JAKARTA – “Bagaimana tanggapan Pemerintah Daerah saat menerima laporan masyarakat sekitar tambang ?” Demikian pertanyaan dari Clare Short, Chair of The Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) International ketika bertemu dengan CSO di Indonesia di sela-sela diskusi publik bertajuk “Tantangan Transparansi Penerimaan Sektor Migas & Tambang di Era Pemerintahan Baru” pada tanggal 4 Februari 2015 yang diselenggarakan oleh PWYP Indonesia di Jakarta.

Pertanyaan tersebut merespon pemaparan Jensi Sartin dari PWYP Indonesia tentang kontekstualisasi laporan EITI dan bagaimana CSO menggunakan open data dalam advokasi perbaikan tata kelola industri ekstraktif. Salah satu contoh di level sub-nasional dalam hal open data antara lain penggunaan drone sebagai alat verifikasi untuk mengetahui langsung dilapangan perusahaan apa saja yang beroperasi di sekitar tambang, berapa luas daerah operasi, serta bagaimana operasi mereka di lapangan.

Dalam hal peta tata ruang, PWYP Indonesia bersama Swandiri Institute menginisiasi peta perijinan tambang yang dioverlay dengan perijinan sawit dan industri kehutanan. Melalui overlay tersebut dapat diidentifikasi terjadinya overlapping perizinan serta mengkalkulasi potensi hilangnya penerimaan negara dari sektor tambang.

Menjawab pertanyaan Clare Short, Jensi mengungkapkan bahwa hasil overlay tersebut menjadi bahan masukan pemerintah daerah dalam perumusan Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kalbar. Ketika salah satu perwakilan CSO di Indonesia menanyakan apakah ada semacam studi kasus pelaksanaan EITI yang tingkat kerumitannya sama dengan Indonesia, Clare Short menjawab pengalaman Nigeria dan Kongo bisa menjadi salah satu contohnya. Clare Short juga menyatakan butuh waktu yang tidak sebentar untuk mendorong adanya reformasi kebijakan. Akan tetapi, optimisme harus tetap dibangun. “Apa yang terjadi di Kalbar, Nigeria dan Kongo menunjukkan bahwa perubahan itu bisa didorong oleh peran masyakarat sipil” jelas Clare Short.