tenggara, menarik investasi dari perusahaan global seperti Tesla, LG, dan CATL (Contemporary Amperex Technology Co. Limited) yang berencana membangun fasilitas produksi di Indonesia.
Berdasarkan laporan Climate Rights International, Indonesia memasok 48% kebutuhan nikel global pada tahun 2022, dan permintaan nikel diperkirakan meningkat 60% pada tahun 2040 karena pertumbuhan industri kendaraan listrik.
Dalam laporan ini, Industri nikel di Indonesia, khususnya Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera, telah memberikan dampak serius bagi lingkungan dan masyarakat lokal. Bagi nelayan seperti Max Sigoro, polusi air laut akibat limbah industri dan air panas dari PLTU telah merusak ekosistem perairan, menyebabkan hasil tangkapan ikan anjlok dan memaksa mereka melaut lebih jauh dengan risiko dan biaya yang lebih besar.
Tidak hanya itu, masyarakat adat dan petani juga mengalami perampasan lahan tanpa kompensasi yang layak, dengan banyak yang menghadapi intimidasi dari aparat saat menolak menyerahkan tanah mereka. Selain itu, deforestasi besar-besaran telah menghilangkan lebih dari 5.331 hektar hutan tropis, sementara emisi dari pembangkit listrik tenaga batu bara yang menopang industri ini mencapai 3,78 gigawatt per tahun, menjadikan konsumsi batu bara di kawasan ini lebih besar dibandingkan Spanyol atau Brasil.
Alih-alih menciptakan sistem transportasi yang inklusif dan adil, kendaraan listrik justru berpotensi memperkuat ketimpangan sosial jika proses produksinya mengabaikan prinsip keberlanjutan dan hak asasi manusia. Jika transisi energi benar-benar ingin disebut berkeadilan, maka aksesibilitas dan etika produksi harus menjadi bagian dari perhitungannya, bukan hanya sekadar pengurangan emisi.
Bahkan, Mouna Wasef menyoroti bahwa dampak industri nikel tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memperburuk kondisi perempuan, terutama di pedesaan dari hasil penelitian PWYP di Morowali, Sulawesi Tengah.
Di Morowali Utara, industri nikel berkembang pesat, menarik ribuan pekerja, tetapi hanya sedikit dari mereka adalah perempuan. Data dari laporan PWYP menunjukkan, dari 22.187 perempuan pekerja, hanya 1.090 atau 4,9% yang bekerja di pertambangan. Itupun, kebanyakan ditempatkan di bagian administrasi, bukan di lapangan. Sementara itu, perempuan yang bergantung pada pertanian dan perikanan menghadapi tantangan berat akibat ekspansi tambang yang menggerus lahan mereka. Lumpur hasil tambang tidak hanya merusak ekosistem air tetapi juga menutupi ladang, menyebabkan gagal panen.
Tidak hanya itu, dampak nyata lainnya adalah krisis air bersih, yang sangat berpengaruh pada perempuan karena mereka bertanggung jawab atas kebutuhan air dalam rumah tangga. “Perempuan di desa pasti mencari sumber air untuk masak dan kebutuhan lainnya. Tapi karena air sudah tercemar, diminum oleh ibu hamil, banyak kasus stunting di desa itu,” jelas Mouna.
Selain itu, perampasan lahan tanpa kompensasi yang adil juga memperburuk kondisi ekonomi rumah tangga, yang sering kali berujung pada peningkatan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
“Banyak kasus tanah diserobot paksa, tidak dibayar ganti ruginya, atau nilainya sangat rendah,” ungkapnya. Kondisi ini semakin memperparah ketimpangan gender dalam rumah tangga, di mana perempuan berada dalam posisi yang lebih rentan terhadap kekerasan ekonomi dan domestik. “Kita tahu dalam rumah tangga, posisi perempuan masih subordinal, jadi sering kali jadi korban,” tambahnya.
Ironisnya, perempuan yang paling terdampak justru minim dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dalam laporan PWYP, sebanyak 90% perempuan adat tidak pernah diajak berbicara dalam proses pembangunan yang berlangsung di sekitar mereka. Program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) pun tidak transparan, hanya diberikan Rp60 juta per tahun ke desa, tanpa kejelasan mekanisme dan tanpa melibatkan perempuan dalam penggunaannya.
Di antara kelompok perempuan yang paling rentan, perempuan penyandang disabilitas menghadapi tantangan berlapis. Mereka tidak hanya kehilangan akses terhadap sumber daya alam, tetapi juga mengalami keterbatasan dalam mobilitas dan partisipasi ekonomi. Tidak ada data resmi mengenai berapa banyak perempuan disabilitas yang terdampak tambang, apakah mereka memiliki kesempatan kerja, atau justru semakin tersisih.
Inisiatif Perempuan dengan Disabilitas
Di tengah pergeseran menuju energi bersih dan transportasi berkelanjutan, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) terus berjuang agar penyandang disabilitas, khususnya perempuan, tidak tertinggal dalam perubahan ini. Sayangnya, banyak dari mereka masih belum memahami bahwa transisi energi juga berdampak pada kehidupan mereka, mulai dari aksesibilitas kendaraan listrik hingga kebijakan transportasi umum berbasis energi terbarukan.
Ketika mereka tidak menyadari hak mereka dalam perubahan ini, mereka pun semakin sulit untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan yang sebenarnya juga menyangkut mereka. HWDI secara aktif melakukan pelatihan dan lobi ke berbagai pemangku kepentingan, tidak hanya untuk meningkatkan pemahaman penyandang disabilitas, tetapi juga untuk mendorong sensitivitas terhadap kebutuhan mereka dalam perancangan kebijakan transportasi dan energi bersih. Meskipun ada upaya untuk memberikan ruang partisipasi bagi perempuan dengan disabilitas, masih banyak hambatan yang mereka hadapi.
“Edukasi yang tidak merata membuat banyak teman-teman takut untuk berbicara, jadi hanya orang-orang tertentu saja yang bisa bersuara,” ujar Rina. Akibatnya, suara perempuan disabilitas dalam forum-forum kebijakan sering kali tidak terdengar, meskipun mereka adalah kelompok yang paling terdampak.
Saat ini upaya HWDI adalah membuka diskusi dan membuat narasi khususnya ke stakeholder, tentang bagaimana penyandang disabilitas bisa menjadi aktor, bukan hanya objek dari perubahan ini.
“Transisi energi itu bukan sekadar perubahan gaya hidup, tetapi juga perubahan pola pikir,” ujar Rina. Sayangnya, hingga kini belum ada mekanisme konkret yang memastikan penyandang disabilitas tetap dapat memiliki kendaraan dengan standar polusi rendah atau mendapatkan dukungan dalam menghadapi dampak transisi energi. “Dengan dinaikkannya harga bensin saja, teman-teman disabilitas sudah kesulitan. Tapi tidak pernah ada subsidi bahan bakar khusus untuk mereka,” tambahnya.
Bahkan, alih-alih menjadi bagian dari solusi, penyandang disabilitas justru masih sering diposisikan sebagai “tamu” dalam forum-forum kebijakan. “Masalahnya, kita selalu jadi proyek. Jadi tamu aja, yang penting datang,” ujar HWDI dengan nada kritis. Padahal, transisi energi yang berkeadilan bukan hanya tentang memperhitungkan kelompok rentan sebagai target, tetapi juga mengakui mereka sebagai aktor yang dapat memberikan masukan bagi pembangunan yang adil. Jika transisi energi benar-benar ingin inklusif, maka pemerintah harus mulai melihat penyandang disabilitas sebagai bagian dari solusi, bukan sekadar undangan dalam rapat-rapat kebijakan.
Dari Pendekatan Amal ke Pendekatan Berbasis Hak Asasi Manusia
Selama ini, penyandang disabilitas masih sering dipandang melalui pendekatan berbasis amal (charity-based approach), di mana mereka dianggap sebagai kelompok yang membutuhkan belas kasihan dan bantuan semata. Padahal, pendekatan ini justru menghambat mereka untuk mendapatkan hak yang setara dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk transportasi dan akses energi.
HWDI dan berbagai organisasi disabilitas lainnya terus mendorong pergeseran ke pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia (human rights-based approach), di mana penyandang disabilitas tidak hanya dilihat sebagai penerima manfaat, tetapi juga pemangku kepentingan yang memiliki hak yang sama dalam menentukan kebijakan. Termasuk dalam hal transportasi yang ramah disabilitas, kebijakan kendaraan listrik yang inklusif, serta akses terhadap infrastruktur yang mendukung mobilitas mereka.
Tanpa keterlibatan perempuan disabilitas dalam pengambilan keputusan, transisi energi dan transportasi inklusif hanya akan menjadi slogan tanpa realisasi nyata. Perubahan tidak cukup hanya datang dari regulasi yang ada, tetapi juga dari kesadaran kolektif bahwa disabilitas bukanlah masalah individu yang butuh belas kasihan, melainkan bagian dari keberagaman masyarakat yang harus diperhitungkan dalam setiap kebijakan yang dibuat.
Artikel Kolaborasi Konde dan LBH APIK x Kalyanamitra
(Editor: Anita Dhewy)
This article first appeared on Konde.co and is republished here under a Creative Commons license.