Jakarta, 9 September 2025 – Kepala Divisi Riset dan Advokasi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Mouna Wasef, menjadi salah satu narasumber kunci dalam acara diseminasi riset “Penguatan Pencegahan Korupsi terkait Pertambangan Nikel Tiongkok di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia (TII) di Jakarta. Dalam forum tersebut, Mouna menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya peran masyarakat sipil dalam memastikan tata kelola industri ekstraktif di Indonesia berjalan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan keadilan, terutama di tengah percepatan transisi energi.

Menurut Mouna, transisi energi menuju sumber terbarukan merupakan langkah penting untuk mitigasi perubahan iklim, namun proses tersebut justru menghadirkan paradoks baru. Masa depan energi bersih kini sangat bergantung pada industri pertambangan mineral kritis seperti nikel yang selama ini sarat dengan persoalan sosial, lingkungan, dan tata kelola. Ia menyoroti bahwa percepatan eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan mineral ini kerap mengabaikan kajian lingkungan yang ketat, memicu konflik lahan dengan masyarakat adat dan lokal, serta membuka ruang praktik korupsi dalam proses perizinan maupun pengelolaan pendapatan negara. “Tanpa pengawasan yang kuat dari masyarakat sipil, transisi energi berisiko memperdalam ketidakadilan sosial dan lingkungan,” ujarnya.

Dalam paparannya, Mouna menekankan empat pilar penting tata kelola yaitu transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan keadilan. Transparansi mencakup keterbukaan data dan informasi publik, termasuk kontrak, izin, serta penerimaan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik juga standar Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). Akuntabilitas menuntut adanya mekanisme pertanggungjawaban dari perusahaan dan pemerintah, baik melalui advokasi kebijakan, pengawasan anggaran, maupun jalur hukum. Sementara itu, partisipasi menekankan pentingnya meaningful participation, sebagaimana ditegaskan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020, yang menjamin hak masyarakat untuk didengarkan dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan publik. Pilar terakhir, keadilan, menuntut penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), pemantauan independen terhadap dampak sosial dan lingkungan, serta pelibatan kelompok rentan dan perempuan agar mendapat manfaat yang setara.

Temuan riset TII yang dipaparkan oleh Gita Ayu Atikah turut memperkuat pentingnya isu yang disoroti Mouna. Penelitian tersebut memetakan berbagai risiko korupsi dan lemahnya tata kelola di seluruh rantai nilai nikel, mulai dari perizinan tambang hingga pembangunan fasilitas pengolahan. Korupsi dilaporkan marak dalam penerbitan izin pertambangan akibat kurangnya transparansi publik dan lemahnya pengawasan. Praktik suap, konflik kepentingan, hingga manipulasi data lingkungan ditemukan dalam proyek smelter, sementara masyarakat di sekitar kawasan industri seperti Weda Bay menghadapi pencemaran, konflik lahan, dan kriminalisasi terhadap aktivis yang mengkritik dampak sosial-lingkungan. 

Gita juga menyoroti lemahnya audit independen terhadap proyek smelter, tumpang tindih kewenangan antara Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian, serta tidak adanya verifikasi atas kepemilikan manfaat (beneficial ownership) dalam akuisisi perusahaan tambang oleh investor asing. Semua ini menunjukkan bahwa pertumbuhan industri nikel yang pesat belum diimbangi dengan tata kelola yang transparan dan akuntabel, serta menimbulkan beban sosial dan ekologis yang berat bagi masyarakat lokal.

Pandangan serupa juga disampaikan oleh Muhammad Zulfikar Rakhmat, peneliti dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), yang menyoroti maraknya praktik greenwashing dalam proyek-proyek investasi Tiongkok di sektor nikel. Berdasarkan laporan “Behind the Green Curtain: Unpacking Greenwashing in Indonesia’s China-Backed Investments,” Rakhmat mengungkap bahwa sejumlah proyek yang diklaim ramah lingkungan justru menimbulkan kerusakan ekologis, pelanggaran hak masyarakat, serta pencemaran akibat aktivitas smelter dan pembangkit listrik batu bara captive yang menyuplai kawasan industri. Ia menilai bahwa narasi “investasi hijau” sering digunakan untuk menutupi praktik ekstraktif yang merusak lingkungan dan mengabaikan prinsip transparansi serta konsultasi publik yang bermakna. “Tanpa pengawasan independen dan keterbukaan data, greenwashing akan menjadi wajah baru dari ketimpangan dan ketidakadilan dalam transisi energi,” tegasnya.

Acara diseminasi yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah, akademisi, dan berbagai organisasi masyarakat sipil ini menjadi ruang refleksi penting tentang arah transisi energi Indonesia. Mouna menutup paparannya dengan pesan bahwa transisi energi tidak boleh hanya dilihat sebagai agenda teknologi dan investasi, tetapi harus menjadi momentum untuk menegakkan keadilan sosial, perlindungan lingkungan, serta memastikan masyarakat menjadi subjek utama dari perubahan tersebut.

Penulis: Mouna Wasef

Privacy Preference Center

Skip to content