Kebijakan hilirisasi pertambangan melalui pembangunan smelter untuk pengolahan dan pemurnian dinilai akan memberikan manfaat ekonomi berganda (multiplier effect) seperti penerimaan karena naiknya nilai tambah dan tenaga kerja. Selain itu, kebijakan ini juga dipercaya akan menekan praktik pertambangan illegal yang merusak lingkungan. Beberapa temuan tersebut disampaikan oleh Uka Wikarya Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (LPEM – FEB UI).
Uka memaparkan hasil risetnya yang bertajuk “Pelarangan Ekspor Bahan Mentah Dikaitkan dengan Praktik Pertambangan Ilegal Bauksit, Perkembangan Industri dan Ekonomi serta Lingkungan di Kalimantan Barat” pada seri PWYP Knowledge Forum bulan Januari lalu. Dia mengatakan, temuan risetnya menunjukan apabila sebelum dibangunnya smelter, 10 orang pekerja pertambangan bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi 14 orang di Kalimantan Barat, maka setelah pembangunan smelter 10 orang pekerja pertambangan dapat menciptakan lapangan kerja bagi 19 orang di Kalimantan Barat. “Pembangunan smelter juga akan memberikan dampak positif bagi output hasil dan pendapatan bruto masyarakat di sekitar wilayah pertambangan,” jelas Uka.
Uka menambahkan, proses pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri juga akan memberikan nilai tambah pertambangan. Dia mensimulasikan, jika satu ton bauksit senilai US$ 40,00 diolah menjadi alumina, maka hasilnya akan menjadi 650 kilogram alumina senilai US$208. Dan jika diolah lagi menjadi aluminium, maka akan jadi setara dengan 325 kilogram aluminium, dengan nilai US$ 546,32. “Terjadi peningkatan nilai ekonomi sebanyak 13,6 kali,” tambahnya.
Saat ini di Kalbar sudah ada lima perusahaan smelter pemegang IUP Operasi Produksi, dengan kapasitas pengolahan bauksit menjadi alumina lebih dari tujuh juta ton per tahun, nilai itu apabila diolah lagi akan menjadi 3,5 juta ton aluminium. Dengan kebutuhan aluminium domestik hanya 1 juta ton, Indonesia bisa mendapatkan keuntungan besar dengan mengekspor aluminium yang tersisa. “Dari perhitungan rantai nilai bauksit ini, pemerintah perlu serius membangun industri hilir pertambangan, sehingga kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah ini akan memberi dampak ekonomi maksimum,” tegas Uka.
Di sisi lain, kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah juga ada kaitan dengan praktik pertambangan ilegal. Menurut Uka, saat pelarangan ekspor bauksit di 2014, ada dugaan kuat terjadinya penyelundupan bauksit dari Indonesia ke Malaysia. Hal ini terlihat dari ekspor bauksit Indonesia yang turun drastis dari 57 juta ton menjadi hanya 2 juta ton, dan ekspor bauksit Malaysia naik drastis dari 13 ribu ton menjadi 3 juta ton di 2013. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya laju penurunan tenaga kerja pertambangan yang signifikan di 2014, padahal seharusnya turun drastis akibat penghentian ekspor bauksit pada awal tahun itu.
Uka juga menekankan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah perlu tetap dipertahankan, karena berpotensi kuat mengerem laju degradasi fungsi lingkungan. “Aktivitas pertambangan berdampak pada fungsi lingkungan hidup daerah sekitar tambang. Hal ini bisa dilihat dari tingkat pencemaran air dan tanah di Kalbar lebih tinggi dari tingkat nasional. Harusnya kebijakan hilirisasi pertambangan dapat mengerem kerusakan lingkungan,” tegasnya. (ASR)