Jakarta, CNN Indonesia — Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi menilai terbitnya beleid baru terkait operasi pertambangan mineral dan batubara (minerba) adalah inkonsistensi pemerintah di dalam melaksanakan hilirisasi mineral.

Perwakilan koalisi Ahmad Redi mengatakan, dua beleid yang dimaksud adalah Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 5 Tahun 2016 dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2016. Di dalam beleid tersebut, pemerintah masih memperbolehkan pelaksanaan ekspor mineral.

Padahal, itu sangat bertentangan dengan pasal Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Ia mengatakan, terbitnya kedua Permen itu adalah sikap plin-plan pemerintah meski aturan dasar minerba telah terbit delapan tahun lalu.

“Seolah-olah negara ini tidak konsisten dengan peraturan yang dibuatnya, dan ini jelas mengangkangi hukum.,” ujar Redi, Rabu (18/1).

Inkonsistensi tersebut, lanjut Redi, malahan telah terjadi berulang-ulang sebelum ini.

Yang pertama, adalah terbitnya Permen ESDM Nomor 20 Tahun 2013 yang menyebut bahwa pelaksanaan ekspor mineral hanya diperbolehkan hingga 12 Januari 2014. Namun, bukannya menepati janjinya, pemerintah malah menerbitkan Permen Nomor 1 Tahun 2014, di mana pelaksanaan ekspor masih diperbolehkan selama tiga tahun.

Padahal menurut pasal 170 UU Minerba, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Kontrak Karya (KK) wajib melakukan pemurnian paling lambat lima tahun setelah diundangkan, atau tahun 2014 silam.

Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUU-XII/2014 tentang Hasil Uji Materil terhadap Pasal 102 dan Pasal 103 pada UU Minerba mengatakan bahwa dua pasal penting itu bersifat konstitusional.

Atas dasar itu, Redi mengendus bahwa ada tendensi pemerintah untuk memperkuat badan usaha di dalam beleid baru tersebut. “Karena mengutip pasal 102, 103, dan 170 UU Minerba, secara hukum aturan ini telah dilanggar dengan pemerintah,” kata Redi.

Melengkapi ucapan Redi, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah menjelaskan, sangat tidak elok bagi pemerintah untuk melangkahi UU dengan menerbitkan Permen. Jika pemerintah merasa kurang yakin dengan UU yang telah diterbitkan sebelumnya, maka lebih baik peraturan itu diganti dengan revisi UU lagi.

“Tetapi sekarang kenyataannya Permen ini melangkahi UU. Masalah relaksasi ekspor mineral ini padahal menyangkut hajat hidup orang banyak, namun kenapa malah diatur melalui produk hukum yang sarat dengan intervensi,” terang Maryati.

Sebagai informasi, di dalam Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017, pemerintah memperbolehkan ekspor mineral asal IUP dan IUPK membangun smelter dalam jangka lima tahun ke depan, membayar bea keluar khusus, dan jika izin pertambangan adalah Kontrak Karya (KK), maka perusahaan tersebut harus mengubah izinnya menjadi IUPK.

Khusus nikel, ekspor boleh dilakukan jika ore memiliki kadar di bawah 1,7 persen. Sementara untuk bauksit, ekspor masih diperbolehkan asal sudah melalui proses pencucian terlebih dulu.

Sumber: CNN Indonesia


Bagikan