Kebijakan tata kelola hutan dan lahan diatur oleh pemerintah Indonesia melalui Inpres No 6 Tahun 2017 tentang moratorium pemberian izin baru pada hutan alam primer dan lahan gambut, restorasi lahan gambut di daerah prioritas, evaluasi 268 IUPHHK-HTI dan evaluasi izin-izin usaha pertambangan di kawasan hutan melalui Koordinasi dan Supervisi (Korsup) KPK bersama kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Kebijakan-kebijakan tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah terhadap tata kelola lahan dan hutan yang baik. Penerbitan izin pertambangan/perkebunan dapat memicu terjadinya deforestasi dan degradasi hutan dan lahan jika tata kelolanya tidak diperhatikan.
Salah satu upaya melakukan pencegahan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia adalah melibatkan masyarakat dalam melakukan pemantauan hutan secara partisipatif. Partisipasi masyarakat dapat menggambarkan kondisi hutan yang lebih detail di lingkungan sekitar mereka dan pelaporan mengenai deforestasi dapat dilaporan secara langsung oleh masyarakat. Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat membantu masyarakat dalam melakukan pemantauan, di mana semua fenomena yang terjadi di permukaan bumi khususnya di area hutan dapat teridentifikasi oleh SIG yang kemudian dapat dijadikan sebagai panduan bagi masyarakat dalam proses pemantauan hutan di lapangan.
Berdasarkan hal tesebut Publish What You Pay (PWYP) Indonesia yang merupakan koalisi masyarakat sipil yang konsen terhadap tata kelola industri di Indonesia bersama Perkumpulan Mnukwar Papua menyelenggarakan diskusi Focus Group Discussion (FGD) yang bertajuk “Pemantauan Deforestasi Hutan oleh Masyarakat di Provinsi Papua Barat” pada hari Kamis tanggal 27 Agustus 2020. Diskusi ini bertujuan untuk membangun kesepahaman bersama termasuk kolaborasi antar pemangku kebijakan dari pemerintah maupun masyarakat sipil dalam mendorong tata kelola hutan dan lahan di Indonesia khususnya Provinsi Papua Barat.
Radikal Lukafiardi, Peneliti Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, menyampaikan hasil pemantauan berbasis data Global Forest Watch (GFW) bahwa Indonesia telah kehilangan hutan sebesar 26,8 juta hektar atau setara dengan 17% dari luasan tutupan pohon pada tahun 2000 dimana trennya cenderung meningkat dari tahun 2001 hingga tahun 2015-2016 dan menurun di tahun berikutnya. Perbandingan data deforestasi menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan GFW menunjukkan tren deforestasi yang cenderung sama. Radikal juga menyampaikan bahwa sebaran deforestasi hutan yang terjadi di Indoensia umumnya terjadi di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan, sementara di Pulau Papua masih memiliki kondisi tutupan hutan yang baik.
Data GFW juga menunjukkan kondisi tutupan hutan yang sama di Provinsi Papua Barat, di mana tren kehilangan tutupan hutan cenderung meningkat dari tahun 2001 hingga tahun 2015-2016. Ketika diananlisis lebih lanjut dengan menggunakan metode tumpang susun pada peta fungsi kawasan hutan SK no. 783 tahun 2014 di Papua Barat dan data GFW, didapatkan luasan kehilangan hutan terbesar terjadi pada kawasan hutan areal penggunaan lain (APL) sebesar 108.880 ha kemudian disusul hutan produksi 49.290 ha, hutan produksi konversi 44.740 ha, hutan produksi terbatas 33.440 ha, hutan lindung 29.250 ha dan hutan konsevasi 12.050 ha. Untuk memastikan apakah kehilangan hutan dan lahan yang terjadi disebabkan karena adanya aktivitas industri ekstaktif, maka dilalukan analisis tumpang susun data GFW dengan data konsesi industri ekstraktif yang kemudian data konsesi tersebut terlebih dahulu divalidasi di portal Minerba One Data (MODI) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Dari 13 konsesi tambang yang memiliki statu Clear and Clean (CNC), lima diantaranya sudah terintegrasi di portal MODI, sedangkan delapan konsesi belum terintegrasi. Kemudian dilakukanya analisis tumpang susun dengan menggunakan data area konsesi dengan fungsi kawasan hutan sehingga didapati bahwa ada konsesi perkebunan kelapa sawit yang berada di area hutan konservasi dan area hutan lindung, sedangkan terdapat juga konsesi pertambangan yang terletak di hutan lindung.
Gambar 1. Hasil Analisis Data Global Forest Watch di Papua Barat
Berdasarkan analisis data tersebut, menarik untuk diketahui apakah konsesi tambang yang melakukan kegiatan ekstatif tersebut telah memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) atau belum karena kegiatan tersebut menggunakan kawasan hutan. Hasil analisis tumpang tindih mengunakan GFW dengan area konsesi juga menunjukkan hasil bahwa telah terjadi dugaan deforestasi dan degradasi hutan dengan luasan 4.520 ha pada konsesi perkebunan kelapa sawit, 6.400 ha pada konsesi tambang, 6.870 ha konsesi tambang batubara, dan 259.850 ha pada area non-konsesi.
Hasil analisis GFW mengenai kondisi kehilangan tutupan hutan di Manokwari Selatan pada tahun 2001-2019 menunjukkan luas kehilangan hutan pada kawasan hutan sebesar 45% di kawasan areal penggunaan lain, dan di susul oleh kawasan hutan lindung mencapai hampir 25%. Data terbaru kehilangan hutan berdasarkan indikasi kehilangan tutupan hutan periode Januari-Juni 2020 menunjukan cenderung terjadi di kawasan area penggunaan lain dan kawasan hutan lindung di mana telah diketahui bahwa terdapat 3 izin usaha tambang di Manokwari Selatan dengan status 1 CNC dan 2 non-CNC yang terletak di hutan lindung. Walaupun demikian hasil analisis data GFW tersebut belum dapat menyimpulkan bahwa deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi disebabkan karena aktivitas ekstaksi sehingga memerlukan pengecekan langsung di lapangan untuk mengetahui penyebab terjadinya kehilangan tutupan hutan.
Tabel 1. Hasil Analisis Data Global Forest Watch di Manokwari Selatan
Sebagai mintra kerja yang berada di wilayah Papua Barat, Mnukwar Papua sebagai mitra lokal PWYP Indonesia telah melakukan pengecekan lapangan secara langsung di Manokwari Selatan di mana merupakan wilayah pendampingan Mnukwar Papua adalah Manokwari Selatan sehingga hal tersebut selaras dengan data titik indikasi kehilangan hutan (Data GLAD Alert) yang diduga menjadi titik terjadinya degradasi dan deforestasi hutan. Data GLAD Alert ini dijadikan sebagai dasar untuk pengecekan di lapangan. Berawal dari hasil analisis spasial dari PWYP Indonesia dan Manokwari Selatn merupakan wilayah kerja Mnukwar maka pemilihan lokasi pengecekan langsung di lapangan dilakukan di Kabupaten Manokwari Selatan, Provinsi Papuua Barat.
Andi Saragih, perwakilan Mnukwar Papua menjelaskan hasil pemantauan langsung di lapangan yang dilakukan bersama masyarakat di Kabupaten Manokwari Selatan. Dari enam titik yang dipantau didapati bahwa benar ada terjadinya pembukaan hutan/lahan serta bekas ladang, akan tetapi lahan yang dimaksud kemudian dikoordinasikan dengan masyarakat setempat yang menghasilkan informasi bahwa lahan-lahan tersebut merupakan lahan perkebunan warga dan bukan aktivitas pertambangan. Andi Saragih juga menyebutkan juga bahwa lokasi lokasi pembukaan lahan perkebunan masyarakat sangat dekat dengan pemukiman warga yaitu berjarak 100-500 meter.
Gambar 2. Ladang Masyarakat di Area Hutan Lindung
Rosa Rantetoding, perwakilan Dinas ESDM Provinsi Papua Barat mengklarifikasi bahwa sejak UU 23 Tahun 2014 dikeluarkan dan berlaku maka pemberian izin-izin yang dikeluarkan kabupaten/kota menjadi kewenangan oleh Provinsi sehingga pada tahun 2018 kabupaten/ kota yang ada menyerahkan jumlah data IUP yang telah diproses baik di eksplorasi maupun produksi. IUP yang dikeluarkan kabupaten/kota sebelum diserahkan kepada provinsi memang terdapat IUP yang beroperasi di hutan lindung akan tetapi setelah penertiban izin oleh provinsi, perusahaan yang ingin melakukan perpanjangan izin untuk beroperasi di hutan lindung sudah tidak diberikan izin lagi, sehingga IUP yang ada sudah sesuai dengan perundang undangan yang berlaku. Dinas ESDM Provinsi Papua barat dalam klarifikasinya menyampaikan bahwa memang ada 5 IUP yang ada di daerah Kabupaten Manokwari Selatan, tetapi sudah di pastikan tidak ada yang masuk dalam kawasan hutan lindung walaupun data pada Minerba One Map Indonesia menunjukan ada satu data IUP yang berada pada kawasan hutan lindung. Rosa menyampaikan akan melakukan sinkronisasi data daerah dengan pusat.
Saat ini Dinas ESDM melakukan koordinasi bersama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Papua Barat terkait perusahaan yang beroperasi di Papua Barat di mana mendapati bahwa beberapa perusahaan yang tidak memiliki IUP tetapi memiliki izin lingkungan tetap melakukan kegiatan produksi sehingga saat ini dinas ESDM terus melakukan rapat teknis untuk menyelesaikan hal tersebut. Dinas ESDM berharap bahwa lembaga-lembaga yang ikut serta dalam pengumpulan dan pengambilan data dapat bekerja sama dengan dinas ESDM untuk mengintegrasikan data yang ada.
Zulfadli, Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat menanggapi terkait IUP yang berada didalam kawasan lindung bahwa dalam peraturan UU 41 Tahun 1999 Pasal 38 ayat 1 menyebutkan bahwa pembangunan di luar kehutanan dapat dilaksanakan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi dimana didalamnya termasuk kegiatan pertambangan selama tidak merubah bentang alam. Kegiatan yang tidak dapat dilakukan samasekali adalah kegiatan dalam kawasan cagar alam/ hutan konservasi. Berkaitan dengn satu IUP yang dikeluarkan di Kabupaten Manokwari Selatan yang terletak di hutan lindung, setelah dicek kembali oleh Dinas Kehutanan didapati bahwa perusahaan pemegang IUP tersebut pernah mengajukan pertimbangan teknis pada tahun 2017 dikarenakan persyaratannya administrasi yang kurang lengkap maka Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat tidak memberikan rekomendasi untuk di teruskannya ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).
Joko Pramono, Direktorat Jendral Planologi, Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan, Kementrian Lingkungan Hidup, menyampaikan telah melakukan pemantauan hutan sejak tahun 1990 hingga sekarang. Menyikapi data tutupan lahan KLHK sepakat dengan dengan tren data yang disampaikan peneliti PWYP. Upaya upaya yang diperuntukan dalam melaku tata kelola hutan seperti kajian deforestasi dan rekalkulasi penutupan lahan juga telah dilakukan KLHK Direktorat Jendral Planologi. Dalam pennyampaian KLHK mengingatkan bahwa kawasan hutan lindung dan kawan konservasi memiliki filter tekait IUP. KLHK berharap ada sharing informasi di tingkat regional sehingga dapat ditindaklanjuti ke tingkat nasional.
Supin Yohar, Direktur Hutan Auriga, menambahkan bahwa dalam melakukan kegiatan pemantauan hutan dan lahan baiknya sejarah terkait hutan dan lahan yang mengalami terjadinya deforestasi dan degradasi dapat ditinjau kembali seperti mungkin di dalamnya terdapat isu yang sering disuarakan di Papua seperti pelepasan hutan dan lahan dan peruntukan bagi pekebunan sawit. Hal tersebut selaras dengan ide pengelolaan partisipatif dimana masyarakat dapat dilibatkan dan tidak dikesampingkan seperti yang ditambahkan oleh Demianus Nayak Soabat, OASE Papua.
Okky-FHPOJA30 Kaltim menyampaikan kelompok NGO, masyarakat agar lebih didorong untuk melakukan pemantauan hutan sehingga hal tersebut efektif dan dapat digunakan pemerintah sebagai wadah input yang baik untuk pemerintah sehingga kekhawatiran dengan deforestasi dan degradasi yang terjadi seperti contoh di Kalimantan itu tidak terjadi di Papua.
Ridwan The Asia Foundation, mengemukakan bahwa pelibatan para pihak yang terjadi dalam melakukan pemantauan perlu adanya kerjasama yang baik antar pihak, baik dari pihak CSO, dan OPD di daerah sehingga tidak menjadi polemik tetapi menjadi satu informasi yang sama kemudian data tersebut dapat diunggah di portal Global Forest Watch yang mana masyarakat dapat aktif dalam menyampaikan mengenai hasil pemantauan hutan mereka. Dan dapat menjadi masukan bagi planologi di KLHK untuk memperbaiki hasil analisis berdasarkan hasil lapangan. Ridwan juga menambahakan bahwa dalam melakukan pemantauan hutan harus berpikir inovatif terkait teknologi yang akan dibangun di masyarakat. (AP/RL)