Lingkungan merupakan aspek penting dalam pembangunan berkelanjutan, namun dalam pengambilan kebijakan publik lingkungan sering kali diabaikan. Aspek lingkungan sering kali dianggap sebagai eksternalitas oleh perusahaan, karena tidak memiliki harga pasar yang berdampak terhadap biaya produksi perusahaan, sehingga tidak dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan sebuah aktivitas ekonomi.

Padahal, lingkungan merupakan sesuatu yang sangat bernilai bagi kehidupan manusia. PWYP Indonesia melihat valuasi lingkungan penting untuk menghitung biaya eksternalitas lingkungan dengan metode valuasi ekonomi lingkungan. Karenanya, PWYP Indonesia menyelenggarakan Diskusi Publik “Valuasi Lingkungan dalam Kebijakan Publik dan Tata Kelola Sumber Daya Alam yang Baik dan Berkelanjutan”, (23/1) lalu.

Dalam diskusi publik ini, hadir beberapa narasumber akademisi/praktisi valuasi lingkungan, perwakilan dari Kementerian Keuangan, dan organisasi masyarakat sipil. Martin Siyaranamual, Akademisi Universitas Padjadjaran menyampaikan bahwa valuasi ekonomi lingkungan biasanya dilakukan terhadap barang publik di mana tidak ada kepemilikan yang jelas, misalnya, air tanah, hutan kota, dan sebagainya. Ada kecenderungan eksploitasi berlebihan dalam penggunaan sumber daya publik ini.

“Valuasi ekonomi merupakan metode valuasi untuk menilai barang/jasa lingkungan dan sosial, dapat menjadi ajuan untuk memilih jenis investasi. Hasil dari valuasi ekonomi merupakan input bagi analisa biaya manfaat dari sebuah proyek/investasi. Selain itu, hasil dari valuasi ekonomi bisa digunakan sebagai bahan acuan untuk penyusunan ganti rugi,” papar Martin Siyaranamual.

Kurniawan Nizar, Direktur Penilaian Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kemenkeu menambahkan bahwa valuasi ekonomi lingkungan digagas oleh KLHK. Saat ini sedang dibangun Sistem Neraca Lingkungan (Sisnerling), yang akan dikerjakan BPS dengan dukungan dari lintas kementerian. Sistem Neraca Lingkungan bisa menjadi gambaran lengkap akan kekayaan sumber daya alam Indonesia, tidak hanya pada nilai komoditas, tetapi juga nilai jasa lingkungan dari tiap-tiap ekosistemnya. Neraca ini pun bisa menjadi gambaran lengkap akan detil “kekayaan” ekosistem dan sumber daya alam Indonesia.

Rimawan Pradiptyo, Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) menyoroti aspek korupsi dalam tata kelola lahan di Indonesia. Ia menyayangkan telah terjadi pelemahan pemberantasan korupsi melalui pelemahan KPK. Padahal menurutnya, sebagian besar konflik lahan di Indonesia, bermula dari permasalahan korupsi.

Rimawan menambahkan, perlu adanya perbaikan tata kelola dan pengawasan perizinan. Tidak ada negara maju yang tidak mempunyai one map dan one data. Implementasi one map dan one data ini masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia.

Rimawan juga menyoroti penyusunan Omnibus Law yang kurang partisipatif. Menarik investasi secara besar-besaran melalui UU Omnibus Law ini tidak boleh mengabaikan aspek lingkungan. Pemerintah perlu membuka naskah akademik UU Omnibus Law ini ke publik, sehingga prosesnya bisa lebih partisipatif.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menyampaikan, valuasi ekonomi lingkungan memungkinkan proses pengambilan kebijakan publik berbasis data dan fakta (evidence based) bukan berdasarkan kepentingan politik saja. Valuasi tersebut baik pada fase sebelum pengambilan keputusan, perencanaan, maupun dalam evaluasi dan monitoring kebijakan.

Basuki Wasis, pakar valuasi kerusakan lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), yang juga menjadi narasumber diskusi menyampaikan, “kerusakan lingkungan bersifat irreversible atau tidak bisa atau sulit dipulihkan. Sayangnya, Pemerintah kadang kala dalam pengambilan kebijakan dan perizinan kerap mengabaikan aspek lingkungan demi kepentingan sesaat.”