Indonesia merupakan negara yang berkomitmen dalam pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sekaligus memerangi krisis iklim akibat kenaikan suhu bumi. Sejak tahun 2016, Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan Iklim). Perjanjian Paris mengharuskan Indonesia untuk menyusun dan mengkomunikasikan aksi ketahanan iklim dalam dokumen yang ditetapkan secara nasional atau yang disebut dengan National Determined Contribution (NDC) yang kemudian diserahkan kepada Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change/UNFCCC). NDC Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi gas rumah yakni sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.1
Climate Watch menyebutkan sektor energi berkontribusi hampir tiga perempat atau 75% emisi gas rumah kaca secara global. Di sektor energi sumber emisi paling besar disebabkan oleh pembangkit listrik dan panas, diikuti sektor transportasi dan manufaktur.2 Sementara itu, di tingkat nasional, IEA (2021) menyebut ketenagalistrikan dan produksi panas di Indonesia, menyumbang emisi sebesar 43%. Sedangkan, untuk sektor energi dan pembakaran fosil, batubara menyumbang 51% emisi CO2.3
Sektor ekstraktif, khususnya pertambangan minyak dan gas bumi (migas), mineral dan batubara juga merupakan penghasil emisi gas rumah kaca. Di tahun 2023, aktivitas minyak dan gas menyumbang sekitar 15% dari total emisi terkait energi secara global, setara dengan 5,1 miliar ton emisi gas rumah kaca.4 Menurut McKinsey (2021), sektor pertambangan bertanggung jawab atas 4-7% persen emisi gas rumah kaca (GRK) secara global. Masih menurut McKinsey (2020), industri pertambangan menghasilkan antara 1,9 dan 5,1 gigaton setara CO2 (CO2e) emisi GRK setiap tahun. Mayoritas emisi di sektor ini berasal dari metana debu batubara yang dilepaskan selama penambangan batubara (1,5 hingga 4,6 gigaton), terutama pada operasi bawah tanah. Metana merupakan salah satu jenis gas rumah kaca disamping jenis gas lain seperti karbon dioksida (CO2), belerang dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metana (CH4), dan klorofluorokarbon (CFC).5 Dimana apabila gas-gas tersebut terperangkap di atmosfer akan berdampak terhadap kenaikan suhu bumi
Indonesia merupakan salah satu produsen batubara terbesar di tingkat global. Pada tahun 2023, Indonesia merupakan negara penghasil batubara terbesar ke-3 di dunia setelah Cina dan India.6 Terlebih catatan pemerintah melalui Minerba One Data Indonesia (MODI), realisasi produksi dan penjualan batubara di Indonesia mengalami angka tertinggi di tahun 2023 selama delapan tahun terakhir atau dalam rentang tahun 2015 – 2023. Dimana nilainya mencapai 770,80 juta ton bahkan melebih target produksi dengan persentase 110, 99%.7
Besarnya produksi batubara di Indonesia berdampak terhadap kenaikan salah satu jenis emisi gas rumah kaca yakni metana. Dimana temuan EMBER (2024)8 menyebutkan emisi yang dihasilkan tambang batubara berpotensi delapan kali lebih besar dari data resmi terakhir yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Secara lebih lanjut, EMBER menemukan bahwa data emisi batubara pemerintah Indonesia jauh lebih rendah dari pada studi independen lainnya.
Perbedaan tersebut di antaranya disebabkan oleh kurangnya transparansi data, penggunaan faktor emisi yang tidak akurat, faktor konversi potensi pemanasan global akibat metana (Global Warming Potential), serta emisi tambang batubara bawah tanah belum masuk dalam hitungan emisi.9 Untuk itu terdapat perbedaan data yang cukup besar antara pelaporan pemerintah dengan temuan lain ketika dibandingkan dengan data satelit dan pelaporan jumlah produksi batubara di Indonesia.
Data resmi pemerintah Indonesia terkait emisi gas rumah kaca dalam laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Third Biennial Report-UNFCC Indonesia (2021), khususnya dalam ringkasan emisi GRK sektor energi tahun 2019, hanya memasukan jumlah emisi tambang batubara yang berasal dari tambang terbuka (surface coal mining), akan tetapi tidak dengan tambang bawah tanah atau yang disebut dengan underground coal mining. Tambang bawah tanah hanya masuk ke dalam bagian dari daftar kategori emisi GRK, namun data jumlah emisinya kosong.10 Sehingga angka kumulatif emisi gas rumah kaca sektor energi di tingkat nasional mengabaikan emisi yang berasal dari tambang batubara bawah tanah.
Padahal tambang batubara bawah tanah menghasilkan emisi yang lebih tinggi dari tambang terbuka karena kandungan metana dapat meningkat melalui tekanan dan kedalaman. Secara keseluruhan Global Energy Monitor menemukan 85% (44 Mt) emisi metana global berasal dari tambang bawah tanah dan 15% dari tambang terbuka.11 Diperkirakan apabila tambang batubara bawah tanah milik PT Qinfa Mining yang baru diresmikan, masuk ke dalam dalam laporan emisi Indonesia tahun 2019, maka total emisi metana akan bertambah sekitar 332 kiloton metana (ktCH4). Dengan kata lain akan meningkatkan total emisi metananya sebanyak tiga kali lipat.12 Emisi tambang bawah tanah lebih besar dari yang dipermukaan karena lapisan yang lebih dalam dan kualitas batubara yang lebih tinggi. Di tambang bawah tanah, emisi metana berasal dari degasifikasi dan sistem ventilasi, sedangkan di tambang terbuka, emisi dihasilkan dari proses ekstraksi di area permukaan.13
Keterbukaan data emisi tambang batubara bawah tanah merupakan aspek penting dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca. Mengingat potensi emisi yang dihasilkan dapat lebih besar dari tambang terbuka. Pelaporan emisi yang tidak akurat selain melemahkan kredibilitas data emisi nasional juga melemahkan integritas komitmen pemerintah Indonesia di tingkat global14 dalam aspek keterbukaan informasi maupun aksi memerangi krisis iklim.
Saat ini, informasi terkait data emisi tambang batubara per perusahaan (company level) di semua metode tambang baik terbuka (surface coal mining) maupun bawah tambang (underground coal mining) belum dibuka untuk publik. Pemerintah Indonesia baru membuka data jenis tambang terbuka secara agregat yang dapat ditemukan dalam laporan third biennial report UNFCCC. Di satu sisi, meskipun sejumlah perusahaan batubara telah membuka data emisi-nya melalui sustainable report, namun masih terbatas pada perusahaan yang berstatus public listing dan sifatnya sukarela atau tidak wajib. Sehingga datanya terbatas pada perusahaan yang berinisiatif atau berkeinginan untuk melaporkan data emisinya. Sementara perusahaan yang memiliki sustainable report atau yang melakukan pelaporan data emisi tambang batubaranya jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah izim tambang yang terdaftar. Dimana Dody dari EMBER menyebutkan bahwa baru tujuh di level perusahaan yang melakukan pelaporan melalui sustainable report-nya dan itupun memiliki potensi under reporting karena metode perhitungannya tidak dipublikasikan. Tujuh perusahaan tersebut adalah Bukit Asam Resources, Golden Energy Mines, Berau Coal, Bumi Resources, Adaro Energy, Bayan resources, Indika Energy.15
Di sisi lain, penetapan pajak karbon di Indonesia maupun baku mutu emisi yang terkait dengan batubara saat ini baru sebatas pada karbon dioksida (CO2) sebagai GRK yang dihasilkan pembangkit listrik PLTU. Namun, untuk gas metana yang berasal dari hulu penambangan batubara belum diatur. Peraturan pajak karbon di dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, memang mengakui periode 2022-2024 baru akan mengatur pajak PLTU. Namun, tidak menutup kemungkinan 2025 akan dilakukan implementasi perdagangan karbon secara lebih penuh atau luas. Dengan demikian diharapkan emisi metana dapat menjadi usulan peningkatan mekanisme pajak karbon di masa mendatang. Sementara untuk batas emisi batubara, saat ini juga masih terbatas dalam sektor ketenagalistrikan sebagaimana yang dituangkan dalam Peraturan Menteri LHK No. P.15/Menlhk/Setjen/Kum.1/4/2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal.
Inventori gas metana dari sektor ekstraktif tambang batubara telah banyak didorong baik di tingkat global maupun nasional dalam mekanisme pajak karbon. Di tahun 2024 ini, Amerika Serikat (AS) mulai memberlakukan tarif emisi metana sebagai upaya memerangi perubahan iklim, namun baru memberlakukan di sektor minyak dan gas. Sebab meskipun hitungan volume emisi metana tahun 2021 di AS terbilang rendah, akan tetapi sebetulnya satu ton metana memiliki dampak iklim yang juga besar, bahkan lebih kuat dibanding dengan satu ton karbon dioksida. Oleh sebab itu, emisi metana sering dinyatakan setara dengan CO2.16 Meskipun belum mencakup sektor tambang, diharapkan langkah AS tersebut dapat membangun kesadaran secara global, pentingnya memasukan emisi metana dalam pajak karbon.
Selain secara spesifik Indonesia sebetulnya telah berkomitmen dalam Global Methane Pledge untuk memantau emisi GRK batubara secara ketat termasuk diantaranya perbaikan keterbukaan informasi, pemahaman mendalam tantangan emisi metana, dan upaya mitigasi yang efektif.17 Di sisi lain pemerintah juga telah berkomitmen dalam sejumlah inisiatif global yang mengedepan aspek transparansi. Di antaranya Extractive Industry Transparency Initiative (EITI) dan Open Government Partnership (OGP), dimana di dalam OGP Indonesia tidak hanya sebagai anggota namun juga berperan sebagai pendiri sejak tahun 2011.
Indonesia adalah satu negara pelaksana EITI sejak tahun 2010 berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara Dan Pendapatan Daerah Yang Diperoleh Dari Industri Ekstraktif, yang diubah melalui Perpres Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional. EITI memiliki sejumlah standar yang perlu dipatuhi oleh negara anggota sekaligus diperbarui dalam rangka meningkatkan perbaikan tata kelola industri ekstraktif di tingkat global. Standar terbaru EITI 2023, khususnya dalam requirement 3.4 menyebutkan agar negara pelaksana EITI beserta perusahaan ekstraktif untuk membuka data emisi gas rumah kacanya. 18
Guna meningkatkan integritas komitmen pemerintah dalam aspek transparansi di sektor ekstraktif sekaligus mitigasi perubahan iklim, sudah seharusnya pemerintah dapat membuka data emisi setiap perusahaan tambang batubara baik yang bersifat tambang terbuka maupun tertutup dalam sebuah peraturan. Misalnya dengan memasukannya sebagai bagian dari Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) perusahaan batubara sehingga pelaporannya akan lebih luas menjangkau IUP yang jumlahnya ribuan. Terlebih emisi underground coal mining diperkirakan jauh lebih besar dibandingkan emisi pada tambang terbuka atau yang berada di permukaan. Selain penting bagi Indonesia sebagai negara anggota pelaksana EITI untuk mengimplementasikan standar EITI 2023 kepada perusahaan ekstraktif tambang agar membuka data emisi, yang secara jelas masuk sebagai kategori emisi GRK.
Di sisi lain, bila data dibuka secara lebih komprehensif diharapkan dapat menekan laju produksi batubara dan mengoptimalkan upaya transisi energi. Mengingat selama ini dalam kurun waktu 2015- 2023, tren realisasi produksi batubara cenderung jauh melebihi target hingga dua kali lipat.19 Hal ini menunjukan ketergantungan pemerintah yang besar terhadap batubara, dimana hal ini bertentangan dengan aksi pengendalian iklim. Oleh sebab itu, dengan meningkatkan transparansi emisi tambang batubara melalui keterbukaan data emisi tambang secara holistik, termasuk memasukan emisi metana tambang batubara dalam inventori pajak karbon diharapkan dapat meningkatkan strategi mitigasi perubahan iklim yang lebih efektif dan menyeluruh.