JAKARTA – Seretnya pasokan bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap di dalam negeri bakal diatasi dengan sejumlah aturan baru. Salah satunya batu bara untuk kebutuhan domestik akan dinilai sesuai dengan harga pasar global. Pengadaan batu bara untuk domestic market obligation (DMO) selama ini dipatok dengan harga US$ 70 per ton. Ketentuan tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 139 Tahun 2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri. Namun, di pasar global, harganya sudah melonjak jauh. Saat ini harganya berada di kisaran US$ 150 per ton. Tahun lalu angkanya bahkan menembus level US$ 200 per ton.
Disparitas harga itu merupakan satu dari sederet masalah DMO. Merujuk pada dokumen paparan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi dalam rapat pembahasan DMO pada 6 Januari lalu, perbedaan harga ini disebut mendistorsi pasar. Saat harga internasional tinggi, pengusaha lebih memilih mengirim produk ke luar negeri. Sebaliknya, ketika harga internasional rendah, pengusaha berebut mendapat kontrak dengan PT PLN (Persero). Itu sebabnya, pada akhir tahun lalu, PLN kesulitan mendapatkan pasokan sehingga pemerintah harus menutup keran ekspor mulai 1 Januari.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan mekanisme pasar tidak akan lagi terganggu jika skema baru DMO diterapkan. Dia menjamin kebijakan tersebut tidak membebani negara dan PLN lantaran akan ada subsidi yang ditanggung oleh badan layanan umum (BLU). “Nanti dibentuk BLU, dan BLU bayar ke PLN,” katanya.
Menurut Luhut, pemerintah tetap akan menentukan harga patokan DMO. Selisihnya dengan harga pasar global akan dihitung oleh BLU dan dibayarkan ke PLN. Dananya berasal dari iuran para pengusaha batu bara yang hendak ekspor. Soal harga patokan, besaran iuran, hingga format BLU itu sampai sekarang masih digodok pemerintah. “Dalam satu-dua bulan ini akan selesai,” tutur Luhut.
Masih merujuk pada dokumen tersebut, pemerintah mengestimasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) bisa meningkat secara signifikan saat harga batu bara melonjak dengan skema ini. Sebab, setelah mengikuti harga pasar, persentase royalti batu bara bersifat progresif terhadap harga. Selama ini royalti penjualan batu bara domestik tetap 14 persen karena harga DMO telah ditentukan US$ 70 per ton.
Dengan skema baru, pengadaan batu bara domestik akan dilakukan dengan penyesuaian nilai harga kontrak setiap tiga atau enam bulan mengikuti harga pasar. Selain harga, penyesuaian realisasi kuantitas bisa dilakukan. Penyesuaian berkala juga berlaku untuk besaran iuran yang harus disetorkan pengusaha.
Saat dimintai konfirmasi mengenai skema BLU ini, juru bicara Kementerian Koordinator Kemaritiman, Jodi Mahardi, tidak merespons. Sikap yang sama ditunjukkan oleh Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Kementerian Energi, Lana Saria, ketika dimintai penjelasan soal isu tersebut.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia, Hendra Sinadia, menuturkan pemerintah telah mensosialisasi rencana perubahan skema DMO. “Secara singkat kami menyambut baik usulan tersebut,” katanya. Pengusaha menanti rapat pembahasan mendetail soal ini. Menurut dia, usulan skema baru ini disusun agar penambang dan PLN tidak dirugikan serta negara bisa memaksimalkan potensi penerimaan negara.
Namun Koordinator Nasional Publish What You Pay, Aryanto Nugroho, ragu skema DMO bisa menjadi solusi. Dia menyebutkan disparitas harga tidak akan menjadi masalah jika pemerintah tegas memberikan sanksi bagi perusahaan yang mangkir dari kewajibannya. Lagi pula, ujar dia, berdasarkan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, pemerintah berhak mengatur harga jual batu bara untuk DMO dengan tetap memastikan pengusaha mendapat untung.
Untuk memastikan pasokan terjaga, Aryanto mengusulkan agar pemerintah menunjuk perusahaan tertentu sebagai pemasok. Salah satu opsinya adalah meminta pemilik perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara yang hendak memperpanjang izin atau sedang dievaluasi izinnya untuk menyumbangkan DMO lebih besar sebagai syarat melanjutkan operasi. “Perusahaan skala besar ini juga memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendistribusikan batu bara hingga ke pembangkit,” katanya.
Kepala Pusat Kajian Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Indef, Abra Tallatov, pun menyatakan pemerintah seharusnya tetap konsisten terhadap UU Minerba yang memberi wewenang mengatur jumlah produksi, penjualan, serta harga batu bara. “Negara tidak boleh didikte oleh perusahaan batu bara,” ujarnya.
Selain itu, meski PLN dan negara terkesan tidak menanggung beban dengan skema BLU, Abra menyatakan, ada potensi kehilangan pendapatan dari royalti karena harga batu bara yang digunakan merupakan harga setelah dikurangi pungutan ekspor.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi, menyatakan kelembagaan BLU akan membuat tata kelola pemenuhan batu bara bagi PLN semakin rumit. Selain itu, muncul potensi moral hazard karena menyangkut manajemen iuran dan pola subsidi dari badan tersebut. “Padahal selama ini mekanisme pemenuhan batu bara untuk PLN sudah sangat sederhana. Pelaku usaha tinggal memenuhi kewajiban DMO sesuai dengan jumlah dan harga yang ditentukan pemerintah,” ujarnya. Pemerintah bisa melarang perusahaan yang tidak taat melakukan ekspor atau mencabut izin operasinya.
Redi juga menyebutkan skema baru pemenuhan batu bara domestik bakal memberatkan keuangan negara. Salah satu yang mendasar adalah pemerintah perlu mengeluarkan anggaran untuk membiayai sumber daya manusia di BLU tersebut. “Dalam skema kepegawaian, setiap ada jabatan, ada hak keuangan atas jabatan dengan berbagai fasilitasnya,” ucap dia.
Sumber: Koran Tempo