Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menekankan pentingnya pemanfaatan batubara untuk mencapai kedaulatan energi, terutama terkait dengan perubahan paradigma pengelolaan batubara, dari melihat sebagai komoditas untuk menghasilkan penerimaan negara menjadi pemanfaatannya untuk sumber energi yang berkontribusi 30 % bauran energi nasional pada tahun 2050. Hal ini disampaikan pada diskusi “Pemetaan Masalah dan Tata Kelola Batubara di Indonesia” (22/2) lalu.

84% batubara Indonesia pada tahun 2016 diekspor ke luar negeri dan hanya 16% digunakan untuk domestik. Hersonyo Priyo Wibowo, Kepala Bidang Pengawasan Produksi dan Operasi Produksi Batubara, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menegaskan arah kebijakan batubara Indonesia yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. (RPJMN) 2015-2019. Pemerintah akan fokus pada beberapa hal seperti pengurangan ekspor batubara, pengaturan Domestik Market Obligation (DMO), pengaturan perizinan, pengawasan Rencana Kerja dan Anggaran (RKAB), dan peningkatan nilai tambah batubara di Indonesia.

Untuk mencapai target bauran energi nasional, Hersonyo mengatakan yang harus dilakukan adalah pengendalian produksi dengan membatasi produksi 400 juta ton batu bara pada 2019. Namun, tren sebaliknya. Realisasi produksi batubara selalu lebih tinggi dari target RPJMN 2015-2019. Hersonyo beralasan, hal itu karena Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tidak mau menghentikan izin yang masih dalam tahap produksi.

Menanggapi hal tersebut, Kanti, salah satu peserta Pasal 33 mempertanyakan komitmen pemerintah dalam melaksanakan RPJMN, terutama pada kebijakan pengendalian produksi. “Sebagaimana disebutkan dalam RPJMN dan Rencana Energi Nasional (RUEN), pemerintah harus membatasi produksi batu bara sebanyak 400 juta ton pada 2019. Idealnya, pemerintah sudah menyusun strategi untuk menuju ke sana, termasuk mengatur perizinan. Akan kontradiktif, jika pemerintah bertujuan untuk mengontrol produksi di satu sisi, tetapi di sisi lain pemerintah tidak mengerem kebijakan perizinan, ” kata Kanti.

Pemerintah menyadari perlunya meningkatkan fungsi pengawasan. Dirjen Minerba berencana mengembangkan kapasitas inspektur pertambangan sekaligus menindaklanjuti pendelegasian inspektur pertambangan dari daerah ke pemerintah pusat. Selanjutnya, pemerintah juga akan memantau laporan surveyor tersebut.

Epa Kartika, perwakilan dari Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan permasalahan seputar kinerja surveyor. “Survei saksi yang dilakukan Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara menunjukkan bahwa 80% laporan surveyor tidak dilakukan sebagaimana mestinya, termasuk kesenjangan data kualitas dan kuantitas batubara yang diekspor. Masalah ini jelas terindikasi adanya potensi kehilangan pendapatan, karena data tersebut digunakan untuk menghitung kewajiban finansial, ”kata Epa.

Untuk mengoptimalkan fungsi pemantauan, pemerintah telah menerapkan sistem pemantauan dan perdagangan produksi batubara secara real-time. “Konsepnya, setiap truk batu bara yang melewati jembatan timbang secara otomatis akan mengubah jumlah yang ada di dasbor. Sampai saat ini sudah ada 53 PKP2B yang sudah terdaftar di sistem monitoring dan akan segera disinkronkan dengan E-PNBP dari Kementerian ESDM,” jelas Pak Hersonyo.