Urgensi Keterbukaan Data Emisi Gas Rumah Kaca (GHG) Terhadap Dampak Perubahan Iklim

Jakarta — Setiap tanggal 28 September diperingati sebagai Hari Hak untuk Tahu Sedunia atau International Right to Know Day (IRTKD). Tujuan dari peringatan ini untuk mendukung hak warga negara atas akses terhadap informasi publik. Dengan adanya jaminan hak warga negara terhadap informasi publik, diharapkan dapat memperkuat akuntabilitas pemerintah, mendorong keterlibatan masyarakat dalam setiap penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di berbagai sektor, sekaligus menciptakan demokrasi yang sehat dan kuat.

Dalam momentum IRTKD ini, koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendesak Pemerintah dan Perusahaan untuk membuka data Data Emisi Gas Rumah Kaca atau green house gas (GHG) emission, khususnya untuk sektor energi dan sumberdaya alam (SDA). Transparansi data emisi untuk sektor energi dan SDA dapat menjadi satu langkah progresif dalam menghadapi tantangan dampak perubahan iklim.

Transparansi data emisi di sektor ini sangat urgen mengingat energi dan SDA menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. International Energy Agency (IEA) menyebut emisi yang berasal dari karbon dioksida (CO2) diakibatkan pembakaran energi dan aktivitas industri global pada 2022 meningkat 0,5 gigaton dibanding 2021, sekaligus menjadi rekor tertinggi baru dalam sejarah.

Dalam konteks Indonesia, sektor energi menjadi salah satu kontributor terbesar emisi di Indonesia setelah kehutanan dan penggunaan lahan. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Neraca Arus Energi dan Neraca Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia menyebut subsektor pengadaan listrik dan gas merupakan lapangan usaha penyumbang emisi CO2 terbesar di Indonesia selama periode 2017-2021, dengan lebih dari 50% dari total emisi CO2 seluruh lapangan usaha setiap tahun.

Transparansi data emisi ini juga sangat urgen untuk menunjukkan komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi sebagaimana yang telah menjadi target dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Updated, dimana Indonesia telah menetapkan target penurunan emisinya pada 2030 sebanyak 31,89% (dengan usaha sendiri) dan 43,20% (dengan dukungan internasional dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya (NDC Diperbarui, 2021) – sebesar 29% (usaha sendiri dan 43,20% (dengan dukungan internasional).

Namun demikian, komitmen transparansi terkait dengan data emisi ini masih menjadi pertanyaan besar. Hal ini dapat dilihat dari keengganan Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) dan Pemerintah untuk membuka data data emisi yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya di Cilegon, Banten, dan PLTU Ombilin di Padang, Sumatera Barat. Hal ini terungkau dalam sidang keterbukaan informasi publik dengan nomor sengketa 009/II/KIP-PSI/2023 yang diajukan oleh Margaretha Quina kepada PLN (Kompas, 14 September 2023). PLN dan Pemerintah masih menganggap data emisi merupakan data rahasia dan tidak bisa dibuka kepada publik.

Hal ini patut disayangkan mengingat Indonesia merupakan salah satu negara pelaksana Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI) sejak tahun 2010 berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara Dan Pendapatan Daerah Yang Diperoleh Dari Industri Ekstraktif, yang direvisi melalui Perpres Nomor 82 Tahun 2020. Pelaksanaan EITI pada Standar EITI Internasional 2023, yang merupakan kesepakatan multi-stakeholder EITI di tingkat internasional. Dalam standar tersebut (Requirement 3,4) disebutkan bahwa negara pelaksana EITI (beserta perusahaan ekstraktif) diminta untuk membuka data emisi gas rumah kacanya.

Transparansi data emisi juga tengah menjadi isu yang terus didorong dalam dan diarusutamakan dalam sejumlah inisiatif standar Environmental, Social, and Governance (ESG). Sangat disayangkan jika Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan, masih menganggap bahwa data emisi adalah data yang tertutup.

Narahubung:
Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP Indonesia
aryanto@pwypindonesia