JAKARTA – Koalisi masyarakat sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, menyambut baik keluarnya Inpres No 7/2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2015. Instruksi ini merupakan kebijakan anti korupsi pertama yang ditandatangani Jokowi sejak menjadi presiden. mulai kast 2014.

Inpres tersebut menjabarkan dan mengimplementasikan Peraturan Pemerintah (PP) No 55/2012 tentang Strategi Nasional Rencana Aksi Jangka Panjang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2012-2015. Hal ini mewajibkan seluruh kementerian, sekretaris kabinet, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala Lembaga Non Kementerian, Sekretaris Jenderal Tinggi, Gubernur, Bupati dan Walikota di Indonesia untuk secara kolaboratif dan komprehensif melaksanakan Rencana Aksi.

Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah mengatakan, instruksi ini memberi kesan kepada publik bahwa pemerintahan Jokowi memiliki kesamaan visi untuk memerangi korupsi. “Inpres ini kami salurkan dan siap membantu memantau implementasinya, khususnya di bidang energi dan mineral,” kata Maryati, Minggu (31/5).

Instruksi tersebut mencakup 96 poin tindakan yang direncanakan akan dilaksanakan sepanjang tahun 2015. Setiap poin telah dijabarkan menjadi tindakan detail, termasuk instansi yang bertanggung jawab dan menjadi milestone dari setiap kegiatan.

Publish What You Pay mencatat beberapa kegiatan yang terkait dengan energi dan mineral seperti percepatan implementasi Minerba One Map Indonesia (MOMI), evaluasi pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres) No. 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Nasional / Daerah dari Ekstraktif -Industri minyak bumi, gas, dan pertambangan- Perindustrian, Percepatan pengadaan peta dasar tanah, transparansi PNBP nasional dari sumber daya alam, kajian penyesuaian beberapa peraturan menteri di kementerian energi dan sumber daya mineral terkait implementasi UU Minerba.

“Kami mengapresiasi MOMI sebagai langkah positif dalam menyediakan sistem perizinan yang transparan. Dengan demikian, dapat mencegah potensi tumpang tindih izin, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memantau izin yang ada, ”ujar Aryanto, Koordinator Advokasi PWYP Indonesia.

Aryanto juga menambahkan penilaian Perpres tentang Transparansi Industri Ekstraktif (Perpres 26/2010) relevan mengingat status Indonesia dalam EITI yang saat ini “dibekukan” akibat tidak memenuhi tenggat waktu pelaporan. “Sungguh ironis, mengingat kami baru mencapai status compliant pada akhir tahun 2014, yang berarti kami telah mampu memenuhi standar global,” kata Aryanto.

Wahyudi, Program Officer Economic Governance in the Transparency International (TI) Indonesia mengingatkan Jokowi untuk mendesak regulasi ini. “Publik akan terus memperhatikan komitmen presiden untuk menerapkan peraturan ini. Kami tidak ingin aturan ini berakhir di kabinet pengisian, karena kurangnya kemauan politik dari pemerintah untuk melaksanakannya, atau tidak adanya sanksi jika tidak menerapkannya. ” Kata Wahyudi. Ia menambahkan, Indonesia harus berkomitmen untuk melaksanakan upaya pemberantasan korupsi, apalagi Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) melalui UU No 7/2006.

Instruksi ini melengkapi upaya yang ada untuk memerangi korupsi di sektor ekstraktif. Misalnya, Nota Kesepahaman tentang rencana aksi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam antara Jokowi, Komisioner Pemberantasan Korupsi bersama 29 kementerian dan lembaga non kementerian, serta 12 Pemprov beberapa bulan lalu.

Aryanto Nugroho, Koordinator Advokasi PWYP Indonesia menambahkan bahwa transparansi PNBP sumber daya alam relevan dengan agenda Jokowi untuk meningkatkan target penerimaan nasional, dan mengurangi kerugian finansial dari sektor ekstraktif. Selain itu, Aryanto menjelaskan, instruksi ini akan bersinergi dengan upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini untuk mengkaji tata kelola sektor minerba melalui koordinasi dan pengawasan dengan Kementerian ESDM dan 31 Pemprov.

 

Maryati Abdullah

 

Publish What You Pay Indonesia