JAKARTA. Pemerintah dinilai perlu banyak melakukan perbaikan dalam pengusahaan di sektor industri ekstraktif. Pasalnya, hingga kini sektor tambang serta minyak dan gas bumi (migas) masih menjadi andalan utama dalam penerimaan negara baik dari pajak maupun bukan pajak (PNBP).
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia mengatakan, pekerjaan rumah utama di sektor tambang serta minyak dan gas bumi utamanya dalam hal perizinan, penegakan hukum, dan regulasi.
Misalnya, sampai kini masih ada sekitar 4.600-an izin usaha pertambangan (IUP) yang belum tertib administrasi serta 85 perusahaan kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang belum mengamandemen kontraknya.
Selain itu, koordinasi pemerintah dan aparat penegak hukum dalam penindakan perusahaan tambang yang mengabaikan isu lingkungan belum berjalan baik. Terakhir, ditemukan kembali korban yang mengapung di lobang bekas galian tambang di Kalimantan Timur pada 30 Desember lalu.
“Kejadian terus berulang, menunjukkan karut-marutnya tata kelola pertambangan dan pasca tambang di Indonesia,” kata Maryati, akhir pekan lalu.
Sampai kini, proses revisi UU Migas juga jalan di tempat. Padahal, sejak empat tahun lalu masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) di DPR. Menurut Maryati, revisi UU penting diselesaikan untuk memberikan kepastian hukum di industri hulu migas pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membubarkan BP Migas, sekaligus untuk menutup celah bagi praktek mafia migas.
Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia juga memberikan catatan terkait masih adanya 10 perusahaan migas dan 21 perusahaan tambang yang tidak patug dalam pelaporan perpajakan.
Lembaga koalisi unsur pemerintah dan masyarakat di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian juga mencatat sejumlah temuan yang telah direkomendasikan ke pemerintah.
Di antaranya, perbedaan hasil rekonsiliasi penerimaan pajak badan migas tahun 2012 dan 2013 yang masing-masing senilai US$ 129,4 juta dan US$ 14,1 juta. Serta pajak badan perusahaan tambang sebesar Rp 290,1 miliar pada 2012 dan Rp 53,4 miliar pada 2013 silam.