Rencana pemerintah memberikan izin tambang untuk organisasi kemasyarakatan terus dikritik. Dianggap melanggar undang-undang.

  • Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia mengatakan rencana memberikan prioritas buat ormas untuk mengelola tambang melanggar UU Mineral dan Batu Bara.
  • Revisi Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2021 untuk mengakomodasi izin tambang bagi ormas belum rampung.
  • Koordinator Nasional Publish What You Pay Aryanto Nugroho mendesak pemerintah membuka rancangan revisi peraturan itu kepada publik.

GERAH atas kabar obral izin tambang untuk organisasi kemasyarakatan (ormas), Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia berembuk menentukan sikap. Rizal Kasli, yang memimpin institusi tersebut, berniat mengirim hasilnya kepada Presiden Joko Widodo sebagai masukan.

Rizal berharap pemerintah tak salah langkah. Pasalnya, rencana memberikan prioritas buat ormas untuk mengelola tambang melanggar ketentuan. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara, penawaran wilayah tambang secara prioritas diberikan kepada badan usaha milik negara serta badan usaha milik daerah. Jika perusahaan pelat merah tak berminat, penawarannya baru diberikan kepada swasta. “Semuanya harus lewat lelang,” ujarnya, kemarin.

Proses lelang penting bukan hanya untuk memenuhi aturan hukum, tapi juga untuk transparansi dan prinsip keadilan. Selain itu, ada unsur pendapatan negara dalam prosedur tersebut. Badan usaha harus membayar biaya kompensasi data dan informasi ketika mengikuti lelang wilayah izin usaha pertambangan. “Kalau ini hilang, berarti negara dirugikan. Itu bisa masuk ranah tindak pidana korupsi karena ini merugikan negara,” kata Rizal.

Saat ini pemerintah sedang merancang strategi untuk memberikan prioritas kepada ormas. Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara sedang direvisi untuk mengakomodasi rencana tersebut. Menurut sumber Tempo, dalam draf revisi aturan tersebut terdapat Pasal 75A yang mengatur pemberian wilayah izin usaha pertambangan khusus secara prioritas untuk badan usaha milik ormas.

Menko Marves Luhut Panjaitan (kiri kedua) dan Kepala BKPM Bahlil Lahadila (kanan kedua) berbincang di Busan, Korea Selatan, November 2019. BPMI Setpres/Muchlis Jr

Sumber tersebut bercerita, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menentang ide tersebut. Dalam rapat di Istana Negara, Jakarta, pada 13 Maret lalu, Luhut menyatakan penolakannya hingga berdebat sengit dengan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, yang mendorong keberpihakan kepada ormas.

Luhut terbuka terhadap rencana menyerahkan WIUPK kepada ormas. Namun, “Pemberian kepada badan usaha swasta harus melalui lelang,” ujarnya melalui jawaban tertulis kepada Tempo, Jumat, 5 April 2024.

Sepekan seusai perdebatan tersebut, Pasal 75A hilang dari rancangan revisi PP Nomor 96 Tahun 2021. Dalam dokumen permintaan paraf ulang naskah revisi aturan berkop Menteri Sekretaris Negara pada 26 Maret 2024 yang diperoleh Tempo, muncul ketentuan baru. Ormas yang akan mendapat WIUPK secara spesifik disebut sebagai ormas keagamaan. Selain itu, izin tambang yang bakal diberikan hanya untuk komoditas batu bara di wilayah konsesi bekas perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara.

Rancangan revisi ini masih belum rampung. Menurut Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Hantor Situmorang, tahap harmonisasi dalam timnya sudah selesai pada 23 November 2023. “Tahap selanjutnya adalah permohonan penetapan oleh Presiden dan berikutnya pengundangan oleh Mensesneg,” ujarnya saat dimintai konfirmasi, kemarin.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan proses di Kementerian Sekretariat Negara belum rampung. “Kalau sudah terbit, akan kami beritakan rilisnya dalam kesempatan pertama,” ujar Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi.

Mumpung belum rampung, Koordinator Nasional Publish What You Pay Aryanto Nugroho mendesak pemerintah membuka rancangan revisi peraturan itu kepada publik. Dia menyoroti tata kelola pertambangan yang serba tertutup bahkan sejak Jokowi membentuk Satuan Tugas Percepatan Investasi, yang menjadi cikal bakal rencana pemberian WIUPK buat ormas ini.

Pada Mei 2021, Presiden menunjuk Bahlil untuk memimpin satuan tugas tersebut. Dia bertugas menelusuri izin tambang dan kebun yang tak produktif. Wewenang satgas itu makin bertambah pada Januari 2022. Tim tersebut boleh mencabut izin usaha pertambangan, hak guna usaha, serta konsesi kawasan hutan. Bahlil tercatat mencabut 1.749 izin tambang mineral dan 302 izin tambang batu bara. Bahlil mengatakan wilayah itulah yang bakal ditawarkan kepada ormas.

Menurut Aryanto, selama ini tak pernah ada kejelasan mengenai pencabutan izin tersebut. “Yang dicabut itu siapa, karena apa, tidak dibuka ke publik,” katanya. Padahal informasi ini penting untuk menentukan langkah selanjutnya. “Apakah kita harus menawarkan lagi lahan itu atau direklamasi dulu, misalnya.” Pasalnya, kegiatan tambang saat ini sudah terhitung masif.

Kalaupun kegiatan tambang harus dikelola, Aryanto mempertanyakan motif pemerintah memprioritaskan badan usaha milik ormas. Jika merujuk pada UU Minerba, badan usaha swasta bukannya tidak punya kesempatan untuk mengikuti lelang WIUPK. Artinya, jika ormas punya badan usaha atau badan hukum, mereka sudah bisa berkontribusi di sektor pertambangan.

Seorang penambang tradisional berada di dalam lubang saat mengambil material (batu rep) yang mengandung emas di Pertambangan Rakyat, Desa Anggai, Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (3/2/2024). Para penambang di daerah itu masih mengandalkan alat seadanya untuk mengambil material (batu rep) di dalam lubang berkedalaman hingga 50 meter dan selama dua hari penambang tersebut mampu mengumpulkan 170 karung material yang akan dibawa ke pengusaha tromol untuk diolah menjadi emas mentah. ANTARA FOTO/Andri Saputra/nz.

Direktur Pusat Studi Ekonomi dan Sumber Daya Alam Ilham Rifki menyebutkan kebijakan ini justru membuka celah jual-beli izin tambang. “Bukan tidak mungkin pembagian IUP untuk ormas berakhir pada jual-beli atau brokering IUP,” tuturnya. Keputusan pemerintah itu juga berpotensi memperkeruh kondisi di tengah pencabutan dan pemulihan izin tambang yang tidak jelas oleh Satuan Tugas Percepatan Investasi sebelumnya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Abra Talattov, menyoroti sisi kompetensi badan usaha milik ormas yang bakal mengelola tambang. Proses lelang penting untuk memastikan perusahaan tersebut punya kemampuan yang mumpuni. “Percuma kalau IUP diberikan, tapi mereka tidak punya kompetensi. Justru akan mangkrak lagi seperti IUP yang kemarin dicabut,” katanya. Pemerintah bakal jatuh lagi ke lubang kesalahan yang sama.

Bahlil sebelumnya menyebut penawaran WIUPK buat ormas ini sebagai upaya pemerintah melibatkan lebih banyak kalangan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Dia menilai tak ada masalah dengan mengizinkan ormas, koperasi, bahkan usaha kecil dan menengah terjun ke industri tambang selama mereka memenuhi ketentuan yang ada. Soal kompetensi, dia mengatakan kesempatan ini bisa menjadi ajang belajar buat mereka. “Kalau tunggu pengalaman, memang pengusaha gede itu sudah berpengalaman sebelumnya?” kata Bahlil di kantornya, 18 Maret lalu.

Dalam wawancara dengan majalah Tempo pada 1 Maret 2024, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Rahmad Hidayat Pulungan mengatakan NU sudah mengajukan permohonan izin usaha pertambangan ke pemerintah untuk mengelola bekas wilayah konsesi milik PT Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur. Namun permohonan tersebut belum mendapat persetujuan pemerintah.

Sumber: Tempo