TEMPO.CO, Jakarta – Penerimaan negara dari sektor mineral dan batu bara ternyata tidak sesuai dengan laporan perusahaan tambang mengenai kewajiban yang seharusnya mereka bayarkan. Perbedaan tersebut mencakup penerimaan pada Pajak Penghasilan Badan, Pajak Bumi dan Bangunan, royalti, serta iuran tetap.

“Terdapat perbedaan yang signifikan antara laporan perusahaan minerba dengan laporan pemerintah. Perbedaan terbesar merupakan royalti batu bara,” kata Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah, di Jakarta, Senin, 13 Mei 2013.

Perbedaan ini ditemukan dalam audit yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Gideon Ikhwan Sofwan. Audit dilakukan demi memenuhi kewajiban yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2010 mengenai Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah Yang Diperoleh Dari Industri Ekstraktif.

Audit dilakukan terhadap segala eksplorasi yang terjadi pada 2009. Audit pada 2010 dan 2011 masih berjalan. Indonesia melakukan audit ini karena tergabung dalam Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) di mana pemerintah wajib melaporkan penerimaan dari sektor migas sementara perusahaan migas wajib melaporkan pembayaran kewajiban mereka pada negara. Auditor dipilih melalui proses tender oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Perbedaan pelaporan terbesar terdapat pada royalty batu bara yang mencapai US$ 54 juta. Penerimaan royalti versi pemerintah mencapai US$1.207 miliar sementara menurut entitas pertambangan, mereka membayar royalty sebesar US$ 1.153 miliar. Untuk PPh Badan komoditas batu bara, pemerintah mengaku mendapatkan pembayaran sebesar US$ 1.294 miliar sementara perusahaan mengaku membayar US$ 1.110 miliar. Perbedaan mencapai US$ 0.273 miliar.

Untuk PBB komoditas mineral, terdapat perbedaan pelaporan sebanyak US$ 16.234 juta di mana pemerintah mengaku menerima pendapatan sebanyak US$3.358 juta sementara perusahaan mineral mengaku telah membayarkan US$ 21.123 juta. Audit dilakukan terhadap 6 perusahaan mineral, 7 perusahaan timah, 2 perusahaan bauksit, 2 perusahaan nikel, dan 54 perusahaan batu bara.

Maryati mengatakan terkait proses pelaporan, masih ada perusahaan yang tidak mengirimkan laporan yang dibutuhkan untuk keperluan audit. Mereka tidak menyampaikan laporan dengan lengkap dan tidak memberikan lembar otorisasi untuk membuka data pajak. “Ini menjadi tanda tanya ketika mereka menyatakan ingin adanya transparansi,” katanya.

Selain itu, pemerintah juga dianggap tidak optimal dalam menyampaikan laporan karena dalam formulir pelaporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tidak sesuai dengan lembar kerja milik ESDM khususnya untuk pos royalti, pendapatan hasil tambang, dan iuran tetap. Maryati menilai hal ini menunjukkan lemahnya pencatatan pemerintah dalam penerimaan hasil bumi.

ANANDA TERESIA

Link Berita :
http://www.tempo.co/read/news/2013/05/13/090480064/Audit-Tambang-Laporan-Negara-dan-Perusahaan-Beda