Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan masyarakat yang terdampak aktivitas pertambangan mengajukan uji materi terhadap UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Salah satu pemohon, Peneliti PWYP, Aryanto Nugroho, menilai UU Minerba memuat berbagai substansi yang memberi karpet merah bagi oligarki (korporasi) bidang tambang.
Misalnya, pemegang Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang akan habis masa berlakunya dapat beralih menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tanpa lelang. Bahkan diberikan jaminan perpanjangan dan luas wilayah pertambangan tidak perlu dikecilkan.
Aryanto mengatakan UU Minerba sebelumnya mengatur kontrak yang habis wilayah konsesi harus dikembalikan lagi kepada negara. Kemudian perusahaan tersebut harus mengikuti lelang. Tapi sekarang Perubahan UU Minerba menjamin perpanjangan kontrak secara otomatis selama 2 kali 10 tahun dan dapat diperpanjang lagi sampai komoditas tambang di wilayah itu habis. Luas wilayah konsesi juga tidak dibatasi lagi, yang penting mendapat persetujuan menteri (pemerintah pusat).
“Posisi negara jatuh karena kontrak yang habis tidak dikembalikan ke negara untuk dilakukan lelang, tapi sekarang perpanjangan otomatis,” kata Aryanto dalam diskusi secara daring, Senin (21/6/2021). (Baca Juga: Pandangan Ahli Soal Pengujian Formil di Sidang Uji UU Minerba)
Pemohon lain, Direktur LBH Bandung, Lasma Natalia, menilai UU Minerba menambah parah persoalan sektor tambang yang selama ini menumpuk dan tak pernah diselesaikan. Ketentuan UU Minerba semakin melancarkan perusahaan tambang untuk merusak lingkungan hidup dan merampas ruang hidup rakyat. Ditariknya kewenangan pemerintah daerah ke pusat semakin menjauhkan masyarakat terdampak untuk menyampaikan aspirasi mereka pada pemerintah daerah setempat.
Lasma mengatakan pasal-pasal UU Minerba yang diuji ke MK meliputi 4 kelompok besar. Pertama, terkait kewenangan pemerintah daerah yang beralih ke pemerintah pusat. Penarikan kewenangan ini menghambat akses masyarakat daerah yang berhadapan langsung dengan wilayah pertambangan untuk menyuarakan keluhan mereka. Kedua, UU Minerba menjamin tidak ada perubahan terhadap wilayah yang sudah ditetapkan sebagai daerah tambang. Padahal, faktanya terjadi perubahan daya dukung dan tampung pada wilayah tambang yang seharusnya (setiap berakhirnya izin usaha, red) dilakukan evaluasi.
Ketiga, uji materi dilakukan terhadap ketentuan pidana UU Minerba yang rawan disalahgunakan untuk mengkriminalisasi warga yang menolak kegiatan usaha wilayah pertambangan yang telah ditetapkan. Misalnya, Pasal 162 UU Minerba mengancam pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp100 juta untuk setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan. Keempat, pasal yang memandatkan negara menjamin perpanjangan KK dan PKP2B menjadi IUPK.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur, berharap 9 Hakim MK yang menangani dan memutuskan permohonan ini dengan lurus dan jujur mengingat uji materi sebelumnya, seperti UU KPK dinilai jauh dari harapan publik. Dia menyebut permohonan uji materi ini sudah dibuat sangat matang. “Kami berharap hakim MK memutus perkara ini sesuai konstitusi,” pintanya.
Soal pasal pidana UU Minerba yang mengkriminalisasi masyarakat, Isnur menilai ketentuan ini memang dibuat untuk mengkriminalisasi warga. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata “merintangi” dan “mengganggu.” Menurutnya, ini pasal karet karena berpotensi untuk mengkriminalkan siapapun. “Kalau warga melarang kendaraan perusahaan tambang yang melewati tanah atau lahannya, misal hutan adat, warga tersebut dapat dianggap merintangi dan dapat dikriminalkan,” ujarnya.
Dinamisator Jatam Kalimantan Timur, Pradarma Rupang, mengatakan pemusatan kewenangan ke pemerintah pusat mengancam moratorium perizinan yang (selama ini, red) dilakukan daerah. Padahal, moratorium penting untuk menghambat laju krisis. “Perpanjangan otomatis terhadap kontrak perusahaan tambang semakin menjauhkan kontrol dan koreksi rakyat atas kebijakan yang menghancurkan ruang hidup dan keselamatan rakyat,” tegasnya.
Sebelumnya, saat ini ada beberapa uji formil dan materil yang tengah bergulir di MK. Pertama, perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Alirman Sori dan tujuh Pemohon lainnya. Para Pemohon merupakan pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya karena pembahasan UU Minerba yang dilakukan secara eksklusif dan tertutup dengan tanpa mengindahkan prinsip keterbukaan dan transparansi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembahasan RUU Minerba juga tidak melibatkan DPD. Padahal sesuai konstitusi, DPD mempunyai kewenangan membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.
Kedua, permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Kurniawan, perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai peneliti di Organisasi Sinergi Kawal BUMN yang fokus mengawasi dan menyikapi serta memberikan masukan kepada BUMN yang bergerak di bidang Minerba. Menurut Pemohon, substansi UU Minerba berisi tentang ketentuan-ketentuan norma yang mengatur hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam. Hal ini berarti keikutsertaan DPD RI dalam membahas RUU Minerba adalah amanat konstitusi yang tidak bisa diabaikan karena menyangkut hadirnya kedaulatan rakyat yang telah diberikan kepada DPD RI melalui Pemilu untuk mewakili kepentingan daerah atas pembentukan UU Minerba. Pemohon selaku Pemilih dalam Pemilu serta sebagai peneliti yang fokus di bidang pertambangan telah mengalami kerugian konstitusional karena tidak dilibatkannya DPD RI dalam proses pembentukan UU tersebut.
Ketiga, permohonan perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Helvis, seorang advokat sekaligus purnawirawan TNI, dan Muhammad Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU). Para Pemohon mempersoalkan pasal yang disisipkan dalam UU Minerba yaitu Pasal 169A yang secara umum mengatur perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Helvis dan Kholid berpandangan Pasal 169A UU Minerba memberikan peran yang terlalu besar kepada Menteri dan mengesampingkan peran pemerintah daerah. Menurut para Pemohon, pasal tersebut memperlihatkan pembentuk undang-undang tidak berpihak kepada organ negara, dalam hal ini BUMN dan BUMD. Sebaliknya, pasal tersebut malah mengatur pemberian perpanjangan IUPK kepada pihak selain BUMN dan BUMD.