Jakarta, 3 Maret 2025 – Kejaksaan Agung RI (Kejagung) mengungkap kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina yang melibatkan direksi anak usaha dan pihak swasta. Menggunakan asumsi perhitungan Kejagung, kerugian negara diperkirakan sebesar Rp193,7 triliun, namun jika ditotal dari tahun 2018-2023 kerugian negara diperkirakan mencapai sebesar Rp968,5 triliun.
Kasus ini menuai perhatian publik karena dugaan terjadi pengoplosan pertalite menjadi pertamax. Modus tersebut menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM) RON 92 atau Pertamax milik SPBU Pertamina. Menanggapi hal tersebut, Pertamina mengatakan bahwa BBM yang beredar sudah sesuai standar. Pertamina menggunakan istilah blending yang merupakan hal lumrah dalam proses pengelolaan bahan bakar minyak.
Berdasarkan temuan penyidik kejaksaan, proses blending itu dilakukan oleh PT Orbit Terminal Merak (OTM) di Cilegon, Banten. PT OTM kemudian tidak hannya berperan menampung tetapi juga memcampur (blending) BBM yang diimpor PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN). Padahal proses blending harusnya dilakukan PT Kilang Pertamina Internasional (KPI).
Berdasarkan masalah diatas, Seknas FITRA dan PYWP Indonesia merekomendasikan delapan rekomendasi:
- Memberhentikan secara tidak hormat sembilan tersangka dalam korupsi “Bensin Oplosan” dan memberikan hukuman yang seberat-beratnya karena pengoplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax dengan Pertalite dilakukan juga pada masa pandemik Covid-19.
- Mendesak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan penelusuran terhadap aliran dana hasil dugaan korupsi “Bensin Oplosan” dan menyampaikan informasi tersebut kepada pubik.
- Mendesak Kejagung dan Aparat Penegak Hukum (APH) mengembangkan penyidikan aliran dana dana dugaan korupsi sehingga ditemukan tersangka lain yang ikut terlibat dan menikmati uang hasil korupsi “Bensin Oplosan”.
- Melakukan rekrutmen terhadap pejabat Pertamina atau anak perusahaan secara ketat (merit system) untuk menghindari konflik kepentingan dan nepotisme.
- Mengevaluasi kinerja Kementerian Badan Usaha Milik Negara (Kemen BUMN) dalam penyusunan regulasi dan pengawasan terhadap kinerja BUMN dan anak usahanya.
- Mendorong Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dan Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) agar intens melakukan monitoring dan evaluasi terhadap BBM yang beredar sehingga tidak merugikan masyarakat.
- Mendorong transparansi dan akuntabilitas tata kelola Migas dengan mengembangkan sistem monitoring (seperti dashboard) yang dapat dipantau oleh masyarakat sehingga dapat memastikan kualitas bensin yang dijual. Hal ini menjadi sikap yang harus dilakukan pemerintah agar dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat yang justru dengan kesadaran baik sudah membeli bensin non-subsidi.
- Belajar dari kasus korupsi “Bensin Oplosan” yang terjadi, pentingnya segera mengesahkan Undang-undang Perampasan Aset agar menciptakan efek jera dan mempercepat pemulihan kerugian negara.
Narahubung:
- Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP Indonesia
- Gurnadi Ridwan, Peneliti FITRA