Ilustrasi desentralisasi fiskal. (Foto: kemenkeu.go.id)

Infoanggaran.com, Jakarta – Pelaksanaan otonomi daerah sudah lebih dari dua dekade. Desentralisasi fiskal alias transfer ke daerah (TKD), sebagai konsekuensi penyerahan sebagian kewenangan imbas otonomi daerah, nyatanya belum berdampak signifikan terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

Kini, arah baru desentralisasi fiskal bakal dimulai. Dalam UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) yang disahkan beberapa waktu lalu, kebijakan TKD mengalami perubahan yang signifikan guna mendorong perimbangan keuangan yang lebih berkeadilan, baik antara pusat dan daerah maupun antar daerah.

Ke depan, desentralisasi fiskal lebih mengedepankan indikator kinerja ketimbang afirmasi. Dengan kata lain, tidak lagi hanya sekadar ‘asal’ mengucurkan dana yang bersumber dari APBN imbas otonomi daerah.

“Indikator kinerja ini sangat kuat, bahkan semacam menjadi ‘mantra’ di UU HKPD,” ujar Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Misbah Hasan, baru-baru ini.

Pengalokasian TKD yang berbasis kinerja ini diharapkan bisa memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan di daerah sekaligus mendorong tanggung jawab daerah dalam memberikan pelayanan yang lebih baik secara efisien dan disiplin.

Misbah mengatakan, penggunaan indikator kinerja berpotensi mengurangi proporsi TKD yang dikantongi setiap daerah bila tidak memiliki kinerja anggaran yang cukup baik. Selama ini, anggaran yang dikantongi setiap daerah cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, khususnya sebelum pandemi Covid-19 melanda.

”Tantangan ini mesti dijawab oleh daerah-daerah dengan menunjukkan kinerja yang baik,” jelas Misbah.

Meski begitu, desentralisasi fiskal tidak boleh menihilkan afirmasi. Misbah berpendapat, pengalokasian TKD tetap harus menyeimbangkan antara kinerja dan afirmasi, terutama bagi daerah-daerah tertinggal.

Khawatirnya, arah baru desentralisasi fiskal yang mengedepankan kinerja justru tak mampu mengurangi ketimpangan antar daerah yang notabene menjadi tujuan TKD. “Keseimbangan itu menurut saya penting untuk kita carikan rumusannya agar tidak kembali timpang,” imbuh dia.

Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam mengakui pentingnya TKD afirmasi bagi daerah-daerah tertinggal. Begitu juga penilaian kinerja harus memperhatikan aspek daerah tertinggal.

“Alat ukur kinerja itu tidak harus dipukul rata, karena kita tahu daerah-daerah di Indonesia beragam, ada yang maju, ada yang tertinggal,” kata Roy.

Roy menyadari usulannya bisa menjadi boomerang. Oleh karenanya, pengalokasian TKD afirmasi harus dibarengi dengan upaya pemerintah pusat untuk mendorong daerah agar meningkatkan tata kelola pemerintahan.

Selain itu, harus ada batasan waktu yang jelas. “Jangan sampai karena alasan tertinggal terus, jadi diamini terus. Desentralisasi fiskal kan arus utamanya ke sana (indikator kinerja),” tandas Roy.

Pelaksanaan desentralisasi fiskal ibarat dua sisi mata uang, bahkan cenderung bagai makan buah simalakama.

Satu sisi, desentralisasi fiskal memang harus mengedepankan kinerja yang notabene sudah diatur bertahun-tahun lalu dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 Keuangan Negara. Tetapi di sisi lain masih banyak juga daerah-daerah yang membutuhkan dana afirmasi dari pusat.

Meski begitu, biar bagaimanapun indikator kinerja harus menjadi arah baru desentralisasi fiskal ke depan. Sebab, kebijakan ini diyakini mampu mendorong daerah berlomba-lomba meningkatkan kinerjanya agar bisa mendapatkan ‘kue’ APBN yang lebih banyak di samping lebih berkeadilan.

Terlebih, pemerintah pusat juga bisa mengucurkan ‘bonus’ kepada daerah yang mempunyai kinerja baik dalam bentuk dana insentif daerah alias DID yang sudah diterapkan jauh sebelum UU HKPD disahkan.

Meski tidak menyebut DID secara eksplisit, UU HKPD sendiri memberikan peluang kepada pemerintah pusat untuk memberikan insentif fiskal kepada daerah yang memiliki kinerja pemerintahan yang baik.

Dewan Pengawas Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Maya Rostanty menyampaikan, nantinya pemberian insentif fiskal dilakukan berdasarkan perbaikan dan/atau pencapaian kinerja pemerintahan daerah baik dalam aspek pengelolaan keuangan, pelayanan umum pemerintahan, maupun pelayanan dasar.

“Kalau terkait dana insentif daerah ini, memang secara detail untuk yang sekarang akan diatur di Peraturan Menteri Keuangan (PMK),” kata Tanty.

Ubah Pengalokasian

Kebijakan desentralisasi fiskal berbasis kinerja membawa perubahan yang signifikan terhadap mekanisme pengalokasian TKD. Harapannya, perubahan tersebut bisa mengatasi persoalan ketimpangan fiskal yang menyebabkan pemerataan pembangunan antar daerah belum jua terwujud.

Dana alokasi umum (DAU), misalnya. Dalam UU HKPD, pengalokasian dana transfer dilakukan melalui penghitungan kebutuhan fiskal berdasarkan pada unit cost dan target layanan, serta penghitungan kapasitas fiskal sesuai dengan potensi pendapatan daerah.

Reformulasi perhitungan DAU tersebut lebih mencerminkan kebutuhan dan kapasitas fiskal secara riil dari sebelumnya yang hanya menitikberatkan kepada formula celah fiskal.

Selain mereformulasi pengalokasian, penggunaan DAU juga ditujukan untuk mendorong kinerja pencapaian pelayanan dasar masyarakat.

Menilik catatan Kementerian Keuangan, selama ini sebesar 64,8 persen DAU masih digunakan untuk kebutuhan belanja pegawai yang notabene tidak berkaitan langsung dengan kepentingan khalayak.

Begitu juga dengan pengalokasian dana bagi hasil (DBH) dilakukan berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan dua tahun sebelumnya dalam rangka memberikan kepastian penerimaan bagi daerah.

Bahkan, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengatakan, pembagian DBH mengalami perubahan yang cukup signifikan dalam UU HKPD.

DBH minyak bumi, misalnya. Sebelumnya, pembagian DBH minyak bumi hanya tiga wilayah yaitu provinsi yang bersangkutan, kabupaten/kota penghasil, serta kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Kini, UU HKPD menambah dua wilayah yaitu kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil dan kabupaten/kota pengolah.

“Kalau dulu Blora (Jawa Tengah) yang berbatasan langsung dengan Bojonegoro (Jawa Timur) sebagai daerah penghasil tidak pernah dapat, sekarang akan mendapatkan DBH minyak bumi,” kata Aryanto, mencontohkan.

Demikian pula kabupaten/kota pengolah. “Cilacap yang punya kilang-kilang itu nanti akan mendapatkan DBH untuk migas, termasuk untuk pertambangan umum nanti provinsi atau kabupaten/kota yang punya smelter mendapatkan DBH pertambangan,” contoh Aryanto lagi.

Dalam UU HKPD, porsi DBH minyak bumi yang dihasilkan yang dihasilkan dari wilayah darat dan wilayah laut sampai empat mil dari garis pantai sebesar 15,5 persen. Rinciannya, provinsi yang bersangkutan 2 persen, kabupaten/kota penghasil 6,5 persen, kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan 3 persen.

Kemudian kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 3 persen dan kabupaten/kota pengolah 1 persen.

Meski lebih baik dari sebelumnya, Aryanto menilai kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan over ekspektasi bagi daerah baru penerima DBH migas yang berharap bisa mengantongi pendapatan transfer yang lebih besar.

Padahal, konsep perimbangan keuangan ibarat balon: kembang di satu sisi, kempis di sisi lain. “Kalau DBH itu naik, bisa jadi DAU-nya atau DAK-nya yang diturunkan,” kata dia.

Oleh sebab itu, pemerintah pusat harus memikirkan bagaimana menangani over ekspektasi daerah. “Ini yang harus dipikirkan, dan sampai saat ini DJPK (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu) belum exercise untuk daerah-daerah penerima SDA yang baru ini,” terang Aryanto

Lingkungan Jadi Prioritas

Tidak hanya perubahan mekanisme pengalokasian TKD, Roy Salam menilai kebijakan desentralisasi fiskal juga menempatkan persoalan lingkungan sebagai isu prioritas yang harus ditangani oleh semua daerah.

“Ini satu arah baru di mana daerah mulai dikenalkan pentingnya untuk membuat kebijakan-kebijakan yang pro terhadap lingkungan,” kata Direktur Eksekutif IBC itu.

Soal formula DAU, misalnya. Ke depan, perhitungan DAU akan memperhatikan faktor penyesuaian yang salah satu indikatornya memberikan peluang kepada daerah yang kaya hutan. Artinya, luasan hutan yang dimiliki daerah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan besar-kecilnya porsi DAU.

Contoh lainnya adalah bobot pembagian DBH. 10 persen DBH nasional dibagi berdasarkan kinerja pemerintahan daerah yang salah satunya berkaitan dengan kinerja pemeliharaan lingkungan hidup baik pengelolaan lingkungan secara langsung maupun pemanfaatan energi yang ramah lingkungan.

Menurut Roy, kebijakan TKD yang memperhatikan aspek lingkungan hidup semacam warning kepada daerah mampu melindungi dan memperbaiki lingkungan. Kalaupun terpaksa harus memanfaatkan sumber daya alam, dia mengatakan, “tidak boleh hanya memikirkan eksploitasi alamnya, tetapi juga harus seiring dengan upaya perlindungan dan pemeliharaannya.”

Tidak hanya itu, pemerintah pusat juga mulai menerapkan insentif fiskal berbasis ekologis. Tahun anggaran 2022 mendatang, daerah-daerah yang memiliki kinerja pengelolaan lingkungan hidup yang bakal mengantongi bonus anggaran dalam bentuk DID.

Lantaran tidak diatur secara detail dalam UU HKPD, Roy Salam berharap pemerintah tetap mempertahankan insentif fiskal berbasis ekologi di tahun-tahun berikutnya. “Insentif fiskal ini sebagai reward kepada daerah-daerah yang berkontribusi kepada perlindungan lingkungan,” tandas dia.

Kebijakan transfer ke daerah dan insentif fiskal yang memprioritaskan aspek lingkungan memang membawa paradigma baru bagi daerah. Singkatnya, pemerintah daerah harus mulai memikirkan pengelolaan sumber daya alam yang lebih berkelanjutan, terutama belanja fungsi lingkungan.

Misbah Hasan juga mengakui UU HKPD membawa perubahan positif terhadap isu lingkungan. Kendati begitu, Misbah tak yakin aturan tersebut mampu mengatrol anggaran berbasis lingkungan di daerah secara signifikan.

Pasalnya, belanja fungsi lingkungan hidup di daerah selama 2010-2020 masih rendah. Misbah membeberkan, belanja fungsi lingkungan hidup di wilayah Sumatera hanya 1,9 persen dari total belanja fungsi, Pulau Jawa 2,4 persen, Kalimantan 2 persen, Sulawesi 1,4 persen.

Lalu wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur 1,7 persen. Terakhir, belanja fungsi lingkungan hidu di wilayah Papua dan Maluku sebesar 0,9 persen.

Berkaca dari minimnya belanja fungsi lingkungan hidup di daerah, Misbah mengatakan, “UU HKPD ini belum cukup signifikan akan mengakselerasi peningkatan belanja fungsi lingkungan hidup di daerah.”

Selain itu, Misbah juga menyesalkan aturan tersebut tidak memasukkan aspek pertanian dan kelautan ke dalam komponen DBH sumber daya alam. “Padahal dia juga berkontribusi terhadap penurunan emisi karbon dan nilai ekonomi karbon,” tandas dia.

Sumber: Info Anggaran