Buku ini mengulas tentang beberapa pengalaman advokasi komunitas berbasis hak dari negara Asia Tenggara, antara lain Indonesia dan Filipina. Ulasannya mencakup pada sisi regulasi hak komunitas, peran masyarakat sipil dalam advokasi dan menampilkan beberapa studi kasus masing-masing negara. Selain membahas pengalaman dan pembelajaran dari Asia Tenggara, dalam tulisan ini juga memaparkan pembelajaran Internasional, yaitu dari Negara Australia dan Norwegia.

Buku ini memotret bagaimana nilai ekonomi dari industri ekstraktif yang mempunyai nilai ekonomi besar, namun tidak secara otomatis memperbaiki kehidupan warga yang tinggal di sekitar lokasi pertambangan. Banyak wilayah yang masih terbelakang, seperti Sumbawa Barat, Mimika, Bangka Selatan, Morowali, dan Kutai Barat.

Pendekatan berbasis hak harus diterapkan di dalam keseluruhan mata rantai industri ekstraktif. Tahapan pertama dari rantai industri ekstraktif adalah persiapan wilayah pertambangan. Hal yang perlu diperhatikan dalam tahapan ini adalah hak-hak masyarakat terhadap lingkungan yang aman dan hak atas tanah dan jaminan bahwa pengembangan local content. Di tahap kedua, selama tahap operasi, masyarakat harus terlibat dalam konsultasi awal dan praktik pemantauan partisipatif serta keadilan dalam distribusi pendapatan dari sektor ekstraktif.

Rantai ketiga adalah kapasitas administratif dan audit serta jaminan akan adanya laporan publik yang berkala. Rantai keempat, memastikan bahwa bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ditetapkan melalui konstitusi negara ataupun perangkat hukum. Rantai kelima adalah mendorong evaluasi proyek-proyek industri ekstraktif yang menyertakan estimasi dampak lingkungan dan sosial, manfaat sosial ekonomi yang diharapkan, serta aspek keberlanjutan. Serta memberi perhatian pada isu terkait penonaktifan ladang minyak dan gas dan pemantauan pasca penutupan.

Pius Ginting, Meliana Lumbantoruan, Ronald Allan Barnacha

Christina Hill, Maryati Abdullah

2015

PWYP Indonesia

978-602-72039-8-3

Format PDF – Google Drive