Jakarta – Undang-undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) disebut mampu membawa perubahan terhadap pengelolaan keuangan daerah. Salah satunya terkait dana abadi.
Direktur Eksekutif Publish What You Pay (PWYP), Aryanto Nugroho menyebut implikasi UU HKPD cukup luas, tidak sebatas tentang dana abadi daerah. Namun, UU ini berhasil menciptakan perubahan di sektor ekstraktif. Misalnya, daerah yang dulunya tidak memiliki dana bagi hasil (DBH), kini berpotensi mendapatkan dana tersebut.

“Dulu Cepu, Blora itu tidak dapat DBH. Tapi dengan UU HKPD, sekarang Blora dapat DBH Migas. Bahkan hitung-hitungannya, tahun ini atau tahun depan bisa dapat Rp 2-3 triliun,” kata Aryanto dalam acara bertajuk Pengelolaan Keuangan Pusat-Daerah dalam Pemanfaatan Dana Abadi untuk Pembangunan Berkelanjutan, Selasa (19/7/2022).

Namun, Aryanto mempertanyakan ke mana dana tersebut akan digunakan. “Kalau tiba-tiba dapat DBH, anggarannya akan digunakan untuk apa, apakah infrastruktur, mengatasi kemiskinan, atau coba kita jadikan dana abadi untuk kepentingan regenerasi,” tambahnya.

Menurutnya penting untuk pihak terkait agar mendorong pembuatan dana abadi ke daerah yang mulai mendapatkan DBH. Apalagi DBH dari migas dan batu bara diprediksi semakin tinggi.

Dorongan membentuk dana abadi migas sebenarnya sudah dibuat sejak 2014, bermula dari kasus Bojonegoro. Sejak migas beroperasi di Bojonegoro, kabupaten itu mendapatkan DBH yang besar dan menjadi kabupaten yang kaya.

Pemerintah Daerah Bojonegoro mulai menyusun perda dana abadi sejak 2013. Namun setelah kepemimpinan berganti beberapa kali, perda tersebut belum juga selesai.

Aryanto mengungkapkan beberapa alasannya, misalnya belum jelasnya sumber aturan karena belum ada UU HKPD saat itu, masalah pendanaan, tujuan, kapasitas fiskal, kelembagaan, dan lain-lain.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial menyebut ada empat pilar utama dalam UU HKPD. Pertama, pengembangan hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah untuk meminimalisir ketimpangan.

Kedua, alokasi sumber daya yang efisien melalui pengembangan sistem perpajakan. Ketiga, peningkatan sumber belanja. keempat, harmonisasi belanja antara pemerintah pusat dan daerah.

Sumber: Detik