• Pemerintah dinilai masih kurang transparan, dan minim melibatkan publik dalam mengeluarkan kebijakan maupun menerapkan program transisi energi yang berkeadilan. Padahal sudah banyak sekali pasal dalam perundang-undangan yang mewajibkan keterlibatan atau partisipasi publik
  • Kebijakan transisi energi ini dinilai belum banyak mempengaruhi masyarakat. Mirisnya, di tengah gencarnya transisi energi, masih ada 4.700 desa yang belum teraliri listrik di Indonesia.
  • Sebagai salah satu solusinya diperlukan pembentukan forum multipihak baik dari masyarakat maupun pemerintah agar lebih berkeadilan, transparan dan partisipatif
  • Tidak bisa dipungkiri meskipun Indonesia mempunyai potensi energi baru terbarukan yang besar. Namun dalam pemanfaatannya bisa dibilang masih tergolong kecil dibandingkan dengan konsumsi energi fosil seperti batu bara, minyak dan gas.

Dalam lima tahun terakhir, transisi menuju energi berkelanjutan dan berkeadilan sudah menjadi salah satu isu prioritas pemerintah Indonesia. Kewajiban itu dilakukan sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak gas bumi.

Selain itu, transisi menuju energi bersih juga sebagai upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim dan emisi karbon.

Meskipun begitu, dalam pelaksanaanya, pemerintah dinilai masih kurang transparan, dan minim melibatkan publik dalam mengeluarkan kebijakan maupun menerapkan transisi energi yang berkeadilan di Indonesia.

Hal itu dinilai bertolak belakang dengan komitmennya dalam menerapkan pemerintahan yang terbuka atau Open Goverment Partnership (OGP) yang diinisiasi dengan sejumlah negara.

“Transisi energi saat ini sudah ada kalimat berkeadilan. Tidak adil bila tidak ada transparansi. Tanpa partisipasi masyarakat kebijakan transisi energi ini juga tidak bisa berjalan efektif,” jelas Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish WhatYouPay Indonesia, pada gelar wicara bertajuk Menyoal Transparansi dan Partisipasi Publik dalam Implementasi Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia, beberapa waktu lalu di Jakarta.

Dalam kesempatan yang sama, Syahrani Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengungkapkan, secara normatif perundang-undangan Indonesia sudah banyak sekali pasal yang mewajibkan keterlibatan atau partisipasi publik, termasuk di sektor energi.

Misalnya, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD). Namun, dalam prakteknya rencana-rencana tersebut baik dari sisi penyusunan maupun prakteknya dinilai masih jauh dari partisipasi publik.

Dari kejauhan nampak tumpukan batu bara di kawasan Marunda, Jakarta. Pemanfaatan energi baru terbarukan masih tergolong kecil dibandingkan dengan konsumsi energi fosil seperti batu bara, minyak dan gas. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Bentuk Forum Multipihak

Untuk itu, menurut Syahrani sebagai solusinya diperlukan pembentukan forum multipihak baik dari masyarakat maupun pemerintah, karena prinsip dasar transisi untuk energi yang berkeadilan adalah transparansi dan partisipasi.

Tidak hanya itu, untuk sampai kepada pemahaman yang sama, dalam forum multipihak ini pemerintah juga tidak boleh pilah-pilih, harus melibatkan masyarakat yang terdampak langsung akibat proyek-proyek energi.

Selain itu, pemerintah perlu juga membangun mekanisme dimana masyarakat itu bisa terlibat secara langsung dalam pengawasan.

Syahrani berpendapat, pembentukan forum multipihak ini sama pentingnya sebagaimana negara telah mengatur energi itu sendiri. “Jangan dibiarkan masyarakat itu tidak tahu menahu. Perlu ada pendekatan khusus,” ujarnya.

Sebab, dalam prakteknya di lapangan kebijakan transisi energi ini masih belum banyak mempengaruhi masyarakat. Mirisnya, di tengah gencarnya transisi energi, masih banyak masyarakat di Indonesia yang belum teraliri listrik.

Data PLN menyebutkan, setidaknya masih ada 4.700 desa di daerah terluar, terdepan, tertinggal di Indonesia yang belum menikmati listrik dari perusahaan tersebut.

Sementara itu, bagi Magdalena Rianghepat, Koordinator Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) Nusa Tenggara Timur (NTT), transisi energi ini merupakan mainan baru. Artinya, masih asing ditelinga masyarakat dampingannya.

Jangankan bagi kelompok rentan seperti perempuan maupun penyandang disabilitas, menurutnya masyarakat pada umumnya juga masih banyak yang belum mengerti apa itu transisi energi.

Sebab, selain informasinya masih minim, di wilayahnya juga masih belum ada energi terbarukan Walaupun dari informasi yang ia dapatkan bahwa NTT adalah salah satu daerah yang mempunyai potensi sumber energi baru terbarukan hingga 25 gigawat, bersumber dari panas bumi, air, minihidro dan mikrohidro, matahari, angin, serta arus laut.

Sebuah atap gedung di Jakarta yang dipasang panel tenaga surya. Pemanfaatan energi baru terbarukan ini bisa dibilang masih tergolong kecil, angkanya hanya 13,7 persen. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Terlepas dari itu, Magdalena mengaku, dalam memanfaatkan energi matahari secara gratis dan lebih bermartabat, pihaknya bersama warga dampingannya kini sedang membuatkan rumah jemur yang digunakan untuk mengeringkan kopra.

Upaya tersebut dilakukan untuk menjaga kualitas daging kelapa supaya menjadi lebih bagus. Dengan begitu, harganya pun bisa lebih mahal dibandingkan dengan kopra yang dijemur dipinggir jalan. Selain mudah busuk, kopra yang dijemur dipinggir jalan hasilnya juga kurang higienis.

“Kalau yang kualitasnya jelek harganya berkisar antara Rp4.000/kg. Sedangkan yang kualitasnya bagus itu dihargai Rp8.500-Rp10.000/kg,” tandasnya.

Masih Relatif Kecil

Tidak bisa dipungkiri meskipun Indonesia mempunyai potensi energi baru terbarukan yang besar, namun dalam pemanfaatan energi baru terbarukan ini bisa dibilang masih tergolong kecil dibandingkan dengan konsumsi energi fosil seperti batu bara, minyak dan gas.

Catur Budi Kurniadi, Koordinator Kajian Strategis Pusat Data dan Informasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan, bauran energi primer memang masih didominasi oleh energi fosil, angkanya sekitar 86,7 persen. Terdiri dari batu bara 39,5 persen, minyak 29,8 persen, gas 17,1 persen. Sedangkan energi baru terbarukan angkanya hanya 13,7 persen.

Menurut Catur, pemanfaatan energi fosil yang besar tersebut selaras dengan sumber daya alam yang dipunyai negara ini, seperti batu bara. Sehingga sayang bila itu tidak dimanfaatkan. Namun, sesuai dengan komitmen pemerintah, kedepan kondisi tersebut secara perlahan akan mulai ditransformasikan seiring dengan pelaksanaan transisi energi.

Sebab, transisi energi ini merupakan salah satu bagian dari keinginan pemerintah untuk meningkatkan ketahanan energi, serta untuk mengurangi ketergantungan impor minyak.

Ia membeberkan, sejak tahun 2004 Indonesia menjadi negara pengimpor minyak, dengan konsumsi minyak mentah sebesar 958 mbopd, sedangkan lifting minyak sebesar 605,5 mbopd.

“Selain dari faktor peduli lingkungan ini juga bagian dari upaya untuk mendukung ketahanan energi,” tandasnya.

Petugas yang sedang memonitor panel-panel surya di PLTS Oelpuah. PLTS ini terbesar di Indonesia. Foto: Palce Amalo

Walaupun ketergantungan energi fosil ini masih tinggi, namun ia mengklaim perkembangan transisi energi dalam lima tahun terakhir cukup baik.

Tahun 2023 lalu penambahan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan angkanya mencapai 3.322 MW, dengan kenaikan rata-rata sekitar 6 persen per tahun. Capaian tersebut, menurut Catur juga tidak terlepas dari komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

Sedangkan untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca nasional, dia menyadari memerlukan keterlibatan multipihak, begitu juga dengan percepatan transisi energi.

“Terus terang, partisipasi publik dalam menentukan kebijakan ini memang masih belum banyak kami lakukan,” tambahnya. (***)

Sumber: Mongabay