Lima tahun lalu, drone terbang adalah domain militer AS dan penghobi kaya. Namun, dalam satu setengah tahun terakhir, para peneliti di Swandiri Institute di Pontianak, Kalimantan Barat telah membangun 13 pesawat tak berawak, yang antara lain mampu membuat peta tanah adat Dayak yang hampir seketika untuk menunjukkan bagaimana mereka tumpang tindih dengan pertambangan dan konsesi penebangan. Satu drone menghabiskan biaya tim sebesar Rp 6 juta (US $ 500), jumlah yang tidak seberapa untuk teknologi yang sampai saat ini terlalu mahal untuk kebanyakan orang.

Peneliti Arif Munandar dan Irendra Rajawali, yang akrab disapa Radja, menggunakan replika drone Amerika dari Tiongkok dan forum online do-it-yourself untuk membuat, memprogram, dan menerbangkan drone yang menangkap citra udara sebagai data spasial. “Sebelum Tiongkok mampu menemukan cara untuk mereplikasi, harga satu unit drone di Indonesia dapat mencapai Rp1,5 miliar,” ujar Arif. Meski begitu, Arif dan Radja tidak membeli mesin siap pakai. Mereka merakit robot pemetaan mereka dengan menyatukan badan, motor, hard drive, dan peralatan citra dari drone. Kamera saku sederhana sudah cukup baik untuk mengambil foto resolusi tinggi yang diperlukan untuk pemetaan, tutur Arif yang menyarankan untuk menggunakan “jenis kamera yang bisa Anda dapatkan di mana saja”. Sekarang ada program perangkat lunak sumber terbuka yang disebut CHDK yang dapat digunakan untuk memprogram ulang kamera. Tim tersebut menggunakan baterai polimer litium, “jenis yang Anda gunakan di laptop atau jam tangan”.

Untuk badan drone, mereka membentuk styrofoam yang keras. Radja cukup yakin dengan desain yang ditunjukkan di saluran YouTube Experimental Airlines. Arif menyarankan untuk membeli badan drone dari Tiongkok. “Jika Anda membuatnya sendiri, aerodinamika sulit untuk diketahui,” katanya. “Dengan Rp 2 juta Anda bisa membeli yang buatan pabrik.”

Perangkat keras yang paling mahal adalah Ardupilot atau APM (kependekan dari Ardupilot Mega). APM adalah hard drive drone, ‘otak’-nya, yang digunakan oleh pembuat untuk mengatur koordinat GPS dan memprogram baterai dan kamera. Penghobi bisa membeli Ardupilot seharga Rp1,8 juta.

Arif dan Radja bereksperimen dengan dua bentuk drone buatan sendiri — helikopter dan sayap tetap. Pesawat bersayap tetap, atau pesawat, bisa terbang lebih lama dan terbang lebih jauh karena bentuknya lebih aerodinamis. Dalam sekali penerbangan, mereka bisa terbang selama satu jam dan memotret area seluas 500 hektar. Pesawat ringan karena dijalankan dengan satu motor.

Helikopter, sebaliknya, memiliki empat baling-baling, masing-masing dengan motornya sendiri. Ini menambah bobot drone dan mengurangi efisiensi baterai. Jadi helikopter hanya bisa mengudara selama setengah jam setiap kali dan mencakup 60 hingga 70 hektar. Meski begitu, keempat baling-baling tersebut membuat helikopter lebih stabil, sehingga bisa mendapatkan resolusi yang lebih tinggi dan  kualitas gambar yang lebih baik.

Radja menyarankan pembuat drone pemula untuk memulai eksplorasi mereka di forum online, www.diydrones. com. Dia juga merekomendasikan saluran YouTube bernama Flightriot yang mengajarkan orang bagaimana mengoperasikan drone dan menggunakannya untuk pemetaan. Untuk tip terbang yang spesifik untuk Asia Tenggara, Radja menyarankan untuk berbicara dengan ahli kehutanan Singapura Lian Pin, yang membuat organisasi bernama Conservation Drones, dan Serge Wich, ahli primata Inggris yang menggunakan drone untuk melacak sarang orangutan.

Pengoperasian drone memerlukan pelacakan cuaca dan jalur penerbangan pesawat berawak. Tutupan awan memengaruhi sinyal satelit, begitulah cara drone mengambil koordinat penerbangan yang telah diprogram sebelumnya. Jadi, tim dapat terbang pada hari-hari cerah dan cerah. Angin, berbeda dari tutupan awan, dapat ditangani. Pesawat terbang dengan autopilot dan diprogram untuk memasukkan kecepatan angin. “Misal kecepatan angin lima meter per detik, kita setel kecepatan drone tujuh meter per detik,” kata Arif.

Saat mereka membuat drone sendiri, keduanya membuat kode etik terbang masing-masing. Untuk alasan keselamatan, mereka menerbangkan drone setidaknya lima kilometer dari bandara dan memeriksa jalur penerbangan pesawat untuk memastikan bahwa jalur penerbangan mereka tidak bersinggungan dengan rute pesawat.

“Drone bukan mainan,” Arif mengingatkan. “Drone memiliki baterai lithium, bisa berbahaya jika menabrak pesawat.” Jadi jika mereka kehilangan kontak dengan drone, mereka mematikan mesin untuk membumikan drone, dan ‘melepaskannya’. Tim kehilangan lima dari tiga belas drone mereka karena ini, termasuk satu di Papua ketika radar militer mengganggu sinyalnya. “Selama ini di Indonesia belum ada undang-undang atau larangan terbang drone,” kata Arif. Untung bagi Radja: ia ditahan polisi di Sintang, Kalimantan Barat setelah dilaporkan dronenya melayang di atas tanah pribadi. “Mereka tidak dapat mendenda atau memenjarakannya karena belum ada undang-undang tentang penggunaan drone. Kami tidak pergi ke tempat mereka dan tidak ada tanggapan. Kami baru saja mengabaikannya.” Ketiadaan regulasi sepertinya tidak akan berlangsung lama, menurut Arif. Amerika Serikat telah mengeluarkan peraturan tentang drone. “Kami pikir kami harus mendorong orang untuk menggunakan drone sekarang sebelum Indonesia membuat undang-undang untuk membatasi penggunaannya,” kata Arif.