JAKARTA – Komitmen pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan pembatasan produksi batu bara menjadi 400 juta ton pada 2019 diragukan. Padahal pembatasan produksi batu bara merupakan mandat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

“Jangan sampai RPJMN dan RUEN hanya sekadar jadi dokumen saja, namun jauh dari implementasi dan pembatasan batu bara hanya menjadi mimpi,”

ujar Merah Johansyah Ismail, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional, akhir pekan lalu.

Keraguan terhadap komitmen pemerintah menyusul surat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada Kementerian PPN/Bappenas yang menyebutkan untuk rencana produksi pada 2017 mencapai 477,91 juta ton atau lebih tinggi 64,9 juta ton dari data RPJMN untuk 2017 yaitu 413 juta ton.

Menurut Merah, sebenarnya langkah strategis selain kebijakan pembatasan produksi juga telah tertuang dalam RUEN yakni moratorium pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) batu bara di hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan area penggunaan lain.

“Moratorium sangat penting untuk mencegah kerusakan lebih jauh dari pertambangan di kawasan yang dilindungi,” kata dia.

Setidaknya sebanyak 26 rencana aksi mengenai batubara dari Peraturan Presiden (Perpres) No 22/2017 tentang RUEN yang harus diimplementasikan dengan target waktu yang berbeda-beda.

“Sayangnya tidak ada aturan tegas soal sanksi atau mekanisme diinsentif apabila ada pelanggaran dari perusahaan dan provinsi yang melanggar ini,” tukas Merah.

Dia menambahkan diluar pelanggaran aturan itu semua, mestinya pemerintah bahkan dituntut lebih radikal menurunkan angka produksi batu bara nasional, semua harus dicek ulang dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan ekosistem kepulauan Indonesia. Apalagi saat ini sudah 44% dari daratan dan perairan Indonesia dikapling tambang, 10% dikapling tambang batubara yang sudah tumpang tindih dengan 4,4 juta hektar lahan pertanian produktif..

“Kewajiban menurunkan produksi batu bara nasional tidak hadir di ruang hampa, ada latar belakang yang mempengaruhinya,” kata Merah.

Menurut Merah, salah satunya karena pemerintah Indonesia sudah berkomitmen dalam menekan laju panas suhu bumi akibat perubahan iklim dibawah dua derajat melalui kesepakatan perubahan iklim di Paris dan Maroko.

“Jangan lupa bahwa tanda-tangan komitmen menurunkan emisi karbon 29% secara Business as Usual dan 41 % jika ada bantuan kerjasama internasional, juga disumbang sektor batu bara ini. Sudah saatnya pemerintah melakukan moratorium izin baru tambang batu bara,” tegas Merah.

Agung Budiono, Peneliti Tata Kelola Batubara, Publish What You Pay Indonesia, mengatakan meskipun tren produksi saat ini menurun, namun faktor pendorong penurunan bukan karena kebijakan pembatasan melainkan adanya faktor penurunan harga.

“Buktinya pada 2017 pemerintah merevisi target menjadi sangat tinggi. Karena itu, seharusnya pemerintah menyusun strategi khusus bagaimana mengatur PKP2B dan IUP di Provinsi untuk patuh melakukan pembatasan,” ungkap Agung.

Dia menambahkan kendala utama pasti terjadi di Provinsi, namun ini tantangan bagi pemerintah atas kebijakan yang dibuatnya.

Setidaknya terdapat dua hal penting yang harus didorong agar dapat mengimplementasikan kebijakan pembatasan produksi batubara. Pertama, perlunya keseriusan dalam melakukan perubahan paradigma pengelolaan energi, yaitu tidak lagi bergantung pada penggunaan energi fosil seperti batubara secara masif.

Menurut Agung, pemerintah sudah harus mulai berpikir soal batubara sebagai salah satu penopang penerimaan negara, karena selama pemerintah ini masih berpikir batubara dan sumber daya ekstraktif menjadi tumpuan penerimaan dan fiskal, akan sangat sulit kita keluar dari ketergantungan pada energi fosil.

“Kedua, kemauan politik yang kuat dalam menjalankan kebijakan. Kalau political will sudah kuat, seharusnya tidak lagi ada ruang kompromi dari para kelompok kepentingan lain,” tandas Agung.(ES)

 

Sumber: dunia-energi.com


Bagikan