Manila, 7 Februari 2025 – Dalam acara Regional Meeting Open Government Partnership (OGP) Asia Pasifik 2025, para pemangku kepentingan dari berbagai sektor berkumpul untuk membahas peran transparansi dan tata kelola yang baik dalam mendukung transisi energi yang kredibel dan adil.

Sesi bertajuk Pathways to a Credible and Just Energy Transition yang diselenggarakan oleh Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) dan OGP, menghadirkan pembicara dari Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Bantay Kita, Kementerian Industri dan Sumber Daya Mineral Mongolia, serta Harita Nickel. Sesi ini dimoderatori oleh Sarah Hayton dari EITI.

Transisi energi global tengah mengubah lanskap industri ekstraktif, termasuk sektor minyak, gas, dan pertambangan. Negara-negara kaya sumber daya kini dihadapkan pada tantangan untuk mengelola aset mereka secara bertanggung jawab di tengah meningkatnya permintaan akan transparansi dari warga negara, investor, dan konsumen.

Transparansi memperkuat akuntabilitas. Data yang andal tentang tata kelola sumber daya alam memberdayakan masyarakat, investor, dan pembuat kebijakan untuk mengambil keputusan yang tepat, menjadi salah satu poin kunci dari diskusi ini.

Para panelis, termasuk Aryanto Nugroho dari PWYP Indonesia, Beverly Besmanos dari Bantay Kita, Sereeter Javkhlanbaatar dari Kementerian Mongolia, dan Klaus Oberbauer dari Harita Nickel, sepakat bahwa tata kelola yang baik adalah fondasi transisi energi yang inklusif.

“Aturan yang jelas, pengawasan yang kuat, dan keterlibatan multi-pihak memastikan manfaat transisi energi dirasakan oleh semua kalangan,” Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan industri juga dinilai penting untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan tanggung jawab sosial.

Diskusi ini menyoroti tiga kerangka kerja utama—EITI, OGP, dan Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA)—yang dapat digunakan untuk meningkatkan tata kelola dan membatasi pengaruh yang tidak semestinya dalam pengambilan keputusan.

Aryanto, menekankan perlunya melampaui kepatuhan minimum terhadap standar transparansi. “Harus ada penyesuaian pendekatan dengan kebutuhan spesifik negara dan komunitas agar dampaknya nyata,” ujarnya

Dari perspektif korporasi, transparansi juga menjadi elemen kunci dalam strategi keberlanjutan. “Transparansi membangun kepercayaan dengan pemangku kepentingan, menyelaraskan organisasi pada strategi keberlanjutan, dan memastikan regulasi terkait keberlanjutan dapat diterapkan secara bermakna,” ungkap Klaus Oberbauer.

Ia menambahkan bahwa standar multi-pihak seperti EITI dan IRMA memberikan panduan praktis tentang praktik bisnis yang bertanggung jawab serta kerangka untuk perbaikan berkelanjutan.

Beberapa pelajaran berharga untuk proyek transisi energi juga muncul dalam sesi ini. Pertama, standarisasi metodologi pengukuran emisi diperlukan untuk memberikan gambaran akurat tentang kondisi saat ini dan kemajuan yang dicapai. Kedua, pendekatan berbasis lanskap (landscape-based approach) dapat menjadi langkah awal untuk menghitung dan mengompensasi emisi terkait penggunaan lahan. Ketiga, transisi energi harus adil bagi semua pihak, dengan mengintegrasikan praktik bisnis yang bertanggung jawab dan jalur pengurangan emisi, sehingga masyarakat yang bergantung pada bahan bakar fosil tidak ditinggalkan.

Sebagai bagian dari upaya global menuju masa depan yang lebih berkelanjutan, sesi ini menegaskan bahwa transparansi dan tata kelola yang baik bukan hanya kebutuhan, tetapi juga peluang untuk menciptakan dampak positif yang lebih luas di kawasan Asia Pasifik. Dengan memanfaatkan kerangka kerja seperti EITI, OGP, dan IRMA, negara-negara di kawasan ini dapat memastikan bahwa transisi energi tidak hanya berhasil secara teknis, tetapi juga adil secara sosial dan ekonomi.

​​Watch the recap: https://lnkd.in/dv_fJMBD


Bagikan