JAKARTA – Para pengusaha menanti pembentukan badan layanan umum atau BLU batu bara. Ditunggu sejak awal tahun, belum ada titik terang soal peresmian instansi ini.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia, Hendra Sinadia, menyatakan BLU batu bara sangat dinanti karena menawarkan solusi masalah kelistrikan di dalam negeri. Salah satunya terkait dengan harga untuk kebutuhan domestik atau domestic market obligation (DMO) yang diserap PT PLN (Persero).
Pemerintah membatasi harga jual batu bara ke PLN sebesar US$ 70 per ton. Sementara itu, di pasar global, harganya bisa lebih tinggi. Sebagai contoh, harga batu bara acuan Indonesia per Agustus tahun ini sudah mencapai US$ 321,59 per ton. Perbedaan harga ini membuat pemasok batu bara cenderung memilih ekspor daripada menyetor hasil produksinya untuk DMO.
Dengan BLU batu bara, disparitas harga diyakini tak akan lagi menjadi masalah. Pemerintah bakal melepas harga jual batu bara untuk DMO ke pasar, sedangkan PLN tetap membeli dengan harga US$ 70 per ton. Jika harga pasar lebih tinggi dari harga DMO, selisihnya bakal dibiayai oleh BLU. Sumber dananya berasal dari iuran ekspor batu bara.
Hendra menuturkan pengusaha sedang menanti detail pengoperasian BLU batu bara. “Harapannya, bisa ada pembahasan dulu sehingga nanti formula yang dihasilkan benar-benar bisa menyelesaikan masalah,” kata dia kepada Tempo, kemarin. Yang menjadi perhatian pengusaha, antara lain, adalah besaran iuran ekspor, ketepatan waktu penyaluran dana kompensasi untuk pemasok, dan transparansi pengelolaan BLU batu bara.
Yang juga ikut menanti badan baru ini adalah PLN. EVP Batu Bara PT PLN, Sapto Aji Nugroho, menuturkan suplai DMO sering tersendat saat harga di pasar global melonjak. Sementara itu, di sisi lain, PLN kesulitan mencari mitra baru. “Perbedaan harga penalti dan kompensasi DMO membuat pemasok memilih tidak mau berkontrak dengan PLN,” kata dia.
Perusahaan yang sudah berkontrak dengan PLN tapi tidak bisa memenuhi DMO dikenai penalti US$ 188 per ton. Sementara itu, perusahaan yang tidak berkontrak dengan PLN harus membayar kompensasi US$ 18 per ton. Sapto menuturkan banyak pemasok memilih membayar kompensasi pada akhirnya.
Payung Hukum BLU Batu Bara Dikaji
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, Irwandy Arif, menuturkan BLU batu bara masih dalam tahap penggodokan. Salah satu yang belum rampung adalah payung hukumnya. “Pemerintah sedang mengkaji apakah keputusan presiden atau peraturan pemerintah untuk BLU ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” katanya. Jika bentuknya peraturan pemerintah, penyelesaian aturan diperkirakan lebih lama lantaran perlu persetujuan beberapa kementerian terkait.
Lembaga pengurus BLU batu bara juga sampai saat ini belum ditentukan. Dua nama lembaga menjadi kandidat, yaitu Balai Besar Pengujian Mineral dan Batu Bara tekMira serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas).
Rencana pembentukan BLU batu bara muncul pada awal tahun ini. Pemicunya adalah stok batu bara untuk pembangkit PLN yang seret pada akhir 2021. Pemasok saat itu memilih ekspor batu bara yang harganya berada di kisaran US$ 200 per ton.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan skema BLU batu bara akan menjadi solusi dari kondisi tersebut. PLN bakal mendapat jaminan pasokan dan perusahaan bisa menjual dengan harga pasar. Pemerintah juga tidak perlu khawatir akan tambahan biaya subsidi dan kompensasi listrik.
Pada Januari lalu, Luhut berjanji bahwa pembentukan BLU tak memakan waktu lama. “Dalam satu-dua bulan ini akan selesai,” ujarnya.
Koordinator Nasional Publish What You Pay, Aryanto Nugroho, menuturkan disparitas harga seharusnya tak menjadi masalah jika pemerintah menegakkan aturan yang berlaku. Undang-Undang Mineral dan Batu Bara serta aturan turunannya sudah mengatur ketentuan DMO dan sanksinya. “Pemerintah punya kontrol penuh untuk mencabut izin operasi perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan,” katanya.
Sumber: Koran Tempo