JAKARTA, KOMPAS — Potensi sumber energi terbarukan di Indonesia yang melimpah sangat strategis untuk dioptimalkan pemanfaatannya di tengah tren kenaikan harga energi fosil, seperti minyak, gas alam, dan batubara. Tanpa dukungan dari daerah, rencana meningkatkan bauran energi terbarukan akan terkendala. Perbaikan iklim investasi juga mendesak.

Dalam beberapa pekan terakhir, harga minyak mentah dunia melonjak hingga ke level 94 dollar AS per barel, sedangkan batubara ada di level 180-an dollar AS per ton. Lonjakan sumber energi primer tersebut berpotensi menaikkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) maupun tarif tenaga listrik di dalam negeri. Oleh karena itu, pengembangan energi terbarukan menjadi mutlak untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil.

Mengenai peran daerah, menurut Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho, pemerintah daerah mempunyai peran strategis dalam percepatan transisi energi, baik dalam konteks kebijakan maupun penganggaran pengembangan energi terbarukan. Hanya saja, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tidak secara eksplisit menyebutkan kewenangan mengenai pengembangan energi terbarukan.

“Selama ini, sudah ada beberapa pemerintah daerah yang sadar terhadap pentingnya transisi energi, tetapi ada kecenderungan menerapkan transisi energi hanya sebatas proyek (jangka pendek) saja,” kata Aryanto saat dihubungi, Selasa (15/2/2022), di Jakarta.

Pemerintah tengah menyusun rancangan peraturan presiden yang merupakan turunan dari UU No 23/2014. Lewat aturan tersebut, diharapkan pemerintah daerah mampu memberi dukungan penuh terhadap pencapaian target bauran energi terbarukan dan target pengurangan emisi gas rumah kaca. Penguatan peran daerah perlu dibarengi dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

Diharapkan pemerintah daerah mampu memberi dukungan penuh terhadap pencapaian target bauran energi terbarukan dan target pengurangan emisi gas rumah kaca.

“Kami akan memfasilitasi penerbitan panduan bagi daerah agar dapat berperan lebih besar dalam mendukung pencapaian target di sektor energi, khususnya yang terkait transisi energi,” ujar Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah pada Kementerian Dalam Negeri Sugeng Hariyono.

Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bauran energi primer penyediaan listrik, per November 2021, batubara dominan sebesar 65,93 persen. Adapun gas bumi 17,48 persen, BBM 3,86 persen, dan energi terbarukan 12,73 persen.

Banyak tantangan

Ketua Program Studi Magister Energi Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, Jaka Windarta, dihubungi dari Jakarta, mengatakan, pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih banyak tantangan. Namun, pengembangannnya wajib terus dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Penerimaan masyarakat memengaruhi keberhasilan program transisi energi pemerintah pusat.

Deretan kincir angin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) menghiasi puncak bukit di Dusun Tanarara, Desa Maubokul, Kecamatan Pandawai, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Rabu (3/2/2021). Sebagian besar dari 48 kincir angin yang dibangun pada 2013 lalu itu hingga kini masih berfungsi dengan baik dalam memenuhi kebutuhan listrik masyarakat sekitar.

“Kendaraan listrik, misalnya. Masyarakat menunggu harga mobil listrik terjangkau lantaran harganya saat ini masih terbilang mahal dan produksinya terbatas. Begitu pula program pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Yang menjadi tantangan adalah pola pikir masyarakat yang lebih banyak memikirkan hal keekonomiannya,” ucap Jaka.

Dalam telekonferensi pers, Selasa, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menerima sejumlah aduan dari daerah terkait pengembangan PLTS atap. Pengaduan mencakup perizinan yang dianggap lama, munculnya persyaratan tambahan, dan permohonan izin melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik mengharuskan pemohon memiliki Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) tertentu.

“Meski kepala daerah sudah memiliki komitmen transisi energi, tetapi di tingkat bawah (dinas) masih ada yang mempersulit,” kata Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa.

Sementara itu, Staf Khusus Menteri Investasi M Pradana Indraputra, menambahkan, sesuai Indeks Daya Tarik Negara Energi Terbarukan (RECAI) yang dirilis Ernst & Young, Indonesia ada di urutan ke-39 dari 40 negara. Artinya, Indonesia masih dianggap sebagai negara yang kurang menarik untuk investasi energi terbarukan.

Sumber: Kompas