Merdeka.com – Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) lndonesia, Maryati Abdullah mengkritik sikap pengusaha tambang yang masih terkendala dalam pemurnian hasil alam karena tidak ada smelter. Menurutnya, pemerintah telah memberikan waktu cukup lama untuk perusahaan menyiapkan segala infrastruktur.
Aturan mengenai hilirisasi tertuang dalam UU No 4 Tahun 209 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara. Aturan selesai dibuat 2009 silam dan berlaku di awal 2014 lalu. Setelah itu, pemerintah masih memberikan kelonggaran untuk ekspor konsentrat dengan berbagai syarat yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral yang berlaku hingga akhir 2016 ini.
Totalnya, pemerintah memberi waktu hampir 8 tahun untuk perusahaan tambang benar-benar melakukan pengolahan dalam negeri sebelum melakukan ekspor. Untuk dia, Maryati berpendapat pemerintah tak harus lagi memberi kelonggaran setelah 2017 mendatang.
“Apabila pemerintah memberikan relaksasi ekspor konsentrat selama lima tahun kembali, maka total 13 tahun waktu yang diberikan untuk menjalankan hilirisasi, tentu akan menjadi catatan buruk di mana lagi-lagi pemerintah yang justru tidak patuh menjalankan perintah undang-undang,” ungkap Maryati Abdullah di Restorat Tjikini Lima, Jakarta, Minggu (25/9).
Pemerintah harus memahami kembali makna kebijakan hilirisasi. Kebijakan ini tidak hanya dimaknai sebatas larangan ekspor mineral mentah (raw material) atau olahan (konsentrat). Namun juga penataan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang jumlahnya ribuan.
“Kebijakan ini penting bagi masa Indonesia yang selama ini menggantungkan perekonomiannya melalui ekspor bahan mentah. Hilirisasi akan memberikan nilai tambah bagi industri yang konsekuensi pada kenaikan penerimaan negara,” ujar Maryati.
Selain itu, Maryatu juga mendesak agar Pemerintah tidak kembali melakukan kebijakan relaksasi pertambangan ini yang bertujuan membuka ekspor konsentrat besar-besaran maka akan memberikan dampak buruk. “Tarik ulur kebijakan dan pembukaan keran ekspor konsentrat mineral merupakan bentuk inkonsistensi regulasi yang berpotensi menciptakan ketidakadilan ekonomi, kecemburuan sosial dan ketidakpastian hukum atau peraturan bagi pelaku ekonomi,” ungkap Maryati.
Menurutnya, pembukaan keran ekspor di tengah penataan pertambangan yang sedang karut marut akan memicu terjadinya eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran, pembukaan lahan dan hutan yang masif, timbulnya pertambangan liar, serta praktik pertambangan yang tidak bertanggung jawab.