JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan sektor energi dan sumber daya mineral pada 2018 yang dipandang sebagai tahun politik patut diwaspadai. Diharapkan pada tahun itu tidak ada celah yang akan menguntungkan para pemburu rente. Selain itu, moratorium izin pertambangan perlu diterapkan. Demikian pandangan yang mengemuka dalam diskusi akhir tahun tentang evaluasi sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM), Jumat (22/12), di Jakarta. Narasumber diskusi adalah Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah, Manajer Advokasi dan Jaringan PWYP Indonesia Aryanto Nugroho, Direktur Indonesian Parliamentary Center Ahmad Hanafi, Manajer Economic Governance Transparency International Indonesia Wahyudi, dan Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa.
Maryati berpendapat, yang perlu diwaspadai pada 2018 adalah upaya penggalangan dana untuk kepentingan politik. Penggalangan dana bisa saja dilakukan baik melalui impor minyak mentah atau bahan bakar minyak (BBM) maupun transaksi lain di sektor ESDM. ”Sektor ESDM menjadi salah satu sumber akumulasi pengumpulan modal yang besar. Waspadai tahun politik di 2018, jangan sampai timbul praktik pemburu rente di sektor ini,” ujarnya.
Maryati mencontohkan praktik Pertamina Energy Trading Ltd (Petral), unit usaha PT Pertamina (Persero) untuk urusan impor minyak mentah dan BBM. Pengadaan oleh Petral ditengarai melalui mata rantai panjang sehingga terjadi inefisiensi. Sejak peran Petral diambil alih Pertamina Integrated Supply Chain, ada penghematan sebesar 30 sen dollar AS sampai 40 sen dollar AS per barrel.
Sementara itu, Aryanto mengatakan, pihaknya mendorong agar penerbitan izin usaha pertambangan dihentikan sampai tahun politik berlalu. Pasalnya, pemberian izin oleh pemerintah daerah berpotensi menjadi alat dagang politik menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak pada 2018.
”Jangan sampai izin tambang diobral untuk kepentingan politik. Oleh karena itu, moratorium izin tambang harus benar-benar dilaksanakan,” ucapnya. Senada dengan Aryanto, Wahyudi menekankan, potensi gratifikasi bagi pejabat penerbit izin pertambangan di daerah cukup besar. Sementara terkait Program Legislasi Nasional, Ahmad meragukan revisi undang-undang sektor ESDM bisa tuntas pada 2018. Tahun depan, katanya, bisa jadi anggota DPR lebih sibuk berkampanye dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak.
Capaian positif
Di sektor ketenagalistrikan, menurut Fabby, sudah ada sejumlah capaian positif yang berhasil direalisasikan pemerintah. Capaian tersebut antara lain peningkatan rasio elektrifikasi serta semakin membaiknya keandalan pasokan listrik di sejumlah daerah yang sebelumnya kerap terjadi pemadaman. ”Adapun di sektor migas, program BBM satu harga yang dilaksanakan di wilayah terpencil, terluar, dan terdepan sangat positif dalam menciptakan keadilan harga,” kata Fabby.
Ia menambahkan, hal lain yang perlu diperbaiki adalah tentang mudahnya terjadi perubahan regulasi di sektor ESDM. Menurut dia, hal itu menimbulkan ketidakpastian bagi iklim usaha dan membingungkan investor. Tantangan lain di sektor ketenagalistrikan adalah bagaimana menaikkan pertumbuhan permintaan tenaga listrik di dalam negeri. Pertumbuhan permintaan tenaga listrik tahun ini diperkirakan sekitar 4 persen atau lebih rendah daripada realisasi tahun lalu yang mencapai 6 persen.
Pada kesempatan terpisah, kemarin, para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar di Istana Wapres, jakarta. Para investor dan pengembang energi baru terbarukan ini meminta pemerintah mencabut penerapan skema bangun, guna, serah (BOOT) untuk pembangkit listrik tenaga energi baru terbarukan.
Alasannya, skema yang mengharuskan pembangkit listrik diserahkan kepada negara setelah habis masa kontrak itu merugikan investor. ”Kami dari pengusaha ingin regulasi yang mengatur kewajiban untuk transfer (aset) ke PLN dicabut,” kata Ketua Bidang Hukum, Advokasi Kebijakan, dan Regulasi Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Paul Butar Butar. Selain itu, lanjut Paul, para pengusaha juga keberatan dengan penghitungan harga kontrak biaya kapasitas pada harga jual tenaga listrik didasarkan pada nilai investasi yang diapresiasi minimal 20 tahun. Menanggapi usulan itu, Arcandra menyampaikan bahwa pemerintah tengah mengkaji usulan Asosiasi Energi Baru Terbarukan.
Sumber: PressReader / Kompas