Terdapat perubahan signifikan dalam Standar EITI 2023 di antaranya mencakup beberapa ketentuan baru dan disempurnakan dalam empat bidang tematik. Yaitu antikorupsi, transisi energi, gender, sosial dan lingkungan, serta pengumpulan pendapatan negara dari sektor ekstraktif.
Oleh: Mochamad Januar Rizki
Koalisi Masyarakat Sipil meminta pemerintah dan perusahaan sektor ekstraktif menerapkan standar Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) International yang diputuskan Dewan EITI pada 17 Mei 2023 lalu. Standar EITI itu sendiri disusun untuk mempromosikan tata kelola yang baik dengan meningkatkan transparansi, memperkuat akuntabilitas dan memfasilitasi debat publik tentang pengelolaan sumber daya alam.
Koordinator Nasional, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho mengatakan, sebagai koalisi masyarakat sipil yang sejak awal mengawal lahirnya EITI dan sekaligus pelaksanaannya, menyambut gembira hasil keputusan Dewan EITI Internasional. Baginya keputusan tersebut tak hanya menunjukan kemajuan advokasi masyarakat sipil mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor ekstraktif.
“Namun juga, menunjukkan bahwa inisiatif EITI tak hanya berhenti dalam satu tahap saja, melainkan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Senin (17/7/2023).
Dia menjelaskan perubahan signifikan dalam Standar EITI 2023 di antaranya mencakup beberapa ketentuan baru dan disempurnakan dalam empat bidang tematik. Yaitu antikorupsi, transisi energi, gender, sosial dan lingkungan, serta pengumpulan pendapatan negara dari sektor ekstraktif.
Sebagai informasi, awal kehadiran EITI yang hanya mentransparansikan penerimaan negara saja, kini sudah beranjak jauh mendorong transparansi di hampir sepanjang rantai bisnis industri esktraktif. Termasuk mengintegrasikan inisiatif anti korupsi, kesetaraan dan keadilan gender, perhatian terhadap isu sosial dan linkungan. Begitupula EITI menuntut adanya upaya mendorong adanya perbaikan nyata reformasi tata kelola industri ekstraktif dalam memperkuat isu transisi energi.
Aryanto menjelaskan, Indonesia sebagai negara pelaksana EITI sejak 2010 dengan payung hukum Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif. Kemudian Perpres 26/2010 diubah melalui Perpres Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Melalui beleid itu diharapkan dapat menjadi negara pionir yang secara progresif mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor ini.
“Ini juga sangat relevan dengan Indonesia yang saat ini gencar untuk mendorong percepatan transisi energi berkeadilan. Di satu sisi, Indonesia sebagai negara yang kaya dengan hasil pertambangan migas dan minerba, juga dihadapkan pada tantangan bagaimana mengantisipasi dampak transisi energi, khususnya bagi masyarakat yang berada di sekitar tambang migas, batubara maupun mineral seperti nikel, bauksit dan lainnya,” ujarnya.
Sementara itu, terkait aspek Anti Korupsi, Standar EITI 2023 mewajibkan adanya upaya pengarusutamaan kebijakan anti korupsi dalam tujuan dan program kerja multi-stakeholders group (MSG) EITI, pengungkapan kebijakan dan praktik antikorupsi perusahaan, ambang batas kepemilikan saham dalam identifikasi beneficial ownership menjadi 10 persen atau di bawahnya.
Hal tersebut sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia yang kini menghadapi tantangan di bidang pencegahan korupsi yang identik dengan praktik konflik kepentingan. Serta banyaknya politically exposed person (PEPs) yang teridentifikasi di sektor ekstraktif. Ini juga bisa menjadi momentum untuk mendorong implementasi keterbukaan beneficial ownership yang saat ini terus didorong di Indonesia.
Termasuk jika diperlukan, melakukan revisi terhadap Perpres Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Khususnya, terkait dengan pasal mengenai definisi dan mengenali beneficial ownership.
Standar EITI 2023 juga mensyaratkan dibukanya informasi, rasionalisasi jika ada upaya memberikan kemudahan perizinan berusaha untuk sektor mineral, termasuk kewajiban sosial dan lingkungan. Mendorong dibukanya data cadangan terbukti migas dan minerba yang akan digunakan untuk mempercepat transisi energi, termasuk analisis terhadap potensi emisi karbon yang dihasilkannya. Lebih lanjut, juga mendorong perusahaan untuk membuka data greenhouse gas (GHG) emission.
Selain itu, standar EITI 2023 pun mensyaratkan membuka data dan informasi terkait upaya Pemerintah dalam mengantisipasi dampak transisi energi terhadap penerimaan negara maupun perekonomian negara. Standar ini juga sejalan dengan berbagai komitmen yang sedang dijalankan Indonesia terkait dengan transisi energi, misalnya melalui Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform maupun Just Energy Transition Partnership (JETP).
Astrid D. Meliala, Wakil Masyarakat Sipil untuk EITI menyampaikan masih memiliki banyak pekerjaan rumah terkait transisi energi. Peluang kerjasama dengan berbagai platform tentu akan sangat mendukung implementasi berbagai kebijakan yang terkait dengan transisi energi. “Tentunya, hal ini dapat tercapai apabila setiap platform yang ada membuka informasi dan memberikan ruang yang cukup bagi masyarakat untuk berpartisipasi,” katanya.
Salah satu kebijakan transisi energi yang tengah didorong saat ini adalah pemensiunan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara yang diharapkan juga dapat didukung penuh oleh JETP. Namun demikian, terdapat banyak persoalan finansial yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah, bersamaan dengan persoalan lingkungan, juga keadilan sosial. Hal ini membutuhkan diskusi mendalam antar pihak yang berkepentingan untuk mencari solusi atas perbedaan pandangan dan prioritas.
“Di Indonesia, salah satu hal yang masih menjadi perdebatan hingga kini adalah mengenai transparansi kontrak jual beli listrik. Keterbukaan informasi juga dapat membantu masyarakat untuk mengawal upaya pemerintah mencapai bauran energi terbarukan sesuai dengan target,” imbuhnya.
Transparansi penerimaan negara
Perwakilan Masyarakat Sipil dalam EITI Indonesia, Yusnita Ike Christanti mengataan, masyarakat sipil mendukung penuh ditegaskannya aspek transparansi penerimaan negara berdasarkan Standar EITI 2023. Aspek ini meliputi pengungkapan data produksi dan ekspor yang lebih terperinci, komprehensif, dan berkualitas lebih tinggi.
Kemudian pengungkapan perjanjian penjualan, penyediaan infrastruktur dan barter dan kontrak yang mewajibkan pembayaran sosial dan lingkungan, klarifikasi persyaratan pengungkapan pinjaman yang didukung sumber daya. Termasuk utang negara yang diagunkan, memperkenalkan proses yang lebih ramping untuk pengungkapan pendapatan, mengungkapkan tarif, insentif, dan pengurangan pajak perusahaan yang efektif, serta penjelasan biaya perusahaan dan sistem pemerintah untuk melakukan audit.
Selain memastikan adanya kesesuaian antara penerimaan negara dengan pembayaran perusahaan, aspek ini juga memastikan terkumpulnya informasi yang lebih rinci mengenai pendapatan negara dari sektor ekstraktif. Menuruut Yusnita, pihaknya mendesak pemerintah agar persyaratan dalam Standar EITI 2023 dapat diintegrasikan ke dalam sejumlah regulasi dan kebijakan di Indonesia terutama di sektor ekstraktif.
“Hal ini untuk memberikan jaminan lebih terhadap peningkatan kualitas transparansi, partisipasi dan akuntabilitas khususnya di sektor ekstraktif, sektor yang paling banyak menimbulkan risiko bagi lingkungan,” pungkasnya.
Sumber: Hukum Online