Jakarta – Batubara hingga kini masih dianggap sebagai penopang ekonomi yang berperan penting sebagai sumber penerimaan negara. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut berdasarkan laporan realisasinya pada bulan November tahun 2024, batu bara masih menjadi penopang penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk sub sektor mineral dan batubara (minerba), dengan capaian berkisar 75% dari total royalti semua komoditas.

Selain itu, PNBP yang berasal dari pertambangan batubara (royalti & penjualan hasil tambang) masih merupakan penyumbang PNBP terbesar dari sub sektor mineral dan batubara (minerba) dengan proporsi antara 75% hingga 85% dari total PNBP minerba selama empat tahun terakhir (Ditjen Minerba, 2023).

Dari sisi produksi, batubara mengalami peningkatan dalam empat tahun ke belakang, dan diproyeksi akan terus mengalami kenaikan dalam tiga tahun ke depan. Dikutip dari Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi nasional batubara di tahun 2020 sebesar 565,69 juta ton. Naik menjadi 606,28 juta ton di tahun berikutnya. Tahun 2022, naik lagi menjadi 685,80 juta ton. Dan naik lagi di tahun 2023 menjadi 770,90 juta ton. Untuk tahun 2024, per 29 Desember, produksinya mencapai 807,34 juta ton.

Ketergantungan terhadap batubara seharusnya menjadi perhatian serius dalam narasi menuju kedaulatan energi. Upaya keluar dari ketergantungan harus dilakukan sebelum semakin tinggi di tengah cadangan yang terus menipis. Di sisi lain, urgensi mitigasi perubahan iklim semakin besar, transisi energi sesungguhnya juga merupakan upaya keluar dari ketergantungan energi fosil. Meski diketahui bahwa transisi energi bukanlah hal mudah; banyak menemukan berbagai tantangan, tak terkecuali upaya keluar dari ketergantungan energi fosil seperti batubara yang telah lama menjadi kontributor pembangunan ekonomi negeri.

Hal-hal di atas menjadi latar belakang diskusi terpumpun yang digelar Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bertajuk “Arah Kebijakan Nasional Batu Bara di Tengah Tantangan Transisi Energi Berkeadilan”, di bilangan Jakarta Pusat, 21 Maret 2025.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Dina Nurul Fitria, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Kementerian ESDM Surya Herjuna, Perencanaan Ahli Madya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Dody V. R. Sinaga, Ketua Bidang Hubungan Industri Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Ardi Ishak dan Peneliti PWYP Indonesia Wicitra Diwasasri, sebagai narasumber.

Dody Sinaga memaparkan arah kebijakan batubara dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJMN) 2025-2029. RPJMN ini merupakan penjabaran visi misi serta program presiden dan wakil presiden, yang menjadi acuan program kementerian/lembaga. RPJMN yang telah disahkan pada 20 Januari itu, lanjut Dody, menekankan pada pertumbuhan berkelanjutan, penurunan kemiskinan dan sumber daya manusia berkualitas yang akan dilaksanakan di seluruh wilayah dan dipantau secara berkala. Sektor energi menjadi motor pembangunan dan diharapkan dapat berkontribusi pada proses pelaksanaan RPJMN tersebut.

Batubara memiliki peran penting dalam pemenuhan energi, terutama dalam konteks mewujudkan ketahanan energi. Batubara masih akan banyak digunakan karena harganya yang murah. Batubara masih akan menjadi penopang kebutuhan dalam energi dan salah satu yang utama dalam mendorong industrialisasi dalam negeri. Namun disisi lain, memiliki dampak lingkungan karena emisinya yang besar. Yang menjadi tantangan ke depan, mengoptimalkan batubara menuju energi bersih.

Diakui pemerintah, batu bara dibenci, namun juga dicintai. Batubara masih dianggap sebagai komoditi, selain untuk kebutuhan energi dalam negeri. Dilihat dari Asta Cita, pemerintah pada prinsipnya ingin menghadirkan energi yang bisa meningkatkan industri. Pilihannya, tentu yang terjangkau —cepat, tersedia, murah — dan sekaligus memberikan dampak pada perekonomian. Dari sekian pilihan sumber daya energi yang tersedia, yang paling siap adalah batu bara. Demikian disampaikan Surya Herjuna dalam paparannya tentang peluang dan tantangan pengendalian produksi dan pemanfaatan batu bara dalam rencana strategis Kementerian ESDM.

Lanjut Surya, kebutuhan dalam negeri batu bara saat ini mencapai 232 juta ton. Jumlah kebutuhan dalam negeri meningkat signifikan pada tahun 2024. Peningkatan tersebut tentu mendongkrak produksi. Pihaknya tengah mengupayakan agar adanya peningkatan pemenuhan kebutuhan dalam negeri tidak dilakukan dengan menambah produksi, melainkan dengan menggerus jumlah ekspor. “Itu menjadi tujuan target kita,” katanya.

Selain itu, harga batu bara yang dinilai masih kompetitif akan digunakan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap gas. Ini juga menjadikan alasan penambangan batu bara dengan kalori 3.000 masih akan dilakukan. “Terkait hilirisasi, kita diminta juga untuk menyelesaikan hilirisasi untuk mengurangi impor atas gas. Karena itu kita masih menambang di kalori 3.000, harganya cukup kompetitif kalau kita bicara gas. Gas ini paling cepat dikembangkan untuk energi listrik,” ujar Surya.

Sementara itu, bauran energi untuk batu bara masih tetap mendominasi. Ini disampaikan Dina Nurul Fitria dalam paparannya tentang batu bara dalam kebijakan energi nasional. Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang baru telah disetujui DPR. KEN tersebut telah disesuaikan dengan Asta Cita serta dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi 8 persen. “Untuk mencapai pertumbuhan 8% dan banyak target pembangunan, mau tidak mau butuh batubara” katanya.

Meski begitu, kata Dina, pemerintah berupaya mengendalikan produksi batu bara. Penggunaan-penggunaan dalam negeri juga mulai dikombinasikan dengan sumber energi lain. Pada PLTS misalnya, tetap energi utamanya batu bara. Secara umum, Indonesia belum siap untuk energi hijau, melainkan masih di tahapan menuju energi bersih. Demikian pula halnya dengan PLTU yang saat ini mengarah pada energi bersih.

Peran pemerintah dalam mengoptimalkan peran energi lain selain batu bara sangat dominan. Demikian pula terkait dengan hilirisasi batu bara di tengah transisi energi. Bicara transisi energi juga berkaitan dengan kepastian energi listrik.

“Kita perlu penguasaan atas teknologi pengelolaan batu bara, butuh dukungan pemerintah secara regulasi terkait jaminan berinvestasi dan skema insentif yang mungkin ditawarkan. Kita perlu susun peta jalan industri batubara nasional sebagai guidance para produsen batu bara. Dari 900 perusahaan di Indonesia tentu punya cadangan beragam. Bagaimana mereka bisa menyusun rencana jangka panjang kalau kita tidak bisa menjadi acuan mereka. Guidance ini yang dibutuhkan oleh mereka,” kata Ardi Ishak ketika menyampaikan paparannya tentang risiko hilirisasi batubara dalam agenda transisi energi di Indonesia.

Dalam konteks agenda transisi energi, pengendalian produksi batu bara perlu dilakukan. Sayangnya, produksi batu bara hingga kini terus naik dari jumlah yang diamanatkan dalam RUEN. Komitmen pemerintah terhadap transisi energi tak sinkron bila dibandingkan dengan jumlah produksi batu bara yang terus naik.

Wicitra mengatakan, pemerintah gagal melakukan pengendalian batu bara berdasarkan pada RUEN. Kegagalan itu akan semakin kental dengan adanya pemberian izin tambang kepada ormas dan UMKM. Gagalnya pengendalian itu juga berkontribusi terhadap adanya kerusakan lingkungan. Jumlah izin batu bara yang ada tak sesuai dengan kemampuan pengawasan pemerintah terhadap aktivitas pertambangan.

“Inspektur tambang tercatat hanya 492 orang (data SDM 2022/2023), sementara izin yang harus diawasi 4.409, perbandingannya cukup jauh. Oleh karena itu, terkait dengan pengendalian produksi batu bara dalam konteks transisi energi, kami merekomendasikan diversifikasi ekonomi, jangan terus menjadikan batu bara sebagai sumber devisa utama. Kemudian moratorium izin baru batubara dan membatasi produksi batubara,” kata Wicitra dalam paparannya tentang urgensi pengendalian produksi batu bara dalam agenda transisi energi di Indonesia.


Bagikan