WADAS/JAKARTA, 13 Februari 2022 – Gerakan #BersihkanIndonesia mendesak Pemerintah untuk segera hentikan segala rencana aktivitas pembukaan pertambangan di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Sebabnya terdapat dugaan pelanggaran hukum perizinan oleh Pemerintah dalam pengadaan lahan dan pengelolaan tambang quarry untuk proyek Bendungan Bener. Pelanggaran ini menambah deretan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) perampasan lahan, penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan dan intimidasi terhadap warga desa Wadas.

Dugaan tersebut diperkuat dengan adanya fakta bahwa untuk memperlancar upaya perampasan tanah warga, Direktur Jenderal (Dirjen) Minerba, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Surat Nomor T-178/MB.04/DJB.M/2021 tertanggal 28 Juli 2021 sebagai tanggapan atas surat Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. PR.02.01-DA/758 tertanggal 24 Juni 2021 tentang Permohonan Rekomendasi Perizinan Penambangan untuk Kepentingan Sendiri PSN Pembangunan Bendungan Bener. Dalam surat tersebut, Dirjen Minerba menyetujui kegiatan pengambilan material quarry untuk pembangunan Bendungan Bener dan tidak memerlukan izin pertambangan.

Sejumlah dugaan pelanggaran hukum perizinan yang dilakukan pemerintah di antaranya, pertama, melanggar ketentuan Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Demi Kepentingan Umum yang menjadi dasar terbitnya SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener yang memuat rencana penambangan di dalamnya. Patut dicatat, pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak diperbolehkan bagi kegiatan pertambangan.

Kedua, pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang memerintahkan penyusunan dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) untuk kegiatan pertambangan. Berdasarkan dokumen rencana proyek tersebut, telah ditetapkan areal penambangan batuan andesit di Desa Wadas seluas 140 hektar dan membutuhkan material penutup sebanyak 1,5 juta meter kubik. Dengan luasan dan jumlah material yang demikian, maka rencana penambangan batuan Andesit tersebut termasuk dalam kategori kegiatan yang wajib memiliki Dokumen Amdal tersendiri khusus untuk Pertambangan Batuan Andesit. Hal ini sebagaimana ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor Nomor 4 tahun 2021 Tentang Daftar dan atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL, UKL-UPL dan SPPL. Sementara yang ada di dokumen hanya Amdal untuk proyek Bendungan Bener, adapun khusus untuk tambang tidak ada.

Muhamad Jamil dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional menyebut bahwa tambang andesit di Wadas itu sudah tidak memiliki legitimasinya, baik dari sisi hukum maupun sosial. “Surat Dirjen Minerba yang memperbolehkan tambang tanpa Amdal dan Izin, kami duga merupakan respon dari otoritas pemerintahan yang panik boroknya ketahuan lalu sibuk mencari legitimasi,” kata Jamil.

Ia menambahkan bahwa apa yang dilakukan oleh Dirjen Ridwan Djamaluddin, patut diduga sebagai penyalahgunaan kewenangan atau bahkan sebagai tindakan yang melampaui kewenangan selaku Badan atau Pejabat tata usaha negara demi kepentingan sekelompok orang. Tentu hal ini sangat terbuka ruang juga untuk diuji sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Batu ujinya di antaranya yaitu pasal 1365 KUHPer dan akibatnya telah membawa kerugian bagi rakyat Wadas.

Ketiga, pelanggaran terhadap UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). “Terlepas bahwa UU ini masih dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), surat Dirjen Minerba tersebut berpotensi melanggar sejumlah pasal di antaranya Pasal 6 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dalam Pengelolaan Pertambangan Minerba; Pasal 35 tentang Perizinan Berusaha Pertambangan Minerba; Pasal 38 tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan kewajiban keuangan bagi negara; dan Pasal 158 tentang Pertambangan Tanpa Izin.” ungkap Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.

Pengelolaan pertambangan, baik untuk komersial atau tidak, wajib memiliki izin karena berkaitan dengan kaidah pengelolaan pertambangan mulai dari penyiapan wilayah pertambangannya; siapa yang mengeluarkan izin, membina dan mengawasi; siapa yang mengelola dan apa kewajibannya; dan yang terpenting apakah sudah ada persetujuan masyarakat? Tidak boleh pengelolaan pertambangan dilakukan hanya didasarkan pada surat Dirjen Minerba. Langkah ini justru akan menimbulkan banyak kekacauan hukum. Kasus Wadas ini membuka kotak pandora, bahwa tata kelola pertambangan minerba masih jauh dari kata membaik. “Disahkannya UU Nomor 3 Tahun 2020 (UU Minerba) pun tidak menjawab persoalan,” tutup Aryanto. Sebagai catatan saat ini Gerakan #BersihkanIndonesia juga sedang dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi terhadap UU Minerba No 3 Tahun 2020.

Kontak Media:

Muhamad Jamil, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), +62 821-5647-0477

Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP Indonesia, +62 813-2660-8343