Jakarta – Sejak dibuka dalam Sidang Paripurna pada tanggal 16 November 2016, secara resmi Dewan perwakilan Rakyat (DPR) memasuki masa persidangan ke II tahun 2016 – 2017 yang juga merupakan masa menjelang berakhirnya Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2016. Pada masa sidang ini, DPR RI terus dituntut komitmennya  untuk menyelesaikan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi prioritas Prolegnas 2016. Di tengah sorotan publik atas tingkat kehadiran anggota DPR pada masa persidangan I (16 Agustus 2016 – 28 Oktober 2016), khususnya dalam sidang paripurna, yang rata-rata hanya 41,69% atau 234 dari 560 anggota DPR. (Wiki DPR, 2016).

Salah satu komitmen DPR yang terus ditagih adalah penyelesaian pembahasan Revisi atas UU Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) yang “mangkrak” di Komisi 7.  Koalisi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mencatat, “mangkrak”-nya pembahasan ini dimulai sejak Revisi UU Migas dicantumkan dalam daftar Prolegnas DPR sejak  tahun 2010. Agenda Revisi UU Migas tahun ini merupakan yang ke-3 (tiga) bagi DPR RI periode 2014-2019 sekaligus menandai 12 (dua belas) tahun pasca-terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU-I/2003 yang membatalkan sejumlah pasal dalam UU Nomor 21/2001 tentang Migas dan 4 (empat) tahun pasca terbitnya putusan MK No. 36/PUU-X/2012 yang membubarkan BP Migas.

Sulastio, Anggota Badan Pengarah PWYP Indonesia menyampaikan mangkrak-nya pembahasan Revisi UU Migas sejalan dengan buruknya kinerja legislasi DPR yang sampai dengan 9 November 2016 hanya menyelesaikan 9 UU dan 50 UU yang ditargetkan atau hanya sekitar 18% saja. “Agenda pembahasan Revisi UU Migas seolah hanya menjadi ‘pajangan manis’ dalam setiap Prolegnas yang disusun oleh DPR tanpa ada usaha apa pun untuk sekedar membahasnya. Lambannya pembahasan Revisi UU Migas, makin  diperburuk dengan ‘senyapnya’ proses di Komisi 7.”

“Berdasarkan catatan dari Indonesia Parlianmentary Center (IPC)/ Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3, evaluasi atas proses  Legislasi DPR RI untuk Masa Sidang V Tahun 2016 menunjukkan bahwa rapat pembahasan RUU Migas seluruhnya bersifat tertutup. Selain itu, ruang partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU Migas juga sangat terbatas dan hanya melibatkan pihak secara terbatas, yaitu mitra dari pemerintah.”

“Mengingat bahwa sektor migas adalah sektor strategis, yang rentan ditunggangi oleh kepentingan mafia migas, sudah seharusnya proses-proses pembahasannya transparan dan partisipatif. Lamban dan senyapnya proses pembahasan UU yang strategis ini tidak semata hanya tanggungjawab Komisi 7, tetapi juga tanggungjawab Pimpinan DPR untuk mengawalnya.” jelas Sulastio.

Sulastio yang juga Ketua Badan Pengawas IPC menambahkan, “Masa sidang tahun 2016 sebenarnya  momentum yang sangat tepat untuk merampungkan Revisi UU Migas mengingat rehatnya agenda politik nasional seperti penyelenggaraan Pilkada dan persiapan Pemilu 2019. Menginjak 2017 DPR akan kembali disibukan dengan agenda politik nasional seperti target pemenuhan paket undang-undang politik dan persiapan penyelenggaraan pemilu 2019.”

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menegaskan bahwa percepatan pembahasan Revisi UU Migas bukan hanya karna putusan-putusan MK yang membatalkan beberapa pasal UU Migas terdahulu, tetapi terkait dengan berbagai persoalan yang menuntut solusi yang sistemik, seperti ancaman nyata krisis energi tahun 2025. Indonesia diprediksikan membutuhkan  energi 7,496 juta barel setara minyak per hari dengan 47% sumber energi dari migas; dan konsumsi energy 1,4 ton setara minyak per hari (DEN, 2016). Di sisi lain, fakta hari ini menunjukkan bahwa produksi minyak hanya 250 ribu barel per hari dengan 86% total produksi minyak nasional berasal dari lapangan migas yang sudah tua; serta cadangan saat ini sudah  Cadangan saat ini tidak mampu memenuhi kebutuhan  (SKK Migas, 2016).

Belum lagi dengan adanya ancaman dari praktik-praktik mafia migas yang terus menggerogoti. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan adanya potensi kerugian negara sekitar US$ 336,1  juta atau setara Rp 4,4 triliun diakibatkan belum terpenuhinya kewajiban keuangan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) Migas terhadap Wilayah Kerja yang sudah mengalami terminasi (Siaran Pers Kementerian ESDM, Oktober 2016). Selain itu, KPK juga menemukan bahwa dari 319 wilayah kerja, ada 143 Wilayah Kerja di hulu migas yang belum melunasi kewajiban keuangan. Sedangkan 141 Wilayah Kerja tidak melakukan kewajiban Environmental Based Assessment-EBA (Katadata, 2016).

Maryati Abdullah menyatakan bahwa akar berbagai persoalan di sektor migas adalah payung hukum yang masih memiliki banyak celah, baik dari sisi perencanaan, pengelolaan, pembinaan maupun pengawasan. PWYP Indonesia mengindentifikasikan sejumlah isu kunci yang harus dimasukkan ke dalam pembahasan RUU Migas, yaitu perencanaan pengelolaan migas, model kelembagaan hulu migas yang memungkinkan adanya proses check and balances; Badan Pengawas, BUMN Pengelola, Petroleum Fund, Domestic Market Obligation (DMO), Dana Cadangan, Cost Recovery, Participating Interest (PI), Perlindungan atas Dampak Kegiatan Migas, serta Reformasi Sistem Informasi dan Partisipasi.

”Ruang gerak mafia migas harus ditutup dengan reformasi  sistem informasi dan partisipasi yang menjamin pemenuhan hak-hak atas informasi publik. Transparansi keterbukaan Kontrak KKKS, penghitungan DBH, data lifting, data penjualan dan dokumen AMDAL harus dibuka. Selain itu, RUU Migas harus memberikan jaminan ruang partisipasi untuk terlibat dalam setiap tahapan pengelolaan sektor migas di Indonesia yang nyaris tidak terpenuhi” ungkap Maryati.

Maryati juga meminta Pimpinan DPR untuk mendesak Komisi 7 segera membahas Revisi UU Migas, “Pembahasan RUU migas adalah suatu kegentingan yang tidak boleh ditunda lagi. Komitmen DPR atas agenda pembahasan revisi UU Migas tidak boleh lagi hanya sebatas wacana, tetapi harus disertai dengan langkah nyata. Kami berharap  setidaknya sampai akhir masa sidang ini sudah ada draft Revisi UU MIgas versi DPR untuk kemudian segera dibahas bersama-sama dengan Pemerintah”.