SIARAN PERS

Jakarta – Senin (9/8), PT Pertamina (Persero), melalui anak usahanya PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) resmi menjadi pengelola Wilayah Kelola (WK) Rokan, menggantikan pengelola sebelumnya Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Chevron Pacific Indonesia (CPI). Ini sekaligus menandai sejarah dimana setelah Caltex dan kemudian CPI mengelola WK Rokan selama 80 tahun, sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1941, dan beroperasi tahun 1951, pengelolaan salah satu WK terbesar di Indonesia diserahkan kepada BUMN.

Seperti diketahui, Pemerintah telah memutuskan PT. PHR sebagai pengelola WK Rokan pasca 8 Agustus 2021 dengan Participating Interest (PI) sebesar 100% (termasuk PI 10% yang akan ditawarkan kepada BUMD) melalui Keputusan Menteri ESDM No. 1923 K/10/MEM/2018 tanggal 6 Agustus 2018. Kontrak Kerja Sama WK Rokan telah ditandatangani antara PT. PHR dengan SKK Migas pada tanggal 9 Mei 2019 dengan menggunakan Skema Kontrak Gross Split dan berlaku efektif sejak tanggal 9 Agustus 2021 dengan masa Kontrak selama 20 tahun.

WK Rokan merupakan salah satu wilayah kerja strategis yang telah menghasilkan 11,69 Miliar barel minyak (dari tahun 1951 sampai tahun 2021), dengan produksi rata-rata tahun 2021 hingga Juli 2021 sebesar 160,5 ribu barel minyak per hari untuk minyak bumi atau sekitar 24% dari produksi nasional dan 41 MMSCFD untuk gas bumi.

“Dalam konteks industri ekstraktif, nilai strategis Blok Rokan setara dengan Wilayah Pertambangan yang dikelola PT. Freeport Indonesia.” sebut Aryanto Nugroho, Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.

Namun demikian, Aryanto mengingatkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, baik oleh Pemerintah bersama Pemerintah Daerah, PT. PHR (dan Pertamina) maupun CPI. Jangan sampai bangsa ini terbawa euforia sesaat dan terlena dengan hingar binger seremoni alih kelola WK Rokan dan melupakan hal-hal mendasar yang harus segera dilakukan.

Aryanto menjelaskan bahwa tantangan terbesar Pertamina adalah mempertahankan atau bahkan meningkatkan produksi minyak dan gas bumi di WK Rokan. Dengan target produksi minimal 200 ribu barel minyak per hari, Pertamina harus dapat mencari teknologi yang sesuai, sumberdaya manusia (SDM) yang memadai ataupun menggandeng mitra yang sudah berpengalaman. Termasuk juga terkait solusi pembiayaan untuk pengelolaan Blok Rokan, mengingat usia blok Rokan yang sudah lebih dari 90 tahun, sehingga butuh teknologi unconventional yang tentunya akan membutuhkan investasi yang tidak sedikit.
“Tentu saja kita harus menjaga optimisme dan berharap pengalaman Pertamina meningkatkan produksi di Blok ONWJ bisa dilakukan kembali.” jelas Aryanto.

Tranparansi dan Akuntabilitas

Aryanto Nugroho, yang juga Wakil Masyarakat Sipil dalam Tim Pelaksana EITI Indonesia mengingatkan bahwa Pertamina harus tetap menjalankan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Di tengah isu miring “BUMN sebagai Sapi Perah”, ini bisa jadi momentum bagi Pertamina untuk menjadi pionir sebagai BUMN yang benar-benar transparan dan akuntabel dengan membuka seluruh proses pengelolaan Blok Rokan kepada publik.

Transparasi dan akuntabilitas bisa dimulai dengan membuka dokumen Kontrak Kerjasama, termasuk ketika bekerjasama dengan Pihak Ketiga; melaksanakan kewajiban-kewajiban keuangan seperti bonus tanda tangan, pajak dan penerimaan negara lainnya; serta kewajiban sosial dan lingkungannya.

Transparansi dalam hal kerjasama dengan pihak ketiga harus menjadi perhatian utama. Hal ini mengingat di sini lah ruang bagi pemburu rente dan oligarki untuk masuk. Baik transparansi dalam hal kerjasama pengadaan barang dan jasa, maupun transparan dalam hal pemilihan mitra (badan usaha atau bentuk usaha tetap) yang memiliki kemampuan di bidang hulu minyak dan gas bumi sesuai kelaziman bisnis (business to business).

“Apalagi Indonesia sebagai negara pelaksana inisiatif global Extractive Industries Transparency Iniatives (EITI) sejak 2010, mewajibkan perusahaan minyak dan gas bumi dan pertambangan, termasuk PT. Pertamina (Persero) di dalamnya, untuk mentransparansikan seluruh kewajiban pembayarannya kepada publik.” ungkap Aryanto

Aryanto menambahkan, bahwa di tahun 2017, Indonesia ditunjuk sebagai negara pertama yang mempublikasikan informasi commodity trading1 meliputi pembukaan data volume dan penjualan minyak dan gas bumi bagian negara yang dikelola oleh PT. Pertamina.

“Catatan kami terkait proses transparansi commodity trading EITI, PT. Pertamina (Persero) harus lebih banyak meningkatkan aspek-aspek terkait transparansi dan akuntabilitasnya kepada publik.” Imbuh Aryanto

Tanggungjawab PT. CPI?

Muhammad Herwan, Wakil Sekjen Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKMPR) mengungkapkan hal krusial lainnya adalah memastikan PT.CPI menyelesaikan seluruh kewajiban-kewajibannya, misalnya kewajiban keuangan kepada negara, kewajiban sosial dan lingkungan. Termasuk juga pengembalian data-data teknis yang sangat penting.

“Kami mendesak kepada Pemerintah untuk membuka dokumen kontrak Indonesia dengan CPI agar jelas kewajiban-kewajiban apa saja yang harus dipatuhi dan apakah kewajiban tersebut telah dilakukan” jelas Erwan.

Termasuk juga dengan proses dan hasil transisi Blok Rokan yang dikawal oleh Tim Alih Kelola yang terdiri dari SKK Migas, PHR dan PT CPI. Pemerintah harus benar-benar jujur membuka kepada publik, mana yang berhasil dan mana yang belum tercapai. Mulai dari bagaimana PT. CPI harus mempertahankan produksi, migrasi data dan teknologi, pengadaan listrik maupun ketenagakerjaan.

Temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2016 menyebut terdapat potensi kerugian negara sekitar US$ 336,1 juta atau setara Rp 4,4 triliun, akibat belum terpenuhinya kewajiban keuangan oleh kontraktor migas terhadap wilayah kerja yang sudah mengalami terminasi; 141 Wilayah Kerja tidak melakukan kewajiban Environmental Based Assessment (EBA); dan data-data hasil survey yang tidak diserahkan ke pemerintah karena pelaku kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) kabur.

“Hal ini tidak boleh terjadi dalam konteks Alih Kelola WK Rokan” tegas Herwan

“Belum lagi dengan masalah Tanah Terkontaminasi Minyak (TTM) di wilayah WK Rokan yang menuai protes dan bahkan gugatan dari publik, harus benar-benar menjadi tanggungjawab CPI” imbuh Herwan

Partisipasi Daerah Dalam Pengelolaan Blok Rokan

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Pembedayaan dan Aksi Demokrasi (LPAD) Riau, Ikhsan Fitra, menjelaskan bahwa Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Hak Partisipasi (Participating Interest) 10 persen Pada Wilayah Kerja Migas, menberikan peluang bagi daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten, untuk berpartisipasi sekaligus mendapatkan manfaat yang sebesa-besarnya dalam pengelolaan Blok Rokan melalui 10% hak Participating Interest (PI)

Pertanyaannya, BUMD mana yang akan ditunjuk mengelola PI 10%? apakah Pemerintah Daerah hanya sekedar “menikmati” dividen dari hak 10% PI ini? Atau ada upaya untuk turut serta mengelola Blok Rokan dengan pengalaman sejumlah BUMD Migas milik Riau? Bagaimana pembagian PI antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten? Bagaimana tata kelola BUMD Migas Riau? Bagaimana memastikan kapasitas, pengalaman dan integritas BUMD Migas Riau mulai dari level top-middle-low manajemen?

“Kami menuntut transparansi pembahasan hak PI di Blok Rokan. Buka seluasnya keterlibatan publik termasuk masyarakat sekitar tambang. Jangan sampai, pengelolaan hak PI di Blok Rokan hanya menjadi sasaran pemburu rente baru.” jelas Ikhsan Fitra

Selain pengelolaan PI 10%, harus juga dipastikan bagaimana Riau mendapatkan manfaat lain dari keberadaan Blok Rokan, baik dalam hal nilai tambah ekonomi, konten lokal, ketenagakerjaan, CSR dan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Kebermanfaatan tersebut harus nyata dirasakan oleh masyarakat, bukan hanya sebatas Charity Program atau Lips Service semata

Ikhsan Fitra menambahkan bahwa Riau setidaknya harus belajar 2 (dua) hal dalam pengelolaan SDA. Pertama, dalam sebuah jurnal berjudul Fenomena Natural Resource Curse dalam Pembangunan Wilayah di Indonesia2 yang diterbikan oleh Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia pada Juli 2021 ini, disebutkan bahwa Provinsi Riau merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang terindikasi mengalami fenomena Kutukan SDA. Riau merupakan provinsi penghasil utama minyak dan gas bumi, dan SDA lainnya, namun indeks pembangunan daerah berkelanjutannya tergolong lebih rendah dibandingkan dengan daerah yang tidak bergantung pada sektor SDA. Kedua, Riau punya pengalaman buruk terkait korupsi sektor Sumberdaya Alam.

“Jangan sampai pengelolaan WK Rokan ini akan menambah daftar panjang pejabat Riau yang ditangkap KPK.” jelas Ikhsan FITRA

Sedangkan Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau mengingatkan bahwa dalam perjalanan eksploitasi SDA atas blok Rokan sepanjang hampir satu abad ini, harus ada koreksi besar-besaran untuk memastikan pemulihan lingkungan dan pengakuan hak adat masyarakat di dalam konsesi dikembalikan dan diakui.

Alih kelola Blok Rokan tidak boleh dimaknai sekadar pemindahan operator saja. Tapi lebih jauh dari itu, harus juga menunjukkan political will pemerintah dalam mengelola migas untuk melakukan tindakan pemulihan dan pengakuan hak masyarakat adat dan memastikan terjadi pemulihan lingkungan untuk keselamatan rakyat Riau dimasa depan.

“Lagi-lagi paradigma pengelolaan migas Indonesia, maupun Riau khususnya, konteks perlindungan terhadap lingkungan termasuk didalamnya perlindungan dan pengakuan terhadap kawasan hutan maupun keberadaan masyarakat adat, harus tetap ditempatkan menjadi rambu-rambu utama dalam pengelolaan WK Rokan. Bukan sekedar eksploitasi dan penerimaan negara semata!” pungkas Riko Kurniawan

Narahubung:

Aryanto Nugroho – aryanto@pwypindonesia.org

Muhammad Herwan – mherwan78@gmail.com

Ikhsan Fitra – satuperubahan@gmail.com

Riko Kurniawan – rikokurniawan@gmail.com

Publish What You Pay (PWYP) Indonesia merupakan koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya ekstraktif migas, pertambangan dan sumber daya alam. Beranggotakan 29 organisasi masyarakat sipil, yang tersebar di berbagai wilayah kaya SDA di Indonesia

Anggota koalisi PWYP Indonesia dari Riau

  • Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR)
  • Lembaga Pemberdayaan dan Aksi Demokrasi (LPAD) Riau
  • Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Riau
  • Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau
  1. Laporan Transparansi Commodity Trading Indonesia dapat diakses di: https://eiti.esdm.go.id/laporan-commodity-trading-eiti-indonesia/
  2. Rahma, H., Fauzi, A., Juanda, B., & Widjojanto, B. (2021). Fenomena Natural Resource Curse dalam Pembangunan Wilayah di Indonesia. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan Indonesia, 21(2), 148-163.

    Jurnal dapat diakses melaui link berikut:
    https://jepi.fe.ui.ac.id/index.php/JEPI/article/view/1358/361