BETAHITA.ID – Sebanyak 44 badan hukum pemegang konsesi kebun kayu untuk pulp (bubur kertas) diketahui tidak melaporkan pemilik manfaatnya. Padahal Pemerintah Indonesia, sebagai anggota Financial Action Task Force (FATF), sudah mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan tiap badan usaha melaporkan pemilik manfaatnya, agar informasinya dapat diakses publik.

Temuan badan usaha “nakal” tersebut dihasilkan dari analisis ringkas yang dilakukan oleh Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Woods and Wayside International (WWI), Publish What You Pay (PWYP) dan Transparansi Internasional Indonesia (TII) terhadap 284 badan hukum (perusahaan), yang terdiri dari 277 perusahaan pemegang izin perkebunan kayu pulp dan 7 perusahaan pabrik pulp.

Dalam laporannya, kelompok organisasi masyarakat sipil itu menyebutkan dari 284 perusahaan yang profilnya dianalisis, lebih dari 229 (80 persen) perusahaan telah mematuhi dan melaporkan pemilik manfaatnya, sebanyak 44 (16 persen) perusahaan tidak melaporkan pemilik manfaat mereka, dan 11 (4 persen) perusahaan lainnya tidak dapat ditemukan di dalam pencarian di sistem registrasi pemilik manfaat yang dikelola Kemenkum HAM.

Kelompok ini menjelaskan, 7 perusahaan pabrik pulp telah melaporkan pemilik manfaat, namun akurasi pelaporan oleh beberapa perusahaan tersebut perlu dipertanyakan. Menurut mereka, seseorang yang secara luas diketahui sebagai salah satu investor terbesar di sektor pulp Indonesia tidak dilaporkan sebagai pemilik manfaat dari perusahaan manapun di sektor tersebut. Untuk 6 perusahaan dalam sektor pulp melaporkan perusahaan luar negeri (lepas pantai) sebagai pemilik manfaat, bukan individu perorangan.

Tampak dari ketinggian pabrik PT TPL yang terletak di Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba, Sumatera Utara./Foto: Betahita.id

“Padahal pemerintah Indonesia sudah mewajibkan tiap badan usaha, termasuk perusahaan kebun kayu, melaporkan pemilik manfaatnya agar informasinya dapat diakses publik.”

Temuan kelompok ini juga menyoroti bahwa mekanisme verifikasi dan sanksi atas pelanggaran dan pelaporan yang tidak akurat sangat penting untuk keberhasilan inisiatif transparansi ini. Rekomendasi tersebut dapat diterapkan untuk meningkatkan efektivitas kewajiban pelaporan pemilik manfaat secara luas di sektor sumber daya alam lainnya dan di seluruh bidang ekonomi Indonesia secara umum.

“Jika dibandingkan dengan kepatuhan seluruh badan hukum di Indonesia yang hanya mencapai 35 persen, kepatuhan sektor pulp di angka 80 persen merupakan capaian penting dalam pelaksanaan kebijakan identifikasi pemilik manfaat di salah satu sektor sumber daya alam yang strategis di Indonesia,” kata Linda Rosalina, Direktur TuK Indonesia, dalam sebuah rilis, 31 Januari 2024 kemarin.

Linda menjelaskan, analisis itu dilakukan dengan cara menyandingkan laporan pemilik manfaat, yang dapat diakses melalui sistem registri nasional, dengan informasi kepemilikan dan kendali perusahaan-perusahaan tertentu melalui laporan keuangan, laporan dari media, publikasi organisasi masyarakat sipil dan data profil perusahaan yang diakses melalui sistem di Kemenkum HAM.

“Pengujian terhadap data-data itu menunjukkan bahwa data pemilik manfaat yang dilaporkan tidak mencerminkan dinamika kepemilikan bisnis di sektor pulp yang diketahui publik,” tutur Linda.

Laporan singkat tersebut mencatat, dua produsen dominan di sektor ini, yakni Grup Sinar Mas dan Grup Royal Golden Eagle (RGE), diketahui menggunakan struktur perusahaan yang rumit dan berlapis di berbagai yurisdiksi luar negeri, yang dapat berdampak mengaburkan informasi pemilik manfaatnya (beneficial owner).

Kelompok ini menyebutkan, salah satu yang paling signifikan luput muncul, misalnya, nama Sukanto Tanoto, ketua dan pendiri APRIL Group, yang dikenal sebagai pemegang saham pengendali untuk dua pabrik pulp dan sejumlah perusahaan kayu pulp dengan kepemilikan lahan yang luas.

Berdasarkan informasi dalam sistem pelaporan pemilik manfaat yang dikumpulkan November 2023, baik nama Sukanto Tanoto maupun anggota keluarganya dekatnya tidak ditemukan dalam laporan pemilik manfaat untuk perusahaan manapun yang dianalisis di sektor pulp.

Alih-alih melaporkan Sukanto Tanoto sebagai pemilik manfaat, sebagian besar perusahaan terafiliasi dengan APRIL Group antara melaporkan eksekutif senior perusahaan sebagai pemilik manfaat; tidak melaporkan pemilik manfaat, atau melaporkan perusahaan luar negeri sebagai pemilik manfaat. Beberapa perusahaan APRIL melaporkan Praveen Singhavi dan Sanjay Tanwani sebagai pemilik manfaat.

Padahal, baik Praveen Singhavi maupun Sanjay Tanwani sejak lama merupakan bagian dari eksekutif APRIL Group dan dipahami publik sebagai karyawan senior grup itu, yang pada akhirnya bertanggung jawab kepada pemegang saham pengendali, Sukanto Tanoto.

Kalau pun laporan ini diasumsikan benar, secara umum mereka mungkin tidak akan memenuhi kriteria yang diterima secara internasional untuk didefinisikan sebagai pemilik manfaat. Kelompok ini menilai, aturan di Indonesia tampaknya memberikan ruang untuk melaporkan pemilik manfaat dengan cara tersebut, meskipun, tentu saja regulasi ini tidak bertujuan demikian.

Merespon temuan di ringkasan kebijakan ini, grup induk korporasi APRIL, yaitu RGE, merespon bahwa grup perusahaannya mematuhi seluruh aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

“PT RGE Indonesia dan perusahaan grup RE yang beroperasi di Indonesia mematuhi semua peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, termasuk tapi tidak terbatas pada ketentuan pengungkapan informasi korporat,” kata Ignatius Purnomo, Head of Corporate Communications PT RGE Indonesia, dalam suratnya yang diterima kelompok tersebut, tertangga 29 Januari 2024.

Perusahaan lain yang diketahui dikendalikan oleh Sukanto Tanoto melaporkan perusahaan yang berkedudukan di yurisdiksi di luar Indonesia sebagai pemilik manfaat. Sebagai contoh, PT Toba Pulp Lestari, yang mengoperasikan pabrik pulp di Sumatera Utara dan secara luas diketahui dikendalikan oleh Sukanto Tanoto, melaporkan pemilik manfaatnya adalah Pinnacle Company Pte Ltd, sebuah perusahaan induk yang terdaftar di Singapura.

Dalam kasus ini, ketentuan regulasi Indonesia mengatur jelas bahwa pemilik manfaat adalah subjek hukum alamiah, dan jenis pelaporan yang tidak tepat ini berpotensi melanggar aturan di Indonesia dalam mengenali dan melaporkan pemilik manfaat.

Sebaliknya, semua perusahaan yang diakui oleh Sinar Mas Group berada di bawah kendali langsungnya telah melaporkan pemilik manfaat mereka sebagai Oei Tjie Goan, yang juga dikenal sebagai Teguh Ganda Widjaja, pimpinan grup dan patriark keluarga Wijaya. Daftar perusahaan ini meliputi tiga pabrik pulp Sinar Mas Group–PT Indah Kiat Pulp & Paper, PT Lontar Papyrus Pulp & Paper, dan PT OKI Pulp & Paper Mills–dan enam perusahaan perkebunan kayu pulp yang dinyatakan dimiliki dan dikendalikan oleh Sinar Mas

Baik Oei Tjie Goan alias Teguh Ganda Widjaja maupun anggota keluarga Wijaya lainnya tidak dilaporkan sebagai pemilik manfaat untuk 24 perusahaan yang dicurigai masyarakat sipil dikuasai oleh Sinar Mas Group melalui struktur kepemilikan yang rumit. Pemilik manfaat yang dilaporkan untuk 24 perusahaan ini sebenarnya lebih tepat jika didefinisikan sebagai pemegang saham formal, bukan anggota keluarga Wijaya yang diduga pada akhirnya mengendalikan dan mendapatkan manfaat dari kegiatan usaha berbagai perusahaan tersebut

Persoalan akurasi ini menggarisbawahi kekhawatiran bahwa praktik pengaturan dan penyembunyian data pemilik manfaat, yaitu orang yang sebenarnya memegang kendali dan mendapatkan keuntungan dari operasional perusahaan, masih terus terjadi di sektor pulp.

“Temuan ini seharusnya menjadi petunjuk langkah berikutnya yang harus diambil oleh pemerintah, baik itu Kemenkum HAM, maupun kementerian sektor, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk melakukan verifikasi terhadap laporan yang telah disampaikan oleh berbagai perusahaan itu,” kata Ferdian Yazid dari TII.

Laporan itu menjelaskan, pengalaman dari negara-negara lain yang telah menerapkan pelaporan pemilik manfaat menunjukkan bahwa mencapai tingkat kepatuhan pelaporan yang tinggi tidak mudah jika tidak dibarengi dengan tersedianya sanksi yang jelas dan tegas bagi perusahaan yang tidak mematuhi kewajiban keterbukaan.

Saat ini, regulasi pelaporan pemilik manfaat di Indonesia mengkualifikasi perusahaan yang tidak mendaftar atau melaporkan informasi pemilik manfaat yang tidak benar sebagai pelanggaran hukum. Namun, pengaturan sanksinya sangat terbatas, terutama terhadap persoalan akurasi.

Selain itu, implementasi sanksi secara efektif juga memerlukan tersedianya mekanisme verifikasi yang andal. Tapi Kemenkum HAM menunjukkan di halaman utama pelaporan bahwa mereka tidak atau belum memverifikasi data pemilik manfaat yang disampaikan oleh perusahaan-perusahaan

Kelompok ini menjelaskan, untuk mencapai tujuan transparansi dan tingkat akuntabilitas dalam penerapan kebijakan pemilik manfaat, penting untuk memperkenalkan kepada pemerintah cara untuk memverifikasi informasi yang disampaikan oleh perusahaan.

KLHK, misalnya, berusaha melakukan hal ini dengan mewajibkan perusahaan untuk mengajukan informasi pemegang saham resmi dan dokumen relevan lainnya yang menjadi dokumen pendukung pelaporan pemilik manfaat masing-masing korporasi.

“Tantangan dalam verifikasi data pemilik manfaat dapat dihadapi dengan memperkuat fungsi pertukaran informasi antara kementerian dan lembaga dan memberikan ruang pada publik untuk memberikan masukan terhadap data pemilik manfaat yang telah dilaporkan perusahaan,” ujar Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP.

Kelompok ini menganggap, contoh yang dilakukan KLHK dalam menggunakan dokumen pendukung tersebut untuk memverifikasi pelaporan pemilik manfaat dapat menjadi pembanding penting untuk dipertimbangkan oleh Kemenkum HAM untuk diimplementasikan lebih luas sebagai kewajiban pelaporan pemilik manfaat di seluruh aspek ekonomi Indonesia.

Sejumlah negara, kata kelompok ini, telah menerapkan rezim sanksi dan mekanisme verifikasi untuk memberikan insentif pada keterbukaan pemilik manfaat, memberikan contoh yang berharga yang penting untuk dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia dalam upayanya untuk meningkatkan kepatuhan dan akurasi pelaporan pemilik manfaat.

Sumber: Betahita