Cost Recovery masih diperlukan untuk dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan tujuan pemerintah dapat memperkirakan jumlah pendapatan Negara dan biaya variabel sebagai sebagai komponen pengurang pendapatan.
Pendapat ini dikatakan oleh Maryati Abdullah selaku koordinator PWYP Indonesia, berdasarkan pertimbangan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah salah satu kebijakan keuangan negara yang mencakup aspek pendapatan dan pengeluaran, yang semuanya menjadi domain publik.
“Bahkan pengangkatan minyak mentah menjadi salah satu indikator ekonomi makro sebagai asumsi dasar dari APBN, sehingga masuk akal jika cost recovery juga termasuk dalam APBN, dan jika tidak demikian masyarakat akan berpikir bahwa pendapatan negara setara dengan jumlah produksi minyak mentah siap jual/crude oil lifting . Pada kenyataannya itu perlu dikurangi terlebih dahulu oleh unsur pengurangan seperti cost recovery dan kemudian produksi dibagi Antara kontraktor dan pemerintah. Pembagian bersama ini adalah dasar dari pendapatan Negara dari sektor minyak dan gas, ”tambah Maryati, yang juga merupakan perwakilan dari organisasi non-pemerintah dalam Multi-tim EITI (Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif) yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Namun, publik termasuk anggota parlemen perlu memahami bahwa cost recovery tidak berbanding lurus dengan pendapatan Negara karena blok minyak dan gas yang berada di perbatasan yang sulit dimana hal itu membutuhkan biaya tinggi, teknologi canggih, dan lebih banyak waktu dan sumber daya. Tidak sesederhana itu untuk melalui fase-fase dari eksplorasi hingga eksploitasi (produksi).
Ini akan tergantung pada kinerja produksi, harga minyak mentah di pasar selama fase produksi, dan aspek-aspek lain yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kinerja pendapatan Negara. Termasuk dalam aspek pemantauan dan kontrol oleh pemerintah, dan juga aspek sosial dan lingkungan yang dapat mempengaruhi kinerja operasi pertambangan.
Mengenai kecemasan sektor swasta yang masih menghadapi risiko kriminalisasi jika cost recovery dimasukkan dalam APBN, Maryati mengatakan antisipasi seperti itu tidak akan terjadi. Dalam perencanaan dan implementasi dalam mekanismenya terdapat peran pemerintah sebagaimana diwakili oleh Satuan Kerja Khusus tentang Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang bertanggung jawab atas perencanaan, pengendalian, dan pengawasan pemulihan biaya. Dengan kata lain, SKK Migas akan melakukan fungsinya yakni pra-aduit dan pasca-audit.
Jika ada penipuan atau tindak pidana, Pemerintah (SKK Migas) dan otoritas lainnya juga akan bertanggung jawab atas kasus tersebut.
Selain dimasukkan dalam APBN, Maryati menyarankan agar informasi dan data pemulihan biaya diungkapkan dalam EITI, yang didirikan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden (Keputusan) No. 26 tahun 2010. Penting untuk dilakukan agar publik menerima informasi yang memadai mengenai cost recovery dan itu tidak akan menyebabkan salah pengertian antara publik dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan, yang akan membahas tentang APBN. “Jadi, jika mekanismenya jelas dan selama tidak ada kebocoran dana dan penipuan atau kemungkinan korupsi, saya pikir kita tidak perlu khawatir. Mengungkapkan informasi dan data tersebut akan menjadi bagian dari semangat transparansi”, katanya
Apalagi Maryati menambahkan, penegakan hukum negara ini di era keterbukaan atau transparansi saat ini leih baik untuk memperbaiki sistem, selama ada kejujuran maka tidak perlu khawatir. “Selain itu, upaya transparansi publik di sektor ekstraktif sejalan dengan kepemimpinan Indonesia dalam inisiatif global yang disebut Open Government Partnership (OGP),” kata Maryati.
Sumber: Petrominer Magazine, No O4 Vol. XXXIX April 15, 2014