Jakarta, Petrominer – Enam dari 10 perusahaan batubara terbesar di Indonesia belum melaporkan emisi gas metana tambang (coal mine methane/CMM) dari kegiatan produksi mereka. Hal ini berarti dampak lingkungan penambangan batubara belum dihitung secara menyeluruh dan menghilangkan peluang krusial untuk dekarbonisasi, mengingat gas metana memiliki efek pemanasan 30 kali lebih besar dibandingkan CO2.
Temuan tersebut diungkapkan dalam laporan terbaru EMBER berjudul “Risiko Mengabaikan Emisi Metana di Pertambangan Batu Bara,” yang diperoleh PETROMINER, Senin (29/7).
Menurut laporan tersebut, enam perusahaan tersebut adalah PT Berau Coal Tbk, PT Bumi Resources Tbk, PT Adaro Energy Tbk, PT Bayan Resources Tbk, PT Baramulti Suksessarana Tbk, dan PT ABM Investama Tbk. Emisi CMM yang tidak dilaporkan oleh keenam perusahaan ini bisa jadi sama signifikannya dengan emisi pembakaran bahan bakar fosil dan konsumsi listrik untuk pertambangan.
Di sisi lain, empat perusahaan batubara terbesar lainnya justru telah telah memasukkan CMM dalam inventarisasi emisinya. Mereka adalah yakni PT Indo Tambangraya Megah Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Golden Energy Mines Tbk, dan PT Indika Energy Tbk.
Meski begitu, perbedaan intensitas metana yang dilaporkan mencapai tujuh kali lebih besar antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Selain itu, perusahaan-perusahaan ini juga belum menyediakan informasi yang terperinci untuk menjadi landasan perbedaan intensitas tersebut.
Analis Senior Iklim dan Energi EMBER Indonesia, Dody Setiawan, menuturkan beberapa perusahaan batubara besar di Indonesia sudah mulai menurunkan emisi melalui berbagai langkah dekarbonisasi. Mulai dari komitmen untuk mencapai emisi nol bersih hingga mengembangkan bisnis energi hijau.
“Namun, sebagian besar dari mereka masih belum memberikan perhatian signifikan pada dampak dari emisi metana tambang batubara, serta upaya penanganannya. Mengukur dan melaporkan emisi metana adalah langkah krusial dalam upaya dekarbonisasi tambang batubara dan keselarasannya terhadap standar nasional dan internasional,” ungkap Dody.
Laporan EMBER tersebut juga menyebutkan bahwa mengembangkan inventarisasi emisi gas rumah kaca yang komprehensif, termasuk metana fugitif, akan membantu perusahaan memahami emisi dan merancang strategi mitigasi yang efektif. Sementara emisi metana yang tidak dilaporkan justru berisiko merugikan upaya dekarbonisasi perusahaan batubara dan menghambat komitmen Indonesia dalam Perjanjian Metana Global (Global Methane Pledge).
Secara keseluruhan, EMBER memperkirakan emisi CMM dari 10 perusahaan batubara terbesar di Indonesia bisa melebihi 8 juta ton CO2e. Angka ini sepertiga lebih dari total potensi emisi perusahaan-perusahaan tersebut. Padahal, ke-10 perusahaan tersebut berkontribusi terhadap setengah dari total produksi batubara Indonesia.
Dengan risiko produksi batubara yang berlebih tahun ini, pencatatan emisi CMM menjadi lebih krusial. Pemerintah telah menyetujui kuota produksi batubara tahun 2024 sebesar 922 juta ton. Jumlah ini jauh melebihi kuota yang telah ditetapkan sebelumnya, yakni 710 juta ton. Padahal, permintaan batubara domestik saat ini turun dan beragam proyeksi permintaan telah mempengaruhi pengimpor besar.
Karenanya, laporan EMBER menekankan pentingnya kebijakan yang mengintegrasikan keberlanjutan pada industri batubara.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, menilai laporan EMBER ini sangat penting dan mendasar untuk menyampaikan fakta bahwa sektor pertambangan, khususnya batubara, memiliki potensi sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca yang berkali lipat, di luar pemanfaatannya untuk PLTU.
“Laporan ini juga bisa menjadi rekomendasi langkah awal bagi pemerintah dan pelaku usaha pertambangan untuk berkontribusi lebih dalam pencapaian net zero emission. Apalagi, Indonesia sebagai negara pelaksana Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI), melalui Standar EITI terbaru 2023, perusahaan migas dan pertambangan mineral dan batu bara (minerba) didorong untuk membuka data emisinya,” ujar Aryanto.
Sumber: Petrominer