Pendekatan pembangunan berkelanjutan telah menjadi mainstream di tataran global. Pada September 2015, PBB telah mengesahkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) sebagai panduan pembangunan berkelanjutan yang harus diimplementasikan secara global.

Rotua Tampubolon, perwakilan koalisi Responsibank dari Perkumpulan Prakarsa menegaskan, “Institusi keuangan, terutama bank, dapat memiliki andil besar dalam mewujudkan SDGs melalui kebijakan investasi mereka di berbagai sektor industri. OJK selaku regulator industri jasa keuangan bahkan telah menerbitkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan sebagai panduan. Oleh karena itu, sudah semestinya bank memiliki kebijakan kredit dan investasi yang mengusung paradigma berkelanjutan dan bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan.”

Terkait hal itu, Koalisi Responsibank Indonesia melakukan penilaian dan pemeringkatan terhadap 11 Bank di Indonesia. Penilaian didasarkan pada kebijakan pemberian pinjaman dan investasi maupun kebijakan operasional terkait tanggung jawab sosial dan lingkungan masing-masing bank yang dinilai. Meski tahun 2016 ini adalah kali kedua penilaian ini dilakukan, namun hasil yang diperoleh masih menunjukkan bahwa bank-bank di Indonesia masih belum cukup peduli pada aspek tanggung jawab sosial dan lingkungan hidup dalam kebijakan mereka.

“Bank-bank nasional terbesar seperti Mandiri, BCA, BRI dan BNI masih jauh tertinggal dibandingkan dengan cabang bank multinasional yang berkantor pusat di negara maju (OECD) seperti HSBC (Inggris), Citibank (Amerika Serikat) dan Mitsubishi-UFJ (Jepang),” papar Rotua.

Di kategori bank asing, HSBC mendapat skor paling tinggi yaitu 37,83 persen. Sementara di kategori bank nasional nilai tertinggi yang diraih oleh Bank Danamon hanya 10,98 persen dari skala 0 – 100 persen. Dibandingkan hasil pemeringkatan tahun lalu, meski peringkat di kategori bank asing tetap, namun terjadi pergeseran peringkat di antara beberapa bank nasional. Bank Danamon menggeser BNI dari peringkat tertinggi. BCA sebagai bank swasta nasional terbesar naik satu peringkat dari tahun lalu, meski nilainya tak banyak berubah yakni hanya 1,74%. Sementara dua bank campuran modal asing yang berkantor pusat di negara ASEAN yaitu OCBC-NISP (Singapura) dan CIMB-Niaga (Malaysia) terpuruk ke peringkat paling buncit dengan nilai 1,52 persen dan 1,13 persen. Perubahan peringkat ini terjadi karena perbedaan metodologi dan banyaknya informasi yang dipublikasikan dalam Laporan Tahunan dan Laporan Keberlanjutan masing-masing bank (hasil pemeringkatan dan penilaian lengkap bisa diakses di www.responsibank.id).

“Secara umum, bank-bank nasional masih belum banyak mempublikasikan kebijakan mereka dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan di tema-tema cross-cutting penting terkait aspek sosial dan lingkungan hidup seperti perubahan iklim, keanekaragaman hayati, hak asasi manusia, serta hak pekerja. Padahal dengan menerapkan kebijakan yang lebih bertanggung jawab, bank akan dapat berkontribusi lebih banyak pada pembangunan berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan.” tambah Rotua.

Kurniawan Sabar, Manager Kampanye WALHI menambahkan, “Institusi perbankan, khsususnya di Indonesia, harus meninggalkan praktik usang yang tidak lagi sesuai dengan visi keberlanjutan lingkungan dan penghargaan atas hak asasi manusia. Bank harus lebih progresif, tidak sekadar mempromosikan ‘kebijakan hijau’ di atas kertas atau lip service, namun mesti lebih visioner dan berani untuk segera meninggalkan proyek dan investasi menimbulkan risiko hancurnya lingkungan hidup, perubahan iklim, dan pelanggaran hak asasi manusia.”

“Jika ini tidak dilakukan, maka bank bukan lagi bagian dari solusi, namun justru secara langsung menjadi bagian dari masalah dalam pembangunan,” pungkas Kurniawan.

Contact Person:
Rotua Nuraini Tampubolon-Koordinator Sekretariat Koalisi ResponsiBank (rnuraini@theprakarsa.org)


Bagikan