SAMARINDA.NIAGA.ASIA –Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, BERSAMA koalisi masyarakat sipil yang beranggotakan 29 organisasi masyarakat sipil di tingkat nasional dan daerah mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut PP Nomor 25 Tahun 2024 karena pasal-pasalnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2OO9 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

“Pasal 83A PP Nomor 25 Tahun 2024 bertentangan dengan Pasal 75 Ayat (2) dan (3) UU Minerba dimana prioritas pemberian IUPK diberikan kepada Badan Usaha Milik Nasional (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Pasal 74 Ayat (1) UU Minerba juga menyebutkan bahwa Pemberian IUPK harus memperhatikan kepentingan daerah,” kata PWYP Indonesia dalam keterangan resminya yang diterima Niaga.Asia, hari ini, Selasa (4/6/2024).

Menurut Aryanto, Presiden Jokowi diminta untuk untuk mencabut kembali Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, karena dalam PP ini, salah satunya memuat pasal terkait dengan pemberlakukan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan (Pasal 83A) dan Pemerintah dapat memberikan perpanjangan bagi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi sebagai kelanjutan operasi Kontrak/Perjanjian selama ketersediaan cadangan dan dilakukan evaluasi setiap 1O (sepuluh) tahun. (Pasal 195B Ayat (2)).

“Tidak ada satupun pasal dalam UU Minerba, yang memberikan mandat kepada Pemerintah untuk memberikan prioritas pemberian IUPK kepada Ormas. Ini jelas-jelas pelanggaran terhadap UU Minerba secara terang benderang!” tegas Aryanto.

Pasal 195B Ayat (2) PP Nomor 25 Tahun 2024 bertentangan Pasal 169A UU Minerba dimana Kontrak Karya (KK) dan PKP2B diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak /Perjanjian setelah memenuhi persyaratan, dengan ketentuan:

  • kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan 2 (dua)kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjianmasing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutanoperasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B.
  • kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikanperpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjianuntuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelahberakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B.

“Perpanjangan kepada IUPK tidak boleh serampangan dan ugal-ugalan dengan memberikan selama ketersediaan cadangan, yang berarti bisa beroperasi sampai cadangan habis! Janganlah menggunakan jargon nasionalisme atas kepemilikan saham Indonesia di PT. Freeport Indonesia untuk melakukan pembenaran pelanggaran terhadap UU Minerba” tegas Aryanto.

Penawaran WIUPK eks PKP2B secara prioritas Badan Usaha Milik Ormas Keagamaan, ujar Aryanto mengingatkan, Menteri pengusul Pasal 83A dalam PP Nomor 25 Tahun 2024 untuk belajar kembali tentang filosofi pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia, mulai dari Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sejarah berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan; UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, hingga UU Minerba saat ini.

Menurut Aryanto, UU Minerba memberikan prioritas IUPK kepada BUMD, BUMD dan Swasta melalui mekanisme lelang WIUPK secara bertahap, dan bukan kepada Ormas Keagamaan? Karena ini bentuk pengejawantahan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945.

“Yang kita khawatirkan, Menteri pengusul Pasal 83A dalam PP Nomor 25 Tahun 2024 tidak paham konteks ini, dan hanya berupaya menjalankan wacana Presiden Jokowi pada saat pidato Sambutan Presiden pada Peresmian Pembukaan Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) akhir Desember 2021,” ucapnya.

Seharusnya Menteri-Menteri pembantu Presiden, lanjut Aryanto, bisa memberikan advise kepada Presiden, bukan malah menjerumuskan Presiden untuk meneken PP yang melanggar UU.

Aryanto kembali mengingatkan bahwa terlalu banyak risiko yang sepertinya Pemerintah tidak siap untuk mengimplementasikan pasal ini, mulai dari resiko teknis dan mekanisme lelang WIUPK, risiko teknis pertambangan, resiko lingkungan, resiko akan adanya potensi konflik horizontal, risiko konflik kepentingan, resiko korupsi dan lain-lainya.

“Ini bukan soal apakah Ormas Keagamaan (dan Ormas lain) tidak punya kapasitas dan tidak boleh memiliki amal usaha. Karena, dalam prakteknya banyak Ormas memiliki amal usaha dan berhasil dengan baik. Yang menjadi persoalan adalah pelanggaran atas UU MInerba dan mekanisme Penawaran secara Prioritas-nya. Kami justru khawatir Ormas keagamaan “terjebak” dengan aturan bermasalah ini” ungkap Aryanto

Kekhawatiran lainnya, ini akan menjadi preseden bagi Pemerintah untuk bagi-bagi proyek (secara prioritas) kepada Ormas di sektor lain, seperti infrastruktur misalnya, meskipun melanggar aturan UU, jelas Aryanto.

Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan

Sumber: Niaga Asia