TAMBANG, 15 November 2013 | 10.28

Subkhan AS
d.takelana@yahoo.com

Jakarta-TAMBANG. Koordinator Advokasi Publish What You Pay Indonesia (PWYP), Aryanto Nugroho menyesalkan keterlambatannya laporan kedua untuk Tahun Fiskal 2010 dan 2011, soal informasi jumlah penerimaan negara yang dibayarkan kepada pemerintah, baik berupa pajak maupun nonpajak.

Dari total 264 entitas perusahaan yang wajib menyampaikan laporan, baru 159 perusahaan yang telah menyampaikan laporan, sedangkan sisanya belum menyampaikan laporannya.

Menurutnya, Indonesia sebagai salah satu satu negara kandidat pelaksana EITI (Extractive Industries Trasparency Initiative); sebuah standar global untuk mentransparansikan pembayaran-pembayaran dan penerimaan dari sektor industri ekstraktif, harusnya mendapatkan dukungan dari industri ekstraktif di Indonesia.

Apalagi, Indonesia telah berkomitmen dengan menerbitkan Perpres (Peraturan Presiden) No 26 Tahun 2010 tentang transparansi penerimaan negara dan daerah yang diterima dari sektor industri ekstraktif migas dan pertambangan.

Di mana dalam Perpres ini mewajibkan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia, baik yang bergerak di sektor migas, pertambangan umum, maupun batubara untuk menyampaikan laporan kepada EITI Indonesia, di Kementerian Perekonomian RI.

Adapun lanjut, Aryanto Nugroho, jenis laporan yang harus disampaikan oleh perusahaan adalah informasi jumlah penerimaan negara yang dibayarkan kepada pemerintah, baik berupa pajak maupun nonpajak.

“Sebagaimana ketentuan standar EITI, laporan-laporan tersebut kemudian akan direkonsiliasi dengan laporan yang disampaikan instansi Pemerintah terkait. Rekonsiliasi akan dilakukan oleh rekonsiliator independen,” ujar Aryanto Nugroho dalam keterangan persnya di Jakarta.

Aryanto Nugroho mencatat ada sekitar 105 perusahaan yang belum menyampaikan laporan. Aryanto Nugroho menilai, keterlambatan ini merupakan persoalan serius. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab Indonesia belum memenuhi standar tertinggi atau termasuk kategori patuh dari pelaksanaan standar global EITI, terutama dalam mempublikasikan laporan EITI secara periodik dan tepat waktu dalam rangkaian waktu yang berurutan.

Dengan kondisi yang demikian, Indonesia seharusnya segera bergerak cepat untuk memperbaikinya melalui momentum penyusunan laporan EITI periode 2010-2011 yang saat ini sedang dikerjakan oleh Sekretariat EITI Indonesia.

“Ketepatan waktu dalam menyampaikan laporan merupakan wujud keseriusan perusahaan untuk berlaku transparan dan komitmen untuk menjalankannya,” cetusnya.

Keterlambatan ini, lanjut anggota badan pengarah koalisi PWYP, Miftahul Huda, harusnya juga menjadi perhatian pemerintah. Karena itu, dirinya meminta agar pemerintah bersikap tegas, sebab keseriusan dalam menjalankan EITI akan menjadi alat evaluasi terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan ini.

“informasi dalam laporan EITI penting bagi transparansi informasi bagi masyarakat sekitar tambang, kalau sampai perusahaan tidak mau lapor berarti telah menutup-nutupi informasi yang berarti juga merugikan masyarakat di daerah” ucap Miftahul Huda.

Setidaknya terdapat 264 perusahaan yang wajib menyampaikan laporan kepada EITI di tahap ke-2 kali ini untuk Tahun Fiskal 2010 dan 2011.

Adapun, komposisi perusahaan tersebut terdiri dari 7 perusahaan Kontrak Karya (KK) mineral, 46 perusahaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral, 35 perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) batubara, 105 perusahaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta 71 perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Seperti diketahui, Indonesia, melalui Menteri Koordinator Perkonomian, Hatta Rajasa, pada awal Oktober 2010, mengajukan diri sebagai negara pengimplementasi EITI. Melalui sidang yang dilakukan oleh Badan Pengatur (Governing Board) EITI pada 19 Oktober 2010, di Dar Es Salaam, Tanzania, akhirnya mengabulkan Indonesia, untuk masuk sebagai negara kandidat pengimplementasi EITI.

EITI adalah standar global untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sektor migas dan pertambangan.Untuk ikut serta dalam standar EITI ini, pertama yang harus dilakukan adalah mengajukan keinginan keikutsertaannya kepada Badan Pengatur EITI untuk ditetapkan sebagai Negara Kandidat.

Selanjutnya putaran pelaporan dapat dilakukan dari penyusunan templete laporan oleh Tim Multipihak (tim pelaksana Transparansi). Setelah itu, diisi oleh semua perusahaan yang bergerak di sektor migas (hulu) dan pertambangan, serta semua kantor pemerintah yang menerima setiap jenis pembayaran.

Laporan yang telah diisi, direkonsiliasi oleh rekonsiliator independen dan hasilnya dilaporkan kepada Presiden dan kepada publik.

Sumber : majalahtambang.com


Bagikan